TEMPO, Edisi. 05/XXXIIIIII/26 Maret - 01 April 2007
Laporan Utama
Kisruh Helikopter KALLA
Wakil Presiden Jusuf Kalla dibelit masalah impor 12 helikopter bekas. Bea dan Cukai
mengancam merampas heli eks Jerman tersebut kalau bea masuknya tak segera
dilunasi. Mengapa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sampai perlu mengeluarkan
memo rahasia?
SURAT berlogo kepresidenan itu sampai di tangan Menteri Keuangan Sri Mulyani dan
Menteri Perhubungan Hatta! Rajasa, 7 Desember lalu. Di bawahnya ada pula carbon
copy kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla. Bertuliskan memorandum di kepalanya,
memo bernomor R001 itu berklasifikasi rahasia. Pengirimnya orang nomor satu di
republik ini: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Nota kepada dua menteri Kabinet Indonesia Bersatu berisi tiga poin singkat. Pertama,
menjelaskan dasar dikeluarkannya memo itu yakni permintaan lisan Wakil Presiden
pada 6 Desember 2006 kepada Presiden soal penyelesaian 10 helikopter yang
didatangkan dari luar negeri untuk kepentingan bencana alam. Kedua, para menteri ini
diperintahkan agar menyelesaikan proses perizinan dan administrasi atas 10
helikopter itu. Ketiga, mereka diminta berpedoman pada undangundang dan peraturan
yang berlaku.
Memo biasa? Tidak juga. Lebih dari sekadar perintah rutin Presiden kepada
menterinya, memo itu menyiratkan kemelut tersembunyi antara Wakil Presiden,
Presiden, dan kedua menteri terutama Menteri Keuangan Sri Mulyani. Sebuah kisruh
yang membuat Wakil Presiden langsung menekuk wajah jika soal ini ditanyakan
kepadanya.
Kemarahan Kalla berkaitan dengan penyegelan petugas Bea dan Cukai, badan di
bawah Departemen Keuangan, terhadap 10 heli BO 105 asal Jerman di bandar udara
Talang Betutu, Sumatera Selatan, 11 November 2006. Alasannya, capung besi itu
menunggak pajak impor Rp 2,1 miliar. Wakil Presiden yang juga Ketua Badan
Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi
(Bakornas) menganggap Bea Cukai kelewat kaku: heli yang tengah dipakai untuk
memadamkan kebakaran hutan di Sumatera itu dibeslah untuk urusan yang "sepele".
"Ini apa? Mau pilih api padam atau pilih prosedur!" kata Kalla seperti ditirukan sumber
Tempo di Istana Wakil Presiden, ketika tahu capung besinya "dikunci".
Karena jengkel itulah Kalla lalu menemui Yudhoyono dan lahirlah memo rahasia
tersebut. Soal surat itu, sekretaris pribadi Presiden Kurdi Mustopa memilih tak bicara.
"Saya nggak tahu," katanya. Sri Mulyani pun mengunci bibir. "Wah, kalau soal itu,
entar aja deh," katanya kepada Anton Aprianto dari Tempo, awal bulan lalu.
l l l
SEBELUM tersesat dalam labirin persoalan, mari kita urut cerita ini dari awal. Pada
September 2005, kebakaran hebat melanda hutan di Sumatera serta Kalimantan, dan
asapnya membubung hingga Malaysia, Singapura, dan Thailand. Pemimpin ketiga
negara protes karena Indonesia dianggap tak becus menangani petaka itu.
Presiden Yudhoyono lalu memerintahkan kebakaran hutan dihentikan. Apalagi tak
lama lagi ia akan menghadiri pertemuan Negara Ekonomi Asia Pasifik (APEC) dan
Konferensi Tingkat Tinggi Asean. Yudhoyono kabarnya marah besar ketika beberapa
menteri bergurau di rapat kabinet. "Ada bencana asap begini kok kalian masih
tertawa-tawa," kata Preside! n seperti ditirukan seorang sumber.
