"Aku dan Semsar"

 


Edi Cahyono

Cukup lama aku telah dikontak untuk menulis mengenang Semsar Siahaan barang sedikit. Terus terang tidak mudah menuliskannya. Karena—bukan alasan kesibukan—aku tidak tahu apa yang sebaiknya dituliskan. Ada Yayak Yatmaka, Irina Dayasih, Dolorosa Sinaga dan terakhir adik Semsar, Dyani Siahaan, meminta ku untuk ikut andil mengisi penerbitan untuk mengenang Semsar.

Jarak waktu dari kematiannya yang telah lebih dari 3 tahun membuat aku agak lebih mudah menuliskan ini.

Aku mengenal Semsar sejak pertengahan 1980-an. Perkenalan yang langsung membawa kami dalam relasi ideologis—sama-sama kiri. Aku, waktu itu tergabung bersama beberapa teman di dalam kelompok studi yang bernama Yayasan Studi Masyarakat (YSM). YSM menerbitkan buletin bertajuk LINK, berisikan analisis ekonomi-politik terhadap masyarakat Indonesia. YSM sempat menerbitkan tiga buletin analisisnya. Edisi kedua—“Masalah Pertanahan“—dan ketiga—“Masalah Perburuhan”—buletin tersebut diperkaya dengan gambar-gambar karya Semsar. Ketika YSM bubar pada 1988, aku dan beberapa teman membentuk kelompok bernama Yayasan Maju Bersama (YMB). YMB dibentuk oleh beberapa lulusan Sastra UI, aktivis mahasiswa FISIP-UI, dan mayoritas anggota berasal dari buruh-buruh beberapa pabrik di wilayah Tangerang. Semsar masuk YMB karena antara aku dan dia sudah terjalin kontak—ideologis—agak lama pula. Sehingga ketika aku utarakan rencana membentuk YMB dengan keanggotaan sebagian adalah kaum buruh, dia langsung ikut bergabung. Dan pada salah satu pertemuan di sebuah rumah di kawasan Depok-UI, dia datang, dan tercengang karena ternyata anggota YMB yang buruh memang berjumlah cukup besar, mereka datang dengan menyewa beberapa mobil pick-up.

Ada beberapa agenda yang dilakukan YMB, salah satunya adalah penerbitan sebuah buletin. Ide-ide disampaikan dalam pertemuan besar tersebut. Bagaimana naskah-naskah disiapkan oleh para buruh. Bagaimana, para buruh—yang mayoritas tidak memiliki kemampuan menulis—dapat memiliki kemampuan menulis untuk buletin tersebut. Sampai akhirnya pemilihan nama buletin. Semsar lah yang mengusulkan nama TENAGA UPAH. Dan akhirnya menjadi keputusan pertemuan nama yang diusulkan Semsar tersebut yang akan digunakan.

Namun, agaknya, teman-teman yang berlatar pendidikan universitas tetap memikirkan nama yang pas untuk buletin YMB tersebut. Menurut mereka nama usulan Semsar terlalu teoritis-ideologis. Dan itu artinya high-profile. Sementara kondisi sosial-politik-budaya dari audiens terbitan tersebut adalah lingkungan yang a-politis, yang direpresi oleh rezim orde baru, yang sebaiknya dihindarkan dari represi lebih jauh, bila suatu terbitan yang bersifat high-profile dimunculkan. Akhirnya melalui pertemuan anggota YMB non-buruh, diputuskan satu nama lain yaitu: CERITA KAMI. Tentu saja, keputusan baru ini diprotes oleh Semsar. Meskipun setelah diberi penjelasan, akhirnya ia bersedia “menerima” nama baru tersebut.

Semsar yang menyiapkan logo dan gambar-gambar sebagai pendamping naskah-naskah CERITA KAMI tersebut. Gambar-gambar yang disiapkan semsar terkadang lebih bisa berbicara sendiri, dan memiliki kemampuan memberikan pendidikan politik bagi buruh. Bagi ku gambar-gambar kreasi Semsar ini sangat luar-biasa, dia menggambar kelas paling revolusioner: buruh sebagai kelas pekerja/proletar.

