TEMPO, Edisi. 03/XXXIIIIII/12 - 18 Maret 2007
Laporan Utama
Bila Menteri Halalkan Dana Tommy
CAIRNYA dana Motorbike Corporation, perusahaan milik terpidana Hutomo Mandala
Putra alias Tommy Soeharto di Bahama, Amerika Tengah, masih menyisakan
sejumlah tanda tanya besar. Firma hukum milik Menteri Yusril Ihza Mahendra
membantu mencairkan duit itu dari brankas BNP Paribas London pada Februari
2005.
Dokumen dari! sejumlah kantor pemerintah dan lembaga negara bisa didapat berkat
bantuan seorang pejabat bawahan Yusril, yang kala itu menjadi Menteri Kehakiman
dan Hak Asasi Manusia. Sang pejabat bahkan meminjamkan rekening
departemen—atas seizin Menteri Hamid Awaludin, sang pengganti Yusril. Apa motif
Menteri Yusril dan Hamid membantu pencairan fulus Rp 90 miliar itu?
IGA Mawarni terheran-heran. Penyanyi yang masuk jalur jazz ini tak menduga acara
jumpa persnya begitu meriah, dihadiri belasan wartawan. Ia pun bersemangat bicara
ihwal pelanggaran hak cipta di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta,
Jumat pekan lalu.
Di sebelah Iga, masih semeja, duduk Menteri Hamid Awaludin. Tapi Iga dan belasan
artis lain sontak kaget ketika para wartawan lari meninggalkan mereka. Hamid
mendadak ngeloyor di tengah acara. Para wartawan yang sudah bosan menunggu
segera mengejar. Mereka bukan mau bertanya perkara hak cipta, melainkan soal
pencairan duit Tommy Soeharto di London.
"Sudah, kalian ikut konferensi pers sana, jangan ikuti saya," kata mantan anggota
Komisi Pemilihan Umum ini kepada beberapa wartawan. Menteri Hamid pekan-pekan
ini memang bak main petak umpet. Persisnya sejak departemen yang dipimpinnya
terungkap ikut mencairkan duit US$ 10 juta milik Tommy Soeharto di Banque
National de Paris and Paribas (BNP Paribas) cabang London pada 2005.
Hamid ikut terbawa-bawa. Dalam perkara ini, ia ternyata menyetujui meminjamkan
rekening departemennya untuk proses pencairan duit Motorbike Corporation,
perusahaan asal Bahama, Amerika Tengah, milik Hutomo Mandala Putra alias
Tommy Soeharto, terpidana yang kini berstatus bebas bersyarat.
Pada awal pekan lalu, Hamid sempat membuat penjelasan pendek. Ia membolehkan
Motorbike menggunakan rekening kantornya karena tahu uang mereka bersih. "Tidak
jadi masalah, uang itu halal," kata mantan dosen Universitas Hasanuddin, Makassar,
Sulawesi Selatan, ini.
Uang setara Rp 90 miliar di London itu adalah duit warga negara Indonesia yang
diatasnamakan Motorbike. "Pemiliknya tiga orang Indonesia, yakni Sudjaswin Lubis,
Tommy Soeharto, dan Abdulrachman Mulachela," kata dia. Ketiga nama tersebut
dikenal punya kaitan dengan PT Timor Putra Nasional, yang rekeningnya masih
dibekukan di Bank Mandiri.
Doktor lulusan Amerika ini menjelaskan, proses pencairan dana ini dimulai pada
Februari 2004 dan berakhir pada masa kepemimpinannya tahun 2005. Bank Paribas
pernah meminta pengecekan akan status "kebersihan" uang itu. "Setelah dicek,
memang tidak terkait dengan money laundering," katanya. "Setelah itu, Paribas minta
mengirim uang tersebut melalui rekening Menteri Kehakiman," ujar Hamid.
Hamid tak mau ambil risiko. Ia mengaku telah berkirim surat memberi tahu Bank
Indonesia dan Departemen Keuangan mengenai setoran duit itu. "Saya lapor ke BI,
ada uang begini, nih. Saya juga menyurati Departemen Keuangan," ujarnya.
Rupanya, surat Hamid tak terbalas. Ia pun mengecek ulang ke kedua lembaga
pemegang otoritas duit negara itu. Anehnya, meski sampai dua kali dia melapor,
Departemen Keuangan meng-aku tak tahu surat penting itu. "Tak pernah ada," kata
Samsuar Said, Kepala Biro Hubungan Masyarakat Departemen Keuangan.