Di tempat yang lain, Wakil Presiden Jusuf Kalla melihat kebutuhan Indonesia akan
helikopter sebagai peluang. Apalagi saat itu sebagian Indonesia baru saja
dihumbalang tsunami. Indonesia membutuhkan banyak helikopter.
Kalla mengaku kapok dengan bantuan asing. Kata seorang kepercayaannya, Wakil
Presiden sebal karena bantuan 70 negara asing di Aceh terpakai untuk ongkos sewa
pesawat. Australia, yang memberikan bantuan US$ 10 juta, 80 persennya kembali ke
"kantong" mereka karena soal pesawat itu (Tempo, 26 November 2006).
Maka, pada awal 2005, Jusuf Kalla secara informal meminta Iwan Hardja mencari
helikopter yang "murah tapi bermanfaat". Iwan, 55 tahun, adalah mantan karyawan PT
Bukaka Teknik Utama dan selama seperempat abad mengabdi pada perusahaan
milik keluarga Jusuf Kalla itu.
Iwan segera bergerilya dan mendapat informasi bahwa di Bavaria, Jerman,
Vebeg-perusahaan pelelangan barang bekas milik pemerintah Jerman-memiliki heli
BO 105. Murah meriah. Harga satu heli "cuma" US$ 300 ribu (sekitar Rp 2,7 miliar).
Ini sudah plus tetekbengek ongkos kirim. Jumlahnya pun puluhan.
Harga ini kabarnya bahkan di bawah harga pasaran heli bekas di dunia yang
mencapai US$ 1 juta. Juga lebih murah daripada heli BO 105 baru buatan PT
Dirgantara Indonesia yang dilego US$ 2 juta sebiji. Barang apkiran tentara Jerman ini
pun masih mulus. Jam terbang heli yang dibuat antara 1981 dan 1987 ini baru
3.000-jauh di bawah batas pakai 20 ribu jam terbang untuk kemudian turun mesin.
Sempat terdengar kabar, sebelum dijajakan ke Bakornas, heliheli itu hendak dijual ke
pihak lain. Departemen Pertahanan, misalnya, pernah diundang berkunjung ke
Jerman untuk menengok heli tersebut. " Itu heli militer yang digrounded karena
suaranya bising," kata Sekretaris Departemen Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin
kepada Tempo, Desember lalu. Tapi rencana ini batal karena pihak Jerman menolak
jika helikopternya digunakan untuk kepentingan militer. Departemen Kehutanan
pernah pula ditawari, tapi tak jadi karena dinilai pemerintah tak punya pengalaman
mengurus pesawat.
Pilihan paling masuk akal adalah menjual 12 dari 40 heli yang direncanakan itu
kepada Bakornas. Mestinya semua berlangsung mulus karena Ketua Bakornas
adalah Wakil Presiden Jusuf Kalla sendiri.
Maka diangkatlah Iwan menjadi utusan khusus Bakornas, Juni 2005. Dua bulan
kemudian, 10 heli sudah dikapalkan ke Indonesia. Dua heli lainnya menyusul pada
awal November. Soal fulus jangan khawatir. Kata Iwan, duit US$ 2,5 juta atau sekitar
Rp 22,5 miliar ia peroleh dari konsorsium Urban Sky Corporation, yang bermarkas di
British Virgin Islands. "Siapa saja para penyandang dananya, saya tidak berani buka.
Mereka bisa ngomel," kata Iwan Hardja kepada Tempo, November lalu.
Untuk membayar heli bekas tersebut, Sekretaris Bakornas Gembong Priyono pada
November 2005 mengirim surat ke Menteri Keuangan, yang ketika itu adalah Jusuf
Anwar. Intinya, ia minta disediakan duit Rp 84 miliar untuk membeli 28 helikopter.