Sebagai anggota YMB Semsar banyak memberi dukungan, dia menghadiri pertemuan-pertemuan YMB yang sering diadakan di komunitas-komunitas buruh, dia juga banyak berdiskusi—bagi Semsar ini penting untuk dituangkan menjadi gambar-gambar yang akan dia buat. Juga, sangat tidak sedikit sumbangan Semsar dalam bentuk uang ke YMB. YMB memang didirikan dengan mengandalkan keuangan dari anggota—meskipun belakangan hari ada funding-agency yang mau berbagi ke YMB. Kami memang sadar membangun kelompok dengan isu dan basis buruh akan mengalami kesulitan dalam mencari dukungan dana operasional. Semsar, yang kebetulan punya uang lebih, sering memberikan uangnya ke YMB. Ada hal yang paling mengharukan yaitu, saat istri Semsar, Asnaeni, melahirkan putra mereka Cristo (tahun 1993), yang sayangnya tidak berusia panjang—akibat terinveksi virus toksoplasma—pada hari kelahiran putra Semsar satu-satunya tersebut, aku dan beberapa teman YMB datang ke Rumah Sakit Cinere. Ada beberapa jam kami di sana, kemudian Semsar mengajak kami ke rumahnya, karena dia akan menanam ari-ari putranya. Selesai penanaman ari-ari, kami membantu dia membereskan rumah, karena putranya sudah pasti tak tertolong dan akan meninggal dalam beberapa jam ke depan, tentu rumahnya akan banyak kehadiran tamu. Pada saat segala sesuatu telah selesai, kami bersama-sama akan kembali ke rumah sakit (yang tidak jauh dari rumah Semsar), saat itu Semsar memberi kami uang sebesar Rp. 3.500.000,- (tigajuta limaratus ribu rupiah), yang dia katakan diperuntukan bagi program-program penerbitan dan diskusi perburuhan. Lagi-lagi—buat ku—itu peristiwa luar biasa. Hari itu, adalah hari kelahiran—dan sekaligus—, hari kematian putranya, dia perlu uang untuk membiayai—sekaligus—rumah sakit dan pemakaman. Namun, dia menyisihkan uang cukup besar untuk gerakan. Semsar demikian percaya dan yakin terhadap gerakan YMB. Saat bertemu Dyani (15 Maret 2008), dan ku ceritakan kejadian ini, Dyani terperangah: “kok bisa.” Ku jawab, relasi ku dengan Semsar tidak semata ideologis, namun juga psikologis.

Aku sering bertandang ke rumah Semsar di Cinere, bukan untuk membahas gerakan atau berdiskusi soal revolusi. Tidak sama sekali. Aku bertemu dia hanya untuk bisa sama-sama bertemu. Kami sama-sama minum teh atau kopi atau bir atau whisky, atau berduet main gitar. Dia punya sebuah gitar kayu kesayangan yang diberi ibunya (dia sangat kehilangan ketika suatu ketika gitar kesayangan ini dicuri oleh pembobol rumahnya). Juga ada sebuah gitar elektrik, Gibson B2, juga menjadi kesayangannya, pemberian seorang teman, gitar ini konon—waktu itu—hanya ada dua buah di Indonesia. Dan salah satunya adalah yang dia miliki. Kami mempunyai selera yang sama, yaitu musik rock, khususnya speed-metal selera kami adalah Iron Maiden, grup asal Inggris. Setiap kali ada album terbaru Iron Maiden, bahkan ketika vokalisnya, Bruce Dickinson, bersolo karier, kami pun tetap menyukainya. Banyak ucapan-ucapan kami hanya bisa dipahami oleh kami saja, khususnya bila ada orang ketiga hadir di dekat kami, tentu mereka tidak mengerti apa yang kami bicarakan, karena sebetulnya kami menyitir, mengutip kata-kata atau judul dari lirik Iron Maiden atau Bruce Dickinson. Kadang, bila Semsar sedang punya uang lebih, karena lukisannya laku, dia mentraktir ku ke tempat makan mewah di kawasan Pondok Indah. Dan dalam konteks bermewah-mewah dalam makanan, Semsar memang agak ke ‘barat-baratan’. Selesai makan, yang tentunya kami juga telah minum sesuatu pada acara makan tersebut, dia mengajak ku pergi ke tempat minum. Di tempat minum biasanya kami memesan secangkir kopi atau teh dan kue-kue kecil. Ini, bagi ku adalah, selera ‘borjuis’ Semsar.

