Selamat berjumpa kapada rekan-rekan seniman di pulau Bali, Pak Made Sidja, Pak Made Tempo, rekan-rekan seniman dari Solo dan rekan-rekan seniman dari Jakarta.
Pada tanggal 16 Juni 1988, Manuel Lutgenhorst datang ke rumah saya. Kami berkenalan dan kemudian saudara Manuel mengajak saya untuk ikut serta dalam rencana pementasan “AWAKENING”. Dia memberikan saya setengah lusin tulisan photo copy – Pertama -, tentang alasan-alasan dari gagasannya untuk membuat karya pentas dengan tema tersebut di atas.
Setelah membaca isi tulisan pada photo copy tsb., terbaca hal yang menarik pada paragraf yang berbunyi sbb.:
“… it should stressed that the plays are not merely a philosophical study of the truest meaning of “Awakening”, -Awakening of the mind, reincarnation, the ascend of Christ, Buddhas Awakening and so forth, but an illumination of the world surrounding us in relation to our life, the differing social, political, traditional conditions that dominated our cultures.”
Oleh sebab itulah saya mencoba untuk ikut serta dalam pengkondisian kerjanya, sampai pada tahapan tertentu, yaitu tahapan di mana saya akan memutuskan secara pasti ikut atau tidak ikut sertanya saya pada proyek teater ‘awakening’ (kebangkitan) ini.
Prinsip utama saya di dalam berkarya, juga tujuan berkarya:
Bahwa karya seni saya itu harus mengungkap secara jelas (obyektif) problema-problema aktual-faktual yang menjepit sebagian besar manusia Indonesia terbanyak. Masalah-masalah kemasyarakatan tidak mungkin dipetak-petakkan. Karena sepengetahuan saya bahwa Seni, Politik dan Ekonomi begitu juga kegiatan-kegiatan spiritual yang disebut Agama, adalah saling berkaitan dan merupakan satu kesatuan, yang tidak mungkin dipisah-pisahkan. Mungkin kesatuan inilah yang disebut budaya itu, lengkap dengan nilai/mutu (value)nya yang dapat diuji dari langkah-langkah dan gerak sejarahnya dari waktu ke waktu yang dilampauinya.
Karya seniku akan selalu dekat dengan masalah kemasyarakatan yang aktual dan nyata, masalah hidup dan perjuangan hak untuk hidup yang menimpa manusia terbanyak Indonesia. Kaum tani dan nelayan, kaum buruh, kaum lumpen proletariat di perkotaan (bandit-bandit, gelandangan/gembel, kaum pelacur, penarik becak), yang berduyun-duyun datang dari pedesaan, pegunungan dan pantai-pantai karena perampokan ruang hidupnya yang dilakukan oleh segelintir manusia.
Karena bagiku