Tapi Jusuf Anwar tak merespons. Pada Oktober 2006, permintaan itu diulang tapi
dengan jumlah yang lebih kecil: Rp 60 miliar. Departemen Keuangan, lagilagi, tak
membalas. "Kata Departemen Keuangan, anggarannya belum bisa dimasukkan," ujar
Gembong.
Capek menunggu, Iwan Hardja kemudian membatalkan penjualan helinya ke
Bakornas, 14 Oktober 2006. Kali ini ia tak lagi bicara atas nama utusan khusus
lembaga itu. Soalnya, awal 2006, ia mendirikan PT Air Transport Services, sebuah
kelompok usaha di bawah bendera Bukaka. Adik Jusuf Kalla, Achmad Kalla, ikut
bergabung di sana. Surat izin usaha perusahaan itu baru dikeluarkan Dirjen
Perhubungan Udara M. Iksan Tatang pada 3 Oktober 2006. Dengan kata lain,
perusahaan itu baru dibentuk setelah Departemen Keuangan menghidupkan lampu
merah tanda menolak membeli heli bekas tersebut.
Agar heli tak menjadi besi tua karena urung dibeli Bakornas, Iwan Hardja mengganti
skenario. Dimintalah Bakornas menyewa pesawat itu. Kebutuhan bukan tak ada:
kebakaran hutan masih menggila di sejumlah tempat di Kalimantan dan Sumatera.
Dengan harga carter US$ 1.500 per jam, diperkirakan dalam 45 hari terkumpul Rp 22
miliar-pas dengan modal awal yang telah dikeluarkan PT Air Transport. Adapun 12
pesawat itu-aha!-tetap menjadi milik perusahaan Wakil Presiden tersebut. Tapi alam
berkehendak lain. Belum lagi 45 hari terlampaui, hujan datang. Kebakaran hutan
padam oleh air dari langit. Bakornas tak punya alasan untuk tetap menyewa.
l l l
DI tempat yang berbeda, Bea dan Cukai meradang. Soalnya, 12 heli yang dibawa ke
Indonesia dengan alasan bencana itu belum membayar Rp 2,1 miliar pajak impor.
Itulah sebabnya, November tahun lalu, 10 pesawat disegel di Palembang. Sisanya
masih tersimpan di Cengkareng.
Memo Presiden yang bikin heboh itu lalu keluar. Bea Cukai membebaskan ke10
pesawat dengan syarat PT Air Transport mesti menyertakan jaminan asuransi.
Maksudnya, jika setelah tiga bulan tunggakan pajak itu belum juga lunas, asuransi
yang menalangi. PT Air Transport lalu menunjuk PT Asuransi Indo Trisaka sebagai
penjamin.
Belakangan diketahui, jaminan PT Asuransi ternyata cuma angin kosong. Jaminan
kepabeanan (custom bond) yang ditanggung Indo Trisaka senilai Rp 9 miliar ternyata
tak bisa dicairkan. Staf Ahli Wakil Presiden, Alwi Hamu, adalah salah seorang
pemegang saham perusahaan asuransi itu. Tapi kepada Tempo ia membantah ikut
campur dalam "penjaminan palsu" tersebut.
Bea Cukai meradang. Heliheli itu kembali dibeslah. "Dua belas heli itu belum punya
sertifikat kelayakan dan izin Bea Cukai," kata Kepala Bea Cukai Bandara Soekarno
Hatta Agung Kuswandono. Bila sampai sebulan tak dilunasi, Bea Cukai mengancam
akan merampas heli itu untuk negara.
Menurut Iwan Hardja, ia tak diberi tahu Bea Cukai bahwa harus segera melunasi bea
masuk. "Waktu itu kan darurat asap, jadi saya minta perusahaan asuransi milik Pak
Alwi Hamu untuk membantu. Yang penting heli bisa jalan, kan sudah dapat
penangguhan," katanya.
l l l
TERBITNYA memo Presiden dalam soal heli swasta menambah rumit silang
sengkarut. "Masak, Presiden ikut ngurusi segel heli swasta, sih? Itu kan sudah di luar
kewajaran," kata Emir Moeis, Ketua Panitia Anggaran DPR.