Relasi yang tak ternilai dengan Semsar ini pula yang membuat aku dengan senang hati membuatkan sebuah situs web untuk karya-karyanya. Web ini ku desain pada Oktober 2000 ketika dia bermukim di Kanada. Gambar-gambar karyanya aku scan, juga ku buatkan suatu pengantar tentang gagasan berkesenian dia. Aku merasa harus menuliskan sendiri pengantar tersebut karena aku tahu Semsar tidak dapat menuliskan pikirannya dengan runut. Ketika konsep bahasa Indonesia nya telah dia setujui, kemudian naskah tersebut aku terjemahkan ke bahasa Inggris. Karena, aku berpikir peminat karya Semsar tidak hanya dari dalam negeri namun menjangkau pula komunitas internasional. Lokasi web ini adalah: http://www.oocities.org/semsar_siahaan/. Dan ku beri nama: Semsar Siahaan’s Gallery. Dia begitu gembira dengan web yang aku buat ini. Dia promosikan ke beberapa pihak untuk membuat web seperti ini. Paling tidak dia promosikan kemampuan kerja ku ke Yayak Yatmaka dan Pak Dicky dari Galeri Nasional.

Kami (sebagai anggota YMB) didampingi beberapa teman dari Jakarta dan Bandung pernah bersama-sama, tahun 1994, diundang menghadiri konperensi serikat-buruh internasional di Perth, Western Australia. Ketika itu Semsar baru saja sembuh dari kakinya yang patah akibat digebuk tentara dalam demo kebebasan pers (kasus majalah Tempo). Kami menghadiri pertemuan Indian Ocean Conference. Di konperensi tersebut kami bertemu dengan delegasi dari Indonesia yang lain, salah satunya adalah Dita Indah Sari. Dita mewakili kelompok SSDI (Student Solidarity for Democracy in Indonesia). Saat tersebut Dita mempromosikan aktivitas kelompoknya secara agak berlebihan, hal ini mengundang Semsar bereaksi keras. Karena Semsar sangat tahu, dia ada bersama dengan Dita dalam berbagai demo yang marak di Jakarta. Bahkan yang menyebabkan patah-kaki Semsar adalah, karena dia menolong Dita dari gangguan militer terhadap aktivis perempuan tersebut. Hal itu yang kemudian berujung dengan digebuk hingga patahnya kaki Semsar. Ini insiden yang menyebabkan panitia pertemuan berapat khusus, membicarakan aktivis-aktivis dari Indonesia yang bertengkar di forum internasional.

Semsar senang memberikan karyanya kepada siapa yang dia suka. Setahu ku, aku dan juga Melody Kemp pernah mendapat hadiah karya Semsar, dia memberikannya saat aku menikah; dan juga saat Melody Kemp menikah dengan Sean. Dia tidak memperlakukan karyanya, semata-mata, sebagai dagangan. Hal seperti itu lah yang sangat dia tolak. Dia memang hidup dari menjual karya lukisnya, namun itu sebatas untuk hidup, bukan untuk bermewah-mewah atau ke pemujaan karya. Sehingga berkali-kali dia menyampaikan bahwa dia ingin—bila meninggal—jasadnya dibakar bersama dengan karya-karyanya, agar tidak dijadikan komoditi oleh pihak mana pun. Itu memang ucapan lisan, tidak ada hard-copynya. Memang, beberapa bulan sebelum meninggal, Semsar sempat melakukan pameran di Galeri Nasional, Jakarta Pusat. Di pameran tersebut Semsar menjual setiap karya lukisnya di atas Rp 150 juta. Suatu harga, yang menurut dia, pantas, mengikuti trend harga lukisan dewasa ini. Meskipun untuk ukuran kantong ku jelas tak terbeli, namun aku dengar ada lukisannya yang laku. Artinya, harga yang dia patok masuk akal: bagi yang punya uang.

Aku tidak begitu tahu apakah sikap Semsar terhadap karyanya yang “bukan komoditi” telah berubah atau tidak, namun aku telah melihat perubahan pada karya lukis Semsar. Setelah pameran berakhir, untuk beberapa waktu Semsar menginap di rumah Dolorosa Sinaga. Di situ aku bertemu beberapa kali dengan dia. Sebagai sahabat dekat aku tanyakan ’perubahan’ itu: “kok sekarang kamu tidak melukis kelas, malah banyak yang aku saja nggak ngerti kamu nggambar apa?” Dia bilang: “orang bisa saja berubah, kan waktu juga berubah.” Itu: jawaban!