Pengakuan ini menambah panjang pertanyaan seputar pencairan duit Tommy yang
"dibantu" Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia sepanjang 2004-2005.
Mula-mula Motorbike diurus Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra, lalu
ditangani Hamid Awaludin, sang penerus jabatan menteri. Hamid mengakui telah
menyerahkan dana itu kepada Motorbike. "Karena itu hak mereka," katanya.
Yusril Ihza Mahendra? Menteri-Sekretaris Negara ini mengaku tahu proses pencairan
tersebut. Ia memang mengirim surat ke Bank Paribas, berbekal sejumlah dokumen
pendukung dari pelbagai instansi, termasuk Kejaksaan Agung serta Pusat Pelaporan
dan Analisis Transaksi Keuangan. Ini dia lakukan atas permintaan Paribas (lihat
"Mereka Kini Saling Cuci Tangan").
Kisah pencairan dana tak terhenti di ujung surat. Ada sedikit ganjalan dengan Yusril.
Tommy, putra bungsu mantan presiden Soeharto, menunjuk Hidayat Achyar, 52
tahun, dari firma hukum Ihza and Ihza, untuk mengurus rekening tersebut. Kantor
pengacara Ihza and Ihza diketahui luas sebagian sahamnya dimiliki Yusril.
Tommy, yang kala itu dipenjara di Nusakambangan karena terlibat perkara
pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita, akhirnya mendapat celah
bagus. Syarat kelengkapan pencairan duitnya lancar jaya. Ini juga berkat bantuan
Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Zulkarnain Yunus, bawahan Menteri
Yusril, yang didekati Hidayat. Zulkarnain, bersama tim Hidayat, pun sibuk sampai
terbang ke London. Zulkarnain kini meringkuk di ruang tahanan Markas Besar
Kepolisian RI. Ia menjadi tersangka kasus proyek pengadaan alat pemindai sidik jari,
yang kini ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi.
Yusril membantah terlibat tetek-bengek urusan Tommy. Tapi ia mengaku punya
banyak alasan untuk setuju menarik duit "sang Pangeran" yang punya hobi balap
mobil itu ke Indonesia. "Biar Tommy bisa balapan lagi di sini. Itu lebih baik," kata dia
kepada Wahyu Muryadi dari Tempo pekan lalu. Meski Tommy jadi pesakitan, hak
perdatanya tak gugur. "Dia tak pernah dihukum karena perkara korupsi," ujar doktor
dari Universitas Sains Malaysia ini.
Benarkah Yusril tak campur tangan dalam perkara Motorbike? Seorang sumber
Tempo yakin Yusril punya peran di balik layar. Menurut sang sumber, Hidayat dan
Gamal Resmanto, keduanya rekan atau partner dari kantor hukum Yusril, kerap
berdiskusi tentang perkara Tommy dengan pria asal Belitung tersebut. "Pak Yusril
kerap berkunjung ke kantor, dua minggu atau seminggu sekali paling kurang," kata
sumber yang pernah dekat dengan ketiga orang itu.
Di kantor firma tersebut, yang berlokasi di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Yusril diberi
ruangan khusus—meski secara resmi ia menyatakan mundur karena diangkat
sebagai pejabat negara. Selain Hidayat dan Gamal, Yusron Ihza Mahendra—adik
kandung Yusril sekaligus managing partner kantor pengacara tersebut—ikut terlibat.
Saat itulah, kabarnya, perkara itu diatur, termasuk menghubungi Zulkarnain Yunus.
Tapi Hidayat membantah. Kata dia, Yusril jarang ke kantor. "Paling tiga bahkan
empat bulan sekali," kata pria asal Surabaya, Jawa Timur, ini. Mereka selalu
mengobrol bila sang pemilik duduk di ruangannya, tapi tak pernah membahas kasus.
"Cuma soal-soal politik, sekolah, filsafat, dan agama," kata pengacara spesialis
korporasi ini.
Seorang sumber di Departemen Hukum dan HAM menyatakan firma Yusril ketiban
duit besar saat mengurus Motorbike. Sepuluh persen dari jumlah duit itu atau sekitar
US$ 1 juta diberikan kepada kedua pihak sebagai success fee dan lawyer fee. Irvan
Gading—pemberi order kasus Motorbike ke Ihza and Ihza—menerima success fee
US$ 200 ribu (sekitar Rp 1,8 miliar) dan Ihza and Ihza diganjar US$ 800 ribu (sekitar
Rp 7,2 miliar).
