TEMPO, Edisi. 05/XXXIIIIII/26 Maret - 01 April 2007
Opini
Kisah Kalla dan Heli Bukaka
"Negara bukan toko" -Jusuf Kalla
KALIMAT ini diucapkan Wakil Presiden dalam sebuah pidato—sebuah permintaan
agar Indonesia dikelola lebih teratur, tidak centang-perenang dan tidak ala kadarnya.
Ketika itu ia menyindir administrasi keuangan penanggulangan bencana tsunami
Aceh yang semrawut.
Kalau saja Kalla konsisten dengan ucapannya itu, mestinya sengkarut yang
kemudian jadi omongan ini tak perlu terjadi: ia mendatangkan 12 helikopter bekas dari
Jerman melalui sebuah firma dalam kelompok Bukaka—perusahaan miliknya. Ia
meminta penghapusan pajak dan bea masuk, ia mengharap pemerintah membeli
pesawat-pesawat itu. Mudah ditebak: ada perhitungan u! ntung rugi di sana.
Ia lalu memangkas prosedur dan menerapkan prinsip "jalan dulu, urusan belakangan".
Cerita ini berawal pada 2005. Ketika itu sebagian Indonesia baru saja diterjang
tsunami dan kebakaran hutan. Kalla yang juga Ketua Badan Koordinasi Nasional
Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (Bakornas) meminta bekas
eksekutifnya di Bukaka mencari helikopter bekas yang murah tapi masih layak pakai.
Wakil Presiden mengaku malu karena Indonesia selalu meminjam pesawat dari
negara tetangga tiap kali bencana datang.
Kalla berharap, biaya pembelian pesawat ditanggung oleh Bakornas. Tapi Bakornas,
ketika itu, bukan lembaga yang punya hak membeli barang. Selain itu, Departemen
Keuangan menyatakan tidak memiliki dana untuk 12 heli tersebut. Kalla tak
menyerah: heli tetap didatangkan dengan duit pinjaman dari Urban Sky Corporation,
sebuah konsorsium di British Virgin Islands.
Belakangan, untuk mengatasi kerugian akibat tak ada kejelasan anggaran, skenario
diubah. Pesawat tidak jadi dijual ke Bakornas, melainkan disewakan saja. Dengan
harga carter US$ 1.500 per jam, diperkirakan dalam 45 hari terkumpul Rp 22
miliar—pas dengan modal awal yang telah dikeluarkan Bukaka. Adapun 12 pesawat
itu tetap menjadi milik perusahaan keluarga Jusuf Kalla.
Tapi, belum lagi 45 hari terlampaui, hujan datang. Kebakaran hutan padam oleh air
dari langit. Bakornas tak punya alasan untuk tetap menyewa. Di lain pihak, Bea dan
Cukai bergerak: mereka menuntut agar bea masuk Rp 2,1 miliar dan pajak helikopter
itu segera dilunasi. Pada November tahun lalu, sejumlah heli dibeslah.
Kalla tak tinggal diam. Ia meminta bantuan Presiden untuk menyelesaikan sengkarut
ini. Presiden turun tangan dengan mengeluarkan memo kepada Departemen
Keuangan dan Departemen Perhubungan. Intinya, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono meminta agar heli itu dibebaskan, namun prosedurnya tetap "mematuhi
aturan yang berlaku".
Departemen Keuangan, lembaga yang menaungi Bea dan Cukai, patuh. Heli
dibebaskan dengan syarat ada jaminan dari perusahaan asuransi bahwa pada
saatnya pajak yang tertunggak akan dilunasi. Bukaka menyanggupi. Dipilihlah PT
Asuransi Indo Trisaka sebagai penjamin. Persoalan belum selesai karena belakangan
diketahui perusahaan asuransi itu bodong alias tak menyediakan duit jaminan. Adalah
Alwi Hamu, staf ahli Wakil Presiden, yang berada di belakang perusahaan asuransi
itu. Bea Cukai berang: pesawat-pesawat kembali dikandangkan.
Negara bukan toko, kata Jusuf Kalla. Seandainya ia konsisten dengan ucapannya itu,
kisruh ini tak perlu terjadi. Bahwa mengelola negara bukan semata soal bagaimana
mencapai tujuan dalam waktu singkat, tapi juga bagaimana prosedur harus
diindahkan dan aturan tak dilanggar. Hanya dengan cara inilah Republik terhindar dari
penyelewengan, korupsi, atau tindakan yang merugikan orang ramai.
Tapi itulah yang justru tak dilakukan. Dengan alasan terdesak bencana, sejumlah
prosedur dilewati. Hal ini bisa dianggap mengabaikan Undang-Undang Nomor 28/1999
tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Aturan lain, yaitu Penetapan Presiden Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pengadaan
Barang dan Jasa, juga dianggap sepi. Seharusnya Jusuf Kalla menjelaskan dengan
gamblang mengapa ia menunjuk perusahaan miliknya ikut proyek tanpa tender itu.
Entah kenapa Presiden Yudhoyono menyetujui tindakan ini. Memo Presiden kepada
Menteri Keuangan dan Menteri Perhubungan semestinya tidak perlu dikeluarkan.
Memo itu bisa meruntuhkan "mekanisme kontrol" yang sedang dibangun dua
departemen tadi dalam kasus ini.
Usaha menjalin keharmonisan dengan Wakil Presiden bisa dilakukan tanpa "ongkos"
sebesar ini. Memo itu malah bisa ditafsirkan sebagai bentuk perintah Presiden untuk
membebaskan helikopter yang belum membayar pajak. Walaupun dalam memo itu
Presiden menitipkan satu pasal kepada dua menterinya, agar tetap mengikuti
peraturan yang berlaku, sulit bagi aparat di lapangan untuk tidak segera meloloskan
heli tersebut.
Negara bukan toko, kata Jusuf Kalla. Kita prihatin, kali ini, justru contoh tidak datang
dari atas dalam usaha menjadikan negara bukan sebagai toko.
copyright TEMPO 2003
|