Tampun Juah adalah perkampungan Dayak di pedalaman hutan Borneo.
Kampung itu letaknya dipinggir sungai Entabai yang mengalir ke sungai Sekayam. Tampun Juah
letaknya di hutan yang lebat di Borneo.Pimpinan kampung atau Tumenggung yang bernama
Donia anak Laban sudah meninggal dunia, maka penduduk kampung sedang sibuk memilih
Tumenggung baru. Pada malam hari sewaktu bulan purnama para orang-orang tua berkumpul di
Batu Hampar guna bersidang sementara anak-anak muda duduk-duduk dekat Batang, rumah
panjang, bernyanyi dan membaca pantun dan anak kecil berkejar-kejaran. Nampak
kampung itu hidup dan penduduknya berbahagia.
Di Batu Hampar orang-orang sudah duduk-duduk, bercakap hal-hal yang ringan sambil
menanti ketua sidang. Sementara juga ada yang membakar damar Pedagi untuk memanggil
Tompo-Tompo, Tuhan, sebelum sidang dimulai agar Tompo berkenan hadir dipersidangan itu.
Tumenggung sebelum Donia anak Laban adalah Tumenggung Babai Cinga. Dia sedang
sakit pada kulit yang kita sebut dermatitis, mereka mengatakan kena penyakit Puak yang
disebabkan kutukan dari Tuhan. Itulah sebabnya dia mengasingkan dirinya di bukit
Entiju, bertapa, guna meminta maaf kepada Tuhan agar dibebaskan dari dosanya. Babai
berarti Datuk atau Shaman, dia adalah orang yang dihormati dikampung itu.
Tak berapa lama ketua sidang datang dan semua yang hadir berdiri. Pekerjaan
pertama ketua sidang adalah memanjatkan doa, katanya, " Oh Tompo, hadirlah
dipersidangan ini, saya Gunang anak Aruang dengan kedua tanganku kuangkat aku bermohon
kepadamu, hadirlah di persidangan ini," Kemudian dia membuka persidangan
seperti biasa. Mereka yang hadir juga percaya bahwa Tompo hadir disidang ini, maka
mereka menghormati dan mematuhi aturan sidang
Pinpinan sidang, Gunang anak Aruang berkata bagaimana seharusnya seorang pemimpin itu;
dia seorang yang mampu memimpin masyarakatnya, dia seorang yang mampu membagi keadilan dan
seterusnya. Dia mempersilahkan setiap orang untuk ikut memberikan pendapatnya
sebagai suatu sidang yang demokratik.
Seeorang berkata," saya Dumai anak Liga ingin mengatakan sesuatu bahwa kemarin
kita sudah sependapat akan mengangkat Babai Cinga menjadi pemimpin kita."
" Ya,Ya benar, kita sudah sepakat akan mengangkat dia menjadi pemimpin kita,"
seru para hadirin.
" Tetapi anda harus mempertimbangkan akan sakitnya dia dan kemampuan dia untuk
memimpin yang disebabkan dia sekarang mengasingkan diri di bukit Entiju," kata Gunang
anak Aruang.
Semua orang kecewa mendengar itu, karena mereka percaya bahwa Babai Cinga adalah
pemimpin yang baik.
Tiba-tiba Babai Cinga datang memasuki tempat sidang. Dia pucat dan tampak tua.
Sewaktu dia masuk keruangan, bau busuk dari nanah yang keluar dari kulitnya
menyebar keseluruh hadirin. Tampaknya dia tidak mempunyai ambisi untuk menjadi
pemimpin karena sakit, maka dia hanya diam dan duduk. Tetapi dia tampak masih kuat,
terlihat dari ototnya dan langkahnya. Dia tahu bahwa semua yang hadir memperhatikan
dia dan mengharapkan dia
Gunang anak Aruang berkata, " Babai Cinga kita semua bergembira dengan kedatangan
kamu; Karena semua orang telah memilih kamu sebagai pemimpin kami, maka kamu harus
berbicara disini."
" Saudara-saudara yang hadir dari seluruh kampung Tampua Juah, demi Tompo diatas
langit dan demi Roh dari Pendagi, saya Babai Cinga sudah terlalu tua untuk menjadi
pemimpin kamu; saya sudah memimpin kamu selama dua puluh tahun sebelum saya memutuskan
untuk bertapa di bukit Entiju; saya telahmemilih Donia anak Laban menggantikan saya dan
sebagaimana kita ketahui Donia anak Laban telah meninggal dunia; Saya yakin bahwa kita
dapat memilih salah seorang diantara kita di Tampun Juah untuk mampu dan bersedia menjadi
pemimpin.