Bayaran itu seperti durian runtuh bagi firma keluarga Idris Haji Zaini (Ihza) tersebut.
Sebab, menurut mantan orang dalam firma tersebut, jarang ada kasus kakap bisa
terjala. Kantor yang mempekerjakan 20-an pegawai ini banyak menangani kasus
biasa, dengan bayaran US$ 100-300 per jam.
Sejak kantor itu berdiri pada 2001, hanya ada satu kasus yang ditangani dengan
bayaran premium US$ 350 per jam. Ongkos tertinggi untuk biaya perkara yang
ditangani seorang partner didapat ketika mereka menangani kasus di sebuah
perusahaan Jepang yang berada di Gresik, Jawa Timur.
Hidayat mengaku tak ingat berapa dia dibayar. "Kalau soal duit, saya tidak tahu,"
katanya. Sementara itu, Yusron Ihza Mahendra, 49 tahun, membenarkan mereka
menerima bayaran dari Motorbike. "Wajar kami dibayar. Pengacara itu kan bukan
Sinterklas atau lembaga amal jariyah," kata anggota Komisi Pertahanan Dewan
Perwakilan Rakyat ini dengan lugas. Anggota Partai Bulan Bintang ini juga mengaku
lupa berapa jasa pengacara yang diterima untuk kerja sekitar setengah tahun itu.
"Saya sibuk kampanye waktu itu," kata mantan wartawan ini.
Hidayat menganggap tak ada yang keliru dalam pembelaannya. "Saya ini salah apa?
Semuanya legal, kok," kata lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini. Aktor
intelektual dari semua keributan ini, kata dia, adalah BNP Paribas, karena memaksa
menggunakan rekening pemerintah. "Jika tidak, duitnya tak bisa dicairkan," kata
Hidayat. Sikap ini berlebihan. "Apa hak dia sampai seperti itu," kata Hidayat.
Ketimbang duit melayang, terpaksa permintaan itu dipenuhi (lihat "Menerabas
Rekening Pelat Merah").
Padahal Departemen Kehakiman tidak berhak mengeluarkan clearance. Bahkan
beberapa dokumen disalahgunakan. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan menyatakan surat mereka tanggal 13 Mei 2004, yang merupakan jawaban
surat Dirjen Administrasi Hukum Umum tertanggal 19 April 2004, hanya berisi
keterangan berdasarkan pengecekan data administrasi. " Jadi bukan menyatakan
Motorbike tidak terkait dengan tindak pidana pencucian uang," ujar Ketua Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Yunus Husein pekan lalu.
Keterlibatan Departemen Kehakiman untuk menarik dana tersebut ke Indonesia tak
berdasar. Suharto, komisaris Timor Putra Nasional, mengaku tak pernah menerima
uang tersebut di rekening mereka. "Kalau ada, saya orang yang paling senang,
karena perusahaan saya lagi sekarat," kata Suharto pekan lalu. Gelontoran duit
raksasa itu juga mudah dilacak. Sebab, pemeriksaan pajak atas Timor sangat ketat.
Meskipun nama-nama pemilik Motorbike pernah aktif di Timor, mereka tak lagi punya
hubungan. "Di Timor cuma tinggal Mas Tommy," ujar dia. Sudjaswin dan
Abdulrachman sudah mundur. Menurut seorang sumber Tempo yang dekat dengan
Irvan Gading, duit itu tidak disetor ke Indonesia. "Begitu cair, langsung ditransfer ke
rekening Motorbike di Maybank Singapura," katanya.
Hidayat mengaku hanya berperan meminta pendapat hukum pemerintah. "Saya cuma
minta legal opinion ke pemerintah bahwa tidak ada perkara pidana pada Motorbike
dan pengurusnya," katanya mengelak. "Pendapat hukum ini diperlukan sebagai bukti
BNP Paribas tidak punya hak menahan," kata Hidayat. Teknis pengambilan diurus
Motorbike.
Menurut Hidayat, berdasarkan keterangan pengurus Motorbike, rekening yang
dipinjamkan bukanlah rekening resmi Dirjen Administrasi Hukum Umum. Dirjen
membuka rekening baru untuk menampung duit tersebut. "Setelah duit masuk,
rekening itu langsung ditutup," ujar Hidayat. Ia tak tahu di bank mana rekening itu
dibuka dan ke mana pula duit itu akhirnya diterbangkan. Arif A. Kuswardono, Titis
Setyaningtyas
copyright TEMPO 2003
|