Panitia Anggaran kini tengah menyoroti sejumlah pelanggaran dalam pengadaan
barang bekas ini. Ketika heli datang pada 2005, misalnya, tidak ada pengajuan
anggaran heli dari pemerintah ke DPR. Selain itu, Bakornas tak memiliki hak membeli
barang modal. "Yang bisa membeli adalah Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat
sebagai pemilik anggaran," kata Emir. Cuma, jika dibeli Kantor Menteri Koordinator
Kesejahteraan Rakyat pun persoalan tak selesai. "Menko Kesra kok punya armada
heli? Siapa yang mau ngurus?" kata Emir tertawa. Karena itulah politisi PDIP itu
menyetujui sikap Departemen Keuangan. "Sampai jontor pun duitnya tak bakalan
dikasih," kata Emir menirukan seorang petinggi departemen itu.
Mendengar heli milik Bukaka terancam dirampas negara, giliran Jusuf Kalla yang
berang. "Kalau tidak ada yang mau, buang saja ke laut!" katanya, seperti ditirukan
sumber Tempo. Sayang, Kalla menolak permintaan wawancara Tempo. Dua kali tim
majalah ini bertemu khusus dengannya, namun yang ia berikan hanya keterangan off
the record. "Bapak cuma bilang yang penting niatnya baik. Kalau tidak bisa diterima,
ya mau bagaimana lagi," kata Mukhlis Hasyim, koordinator pers di Istana Wakil
Presiden.
Arif A.K., Badriah, Agus Supriyanto, Joniansyah
Memacu Heli Jerman Terbang
2005
Juni 2005
Wakil Presiden Jusuf Kalla memerintahkan Iwan Hardja, bekas eksekutif Bukaka,
mencari heli bekas yang dianggap murah untuk kepentingan penanganan bencana.
18 November 2005
Sekretaris Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan
Pengungsi Gembong Prijono mengirim surat ke Menteri Keuangan, meminta dana Rp
84 miliar untuk pengadaan 28 helikopter pada tahun anggaran 2006. Permintaan ini
tidak ditanggapi.
2006
10 Oktober 2006
Sekretaris Bakornas Gembong Priyono kembali mengirim surat ke Menteri Keuangan.
Angkanya menyusut menjadi Rp 60 miliar. Selain untuk helikopter, dana itu dipakai
buat pengadaan peralatan pemadam kebakaran. Surat diteken Gembong Prijono
dengan tembusan ke Panitia Anggaran DPR. Tidak ada tanggapan.
12 Oktober 2006
Pemerintah mengumumkan menyiapkan dana Rp 100 miliar untuk penanganan
bencana asap. Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie melapor ke
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan mengumumkan pemerintah memutuskan
akan menyewa pesawat BE200 dari Rusia, plus heli pengebom air dari Malaysia dan
Australia.
14 Oktober 2006
Iwan Hardja, kini mewakili PT Air Transport Services, menarik rencana penjualan heli
ke Bakornas. Alasannya, janji pembelian tak kunjung terealisasi sejak 2005. Pemilik
heli, Urban Sky Corporation, menarik niatnya untuk menjual. Hak pengelolaan di
Indonesia dipegang oleh Air Transport Services.
17 Oktober 2006
Kepala Pelaksana Harian Bakornas Syamsul Ma'arif membuat surat yang
menyatakan pemerintah batal membeli heli eks Jerman itu. Namun, dalam surat yang
sama, Syamsul menyatakan heli tersebut diperlukan untuk menanggulangi kebakaran
hutan. Ia meminta BeaCukai mengeluarkan heli tersebut dari Kawasan Berikat
Cengkareng.