Dia berhenti berbicara, dan sidang menjadi sunyi tidak ada orang berkata ataupun
berbisik. Maka Gunang anak Aruang mengambil inisiatif untuk berbicara," Baiklah
siapakah diantara saudara-saudara yang mempunyai pendapat?"
Tetapi tidak ada orang yang bersedia berbicara.
" Jika demikian saya akan memberikan suatu mandat kepada Babai Cinga untuk memilih
siapa diantara kita yang patut menjadi pemimpin. Apakah kamu setuju?" kata
Gunang anak Aruang.
" Ya, kami setuju," kata para hadirin serempak.
Babai Cinga melanjutkan pidatonya," Saya belum siap untuk memilih salah satu dari
kamu, karena saya harus menanyakan kepada Tompo diatas langit dan juga pelindung kita;
Datanglah di bukit Entiju dua hari lagi, saya akan menunjuk satu diantara kamu."
Entiju bukit yang ditutupi oleh hutan lebat tempat Babai Cinga bertapa; Tepat dipuncak
bukit ada satu gubuk tempatnya. Didalam kesunyian pilirannya, Babai bertanya kepada Tompo,
" Tompo, siapakah yang akan memimpin kampung Tampuh Juah?. maka jawabannya segera
datang kepikirannya, " Babai Tibai adalah pemimpin kampung Tampu Juah. Maka dia
memberitahukan kepada utusan dari kampung Tampu Juah bahwa Babai Tibai yang akan memimpin
masyarakat.
Babai Cinga didalam meditasinya memohon kepada Tompo untuk menyembuhkan penyakitnya.
Setelah satu minggu dia melaksanakan mediatasi nya dan memohon kepada Tompo,
datanglah jawabannya kedalam alam pikirannya, " Perkebunanmu sedang panen, datanglah
dan petik satu ketimun dan kencing-i sebelum dilempar ke sungai Entabai, kerjakan. Kamu
akan bertemu dengan seorang perempuan cantik; Dia adalah puteri suatu Kerajaan; Jangan
ragu-ragu untuk mengawini dia, karena dia adalah akan menjadi isterimu."
Babai Cingan berpikir, " Bagaimana saya akan kawin dengan seorang perempuan dengan
kulitku yang berbau dan bernanah seperti ini?, Oh Tompo engkau telah mendengar
permohonanku oleh sebab itu aku akan melaksanakan perintahmu. Oh Tompo maafkanlah
dosaku sehingga aku mendapat kutukmu seperti ini."
Yang empunya cerita tidak menerangkan dosa apakah yang telah diperbuat.
Babai Cinga pergi keperkebunannya, memetik satu ketimun yang baik, kemudian dikencing-i
sebelum dibuang kesungai Entabai. Ketimun itu terdorong arus mengikuti arus
dan sampai kesungai Sekayam. Sementara itu dihilir sungai Sekayam, tampak beberapa gadis
sedang mandi disungai. Salah satu dari gadis-gadis itu adalah Dara Nante, Puteri
dari Kerajaan Labai Lawai. Dia melihat satu ketimun yang terapung kemudian dia
minta kepada kawannya untuk mengambilkan ketimun itu. Kita tentunya tau ketimun apa
itu, itu adalah ketimun yang dikencing-i oleh Babai Cinga.
Kerajaan Labai Lawai terletak di hilir sungai Sekayam di pantai barat Borneo.
Kerajaan itu adalah bagian dari kerajaan besar di Sumatra, Kerajaan Sriwijaya. Raja
adalah seorang yang bijak, isterinya sudah meninggal, dia hanya mempunyai satu anak gadis
yang bernama Dara Nante
Pada suatu hari Dara Nante memperlihatkan satu ketimun kepada ayahnya, " Ayah,
apakah saya boleh memakan ketimun ini ayah? pintanya .
" Tentu saja boleh, tetapi dengan satu syarat, harus bersih, darimana kamu
dapatkan ketimun ini? tanya Ayahnya.
" Saya dapatkan ini disungai Sekayam sewaktu kami sedang berenang," katanya.
" Oh jangan dimakan anakku, barang itu pasti kotor, kamu akan sakit jika makan
itu, jangan," kata ayahnya.
" Hayolah bapak, saya sudah bersihkan tadi didapur, sudah tidak kotor lagi;
Bolehkan ayah?" kata Dara Nante dengan sikap manja.
Ayahnya berpikir," Hanya sebuah ketimun, buat apa diributkan apalagi sudah
dibersihkan, saya harus menyetujui anakku yang tersayang," Pada akhirnya Raja
berkata, " Ya boleh"
" Terimakasih ayah," kata Dara Nante dan kemudian dia makan ketimun itu.
Satu bulan kemudian Dara Nante hamil tanpa suami. Bagaimana bisa terjadi
begitu?. Hal ini terjadi karena dia makan ketimun yang sudah dikencingi dari sungai
Sekayam. Raja menjadi marah, " Siapa yang berani mempermalukan anak
saya?" kata Raja. Seluruh Negeri menjadi gempar, banyak anak-anak muda yang
ditangkap untuk ditanyai oleh para pengawal raja, tetapi polisi gagal menangkap tersangka.
Dara Nante bermaksud untuk pergi mengasingkan diri guna mengurangi rasa malu dan rasa
malu ayahnya. Dia meyakinkan ayahnya bahwa tidak seorangpun yang pernah berbuat
sesuatu yang memalukan dirinya. Mungkin ini sudah kehendak Tuhan. Dia tidak
menyadari bahwa hamilnya disebabkan dia makan buah ketimun dari sungai tadi.
Satu tahun kemudian Dara Nante melahirkan seorang bayi laki-laki. Semua orang
percaya bahwa kelahiran bayi itu adalah kehendak Tuhan. Mereka memaafkan Dara Nante
dalam hal melahirkan tanpa suami. Pada waktu Dara Nante melahirkan, ayahnya
bermimpi didatangi seorang yang mengatakan untuk menanam sebatang tebu dihalaman.
Hanya ayah dari cucunya yang akan dapat mematahkan batang tebu itu. Jadi Raja dapat
menemukan anak menantunya dengan mengadakan kontes mematahkan batang tebu itu.
Raja menanyakan arti mimpinya kepada stafnya, Hulubalang dan juga kepada Dara Nante,
pada suatu kesempatan pertemuan, apakah arti mimpi itu?
Salah seorang Hulubalang menerangkan bahwa menurut adat suku Dayak, bila bayi sudah
pandai berjalan harus diadakan upacara mandi disungai. Pada waktu itu si bayi diberi
sebatang tebu yang harus digenggamkan pada tangannya. Kemudian tebu itu harus
ditanam di halaman.
Menurut saya kelihatannya ayah si bayi ini ada di hulu sungai.
Setelah batang tebu itu tumbuh, ambil dan dipergunakan untuk mencari sang ayah si bayi
di hulu sungai. Siapa yang dapat mematahkan batang tebu tadi, dialah ayah si bayi.
Carilah ayah si bayi di hulu sungai Sekayam.
Kemudian masyarakat dan keluarga kerajaan mengadakan upacara memandikan bayi di sungai
sesuai dengan adat Dayak. Dan juga upacara menanam tebu setelah digenggam oleh tangan si
bayi.
Lima tahun kemudian bayi sudah cukup besar untuk mencari ayahnya. Dara Nante
bersama para pengikutnya, perajurit dan dayang-dayang pergi mencari suaminya dengan
memakai perahu besar yang disebut Bidar kearah hulu sungai Sekayam; tidak lupa membawa
tebu yang ditanam di halaman tadi.
Mereka sampai di sungai Kapuas dari sungai Kubu dan sesudah itu banyak cabang sungai
yang menjadikan bingung untuk memilih yang mana sungai yang akan dilalui.
Kemudian anak Dara Nante menunjuk kesalah satu cabang sungai, maka Dara Nante memutuskan
untuk memilih sungai yang ditunjuk anaknya dan ternyata sungai itu adalah sungai Entabai
yang akan mengantarkan mereka menuju kampung Tampun Juah di hulu sungai.
Kampung Dayak Tampun juah akan kedatangan tamu dari kerajaan Labai Lawai. Untuk
pertama kalinya sebuah kapal besar datang kekampung itu. Mereka menjadi gempar
karena disangka kedatangan musuh dari suku Dayak lain yang akan menyerang kampung mereka.
Maka seluruh anak muda dikerahkan menjaga kampung, bahkn Babai Cinga turun dari bukit
Entiju, memimpin sendiri perajurit. Mereka menggunakan senjata Mandau pedang
orang Dayak, sumpit dan panah; mereka berjaga-jaga di tepi sungai diantara semak-semak.
Dara Nante dan para pengikutnya mengetahui keadaan yang berbahaya, maka dia mengibarkan
kain putih tanda berdamai. Kemudian Dra Nante menyuruh seorang utusan untuk
datang kepada Tumenggung disitu guna menerangkan maksud kedatangannya. Sang
utusan menceritakan bahwa Puteri datang dengan maksud mencari suaminya yang dipercaya
berada atau hidup di kampung ini menurut mimpi ayahnya. Oleh sebabitu dia
bermaksud mengadakan sjaembara siapa yang dapat mematahkan batang tebu, dialah yang akan
menjadi suaminya.
Masyarakat Tampuh Juah bergembira mendengar itu bukan kabar buruk tentang perang.
Semua laki-laki muda datang mencoba mematahkan batang tebu. Tetapi mereka
gagal mematahkannya; semua pemuda masyarakat disitu telah mencobanya dan hasilnya gagal
semua. Sekarang tinggal Babai Cinga, tampaknya dia tidak mau mencoba, dia sangat malu
disebabkan sakitnya. Tetapi semua temannya mendorong dan memberi dukungan
keoadanya. Pada akhirnya dia setuju; hasilnya sangat berhasil, batang tebu itu
dengan mudah dipatahkan. Semua orang bersorak hurray dan memberikan tepuk tangan
kepadanya. Kita telah mengetahui bahwa dia lah yang mengencingi ketimun itu,
itu lah sebabnya dia adalah suami Dara Nante.
Puteri Dara Nante datang dan menghampiri dia kemudian berkata, " Kamu menang maka
kamu akan menjadi suami ku, apakah kamu bersedia menikah dengan ku?"
Babai Cinga hampir hampir tidak dapat menjawab disebabkan masih merasa malu dengan
penyakit kulitnya; pada akhirnya dia menjawab dengan suara yang hampir tidak terdengar,
" Ya, saya bersedia menjadi suami kamu tetapi dengan satu syarat, saya akan mengikuti
kamu dengan berenang disamping kapal kamu menuju Labai Lawai."
" Mengapa kamu lakukan seperti itu?" tanya Puteri Dara Nante. "
Saya tahu kamu sedang menderita penyakit kulit, tetapi saya telah siap dengan kondisi apa
pun yang akan menjadi suami saya; itulah janji saya."
" Saya gembira kamu mau mengerti keadaan saya, tetapi say akan mengatakan Bahwa
Tompo, Tuhan saya, meminta kepada saya untuk berenang mengikuti kapal kamu; barangkali ini
adalah kutukan yang terakhir," kata Babai Cinga.
" Baiklah saya setuju dan saya harus setuju karena kamu adalah suamiku," kata
Puteri.
Sesudah masyarakat Tampuh Juah dan tamunya mengadakan pesta perkawinan, kemudian mereka
melepas Puteri pergi pulang kenegerinya bersama suaminya. Babai Tibai, Tumenggung
yang baru denga para pengikutnya melepas dipinggir sungai Entabai. Babai Cinga
siap berenang dibelakang Kapal dengan diikuti oleh sorak sorai dan tepuk tangan dari
masyarakat Tampuh Juah.
Perjalanan pulang lebih cepat dari pada perjalanan pergi disebabkan kapal didorong oleh
arus sungai. Mereka sampai ke Labai Lawai dalam waktu satu minggu.
Mengherankan Babai Cinga sembuh dari sakit kulitnya; kemungkinan Seluang, ikan-ikan
kecil memakan nanah dan keropeng kulitnya sewaktu dia berenang. Tetapi Tuhan Tompo
memenuhi janjinya untuk menarik kutukannya kepada Babai Cinga.
Sekarang Babai Cinga mempunyai kulit yang segar dan kelihatan muda dari sebelumnya
sewaktu sakit.
Isterinya Puteri Dara Nante gembira demikian pula ayahnya, sekarang cucunya sudah
mempunyai ayah.
Rakyat di kedua Negeri itu juga ikut bergembira.
Nenek memberi komentar pada akhir cerita, " Cerita ini memnunjukan bahwa sekalipun
masyarakat Dayak hidup terisolasi di hutan lebat Kalimantan/ Borneo, tetapi dia masih
berhubungan dengan orang-orang yang hidup di hilir sungai dan di tepi pantai. Mereka
tidak terisolasi dengan kebudayaan global.