Yang jelas, dia mulai punya minat terhadap globalisasi. Dalam beberapa kali percakapan di kesempatan berbeda, dia mengemukakan gagasan ingin membentuk suatu institut yang dapat mengadvokasi soal globalisasi. Bersama ku, dia mengharapkan hal ini bisa direalisir. Kami masih sama-sama saling menggali (brain-storming) soal-soal lokal apa saja yang tergerus oleh globalisasi. Bagaimana mempersoalkan itu. Bagaimana mematahkan arus globalisasi yang seperti itu, dsb. Kami berangan-angan membangun institut ini di Solo, sebuah kota kecil di Jawa Tengah yang telah mengalami kehidupan modern sejak awal abad-20. Kami tidak berminat membentuknya di Jakarta, karena zona ini sudah kelewat hiruk-pikuk penuh kepentingan berbagai pihak.

Semsar telah tiada. Episode akhir dari dia adalah kematiannya. Sesuatu yang bagi ku masih menyimpan pertanyaan. Sampai sebelum dia pergi ke Kanada, Semsar adalah orang yang sulit tidur. Untuk dapat tidur, sekitar pukul 2 dini hari dia biasa meminum valium (sejenis obat tidur) sebanyak 5 butir. Ini dosis yang banyak, atau over-dosis. Valium dia dapat dari Hariman, yang memang dokter. Karena, obat ini tidak bisa dibeli bebas di toko obat atau apotik.

Saat di Kanada, aku menduga, dia telah terbebas dari valium. Dugaan ini aku ambil dari melihat tubuh dia yang lebih berisi saat kembali ke Indonesia, juga matanya tidak merah. Dan, kemungkinan, dia sulit mendapatkan valium atau sejenisnya, karena tidak mempunyai teman seorang dokter di sana. Yang jelas, selama di Kanada Semsar tidak pernah masuk rumah sakit untuk alasan kesehatan dirinya. Dia memang masih merokok, namun dalam jumlah kecil, rokok putih. Aku kerap bertemu selama dia berpameran dan sesudahnya. Dia sehat! Bahkan, dia memberikan kacamatanya kepada ku ketika aku tidak dapat membaca e-mail yang sedang dia buat di komputer Dolorosa (hingga saat ini, kacamata plus-2 ini, menjadi kenang-kenangan tersendiri buat ku). Artinya, mata dia lebih baik dari mata ku.

Dan berita kematian itu datang. Aku pergi ke TIM untuk menantikan jenazahnya. Petang hari, jenazah datang, dikerumuni begitu banyak orang, yang ingin memberikan penghormatannya terakhir atau sekedar melihat jasadnya. Asnaeni, mantan istri Semsar, juga datang. Hariman mendominasi waktu dengan berkisah segala sesuatu tentang proses Semsar dalam dua hari terakhirnya di rumah sakit di Bali yang membawanya ke kematian. Hal ini dimungkinkan karena Hariman lah yang dikontak Semsar saat terjadi serangan jantung tersebut. Dan, Hariman lah yang dikontak pihak rumah sakit, melalui handphone Semsar, saat Semsar telah tak bernyawa. Hariman adalah “hero“ bagi keluarga dan banyak teman Semsar di Jakarta. Pidato Hariman disimak banyak orang, karena dia satu-satunya yang tahu.

Aku merasa janggal, Hariman adalah orang yang selama ini memberikan valium kepada Semsar; Hariman yang tahu detik-detik akhir hayat Semsar; itu semua karena: Hariman adalah seorang dokter. Yang menjadi pertanyaan, mengapa seorang dokter yang begitu tahu tentang perjalanan kesehatan Semsar tidak menawarkan proses otopsi terhadap jenazah Semsar: teman karibnya! Sementara, otopsi adalah prosedur lumrah untuk melacak sebab-sebab kematian seseorang. Apakah, Hariman—sebagai seorang dokter—tidak ingin mengetahuinya? Bila ada tawaran otopsi, tentu adik-adik Semsar tidak ada keberatan, mereka adalah orang-orang rasional. Dan, mereka mengerti apa manfaat sebuah otopsi. Artinya, pun, mereka tidak akan keberatan untuk menunda sedikit lebih lama untuk mengkebumikan jasad Semsar, abang mereka, ketimbang muncul dugaan-dugaan kejanggalan: "Semsar yang sehat itu, meninggal mendadak!"

Jakarta,
March 17, '08

—‘—‘—‘—


 
 
Semsar Siahaan
Semsar Siahaan