20 Oktober 2006
Dana awal penanggulangan asap dikeluarkan Departemen Keuangan. Antara lain
sebesar Rp 32,4 miliar untuk uang muka sewa BE200 dan Rp 11 miliar untuk uang
muka sewa heli Malaysia. Namun, oleh Bakornas, penyewaan heli Malaysia itu
diganti dengan sewa heli BO 105 eks Jerman yang tak jadi dibeli Bakornas. Malaysia
menuntut pembayaran denda pembatalan Rp 672,3 juta.
22 Oktober 2006
Heli eks Jerman terbang ke Sumatera untuk mengerjakan proyek Bakornas.
Mulamula tiga helikopter dan akhirnya total menjadi 10 helikopter. Mereka dikerahkan
ke Sumatera Selatan-titik paling rawan bencana.
11 November 2006
Sepuluh heli yang bekerja memadamkan asap di Sumatera disegel BeaCukai di
Bandara Talang Betutu, Palembang. Alasannya, mereka tidak membayar pajak impor
dan bea masuk sebesar Rp 2,1 miliar.
7 Desember 2006
Presiden Yudhoyono menulis memo ke Menteri Keuangan dan Menteri Perhubungan
untuk mencabut segel atas pesawat itu. Memo ini dibuat atas permintaan lisan Wakil
Presiden Jusuf Kalla, yang memprotes penyegelan heli eks Jerman oleh BeaCukai.
14 Desember 2006
Segel dilepas BeaCukai, setelah Air Transport mendapat jaminan dari perusahaan
asuransi Indo Trisaka. Heli lalu diterbangkan pulang ke Jakarta.
20 Desember 2006
Tahun anggaran 2006 habis. Bakornas terlambat menyelesaikan bukti tagihan
penanggulangan asap. Pertanggungjawaban mundur. Departemen Keuangan
memberikan tenggat 9 Januari 2007.
27 Desember 2006
Air Transport mengembalikan sisa sewa heli untuk proyek asap Rp 3,8 miliar ke
Bakornas.
2007
15 Januari 2007
Departemen Keuangan menyatakan jangka waktu penerimaan bukti
pertanggungjawaban bencana asap berakhir. Biaya sewa heli BO 105 oleh Bakornas
tercatat Rp 7,3 miliar. Pengeluaran total hanya Rp 83 miliar.
21 Februari 2007
Direktur Jenderal BeaCukai Anwar Supriyadi memerintahkan pembatalan
perpanjangan penangguhan pajak dan bea masuk heli milik Air Transport. Jaminan
pembayaran bea masuk dari perusahaan asuransi ternyata bodong.
1 Maret 2007
BeaCukai kembali menyegel heli eks Bakornas. Lima helikopter disegel di halaman
PT Bukaka Trans System di Citeureup, Bogor. Turut disegel satu heli yang disimpan
di Cengkareng. Enam unit heli lain yang tak diketahui keberadaannya dinyatakan
buron. PT Air Transport diberi waktu untuk melunasi hingga 21 hari sebelum heli
dirampas buat negara.
9 Maret 2007
Iwan Hardja dari Air Transport mengirim surat permintaan ke BeaCukai agar enam heli
BO 105 lainnya tidak disegel. Keenam heli itu dilaporkan tersebar di Medan,
Makassar, dan Poso. Heliheli itu akan dipakai untuk peragaan pemadaman asap di
Jambi, 28 Maret 2007. BeaCukai Cengkareng tetap memerintahkan penyegelan.
15 Maret 2007
Dirjen Bea Cukai Anwar Supriyadi mengirimkan surat peringatan kepada Air Transport
untuk segera membayar kembali pajak.
21 Maret 2007
Dirjen BeaCukai memberikan perpanjangan penangguhan pajak kembali untuk masa
dua bulan.
Aturan yang Diterjang
1. Penetapan Presiden Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pengadaan Barang dan Jasa
Pemerintah (revisi Keputusan Presiden Nomor 80/2003 serta Penetapan Presiden
Nomor 61/2004, 32/2005, dan 70/2005)
2. UndangUndang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih
dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
copyright TEMPO 2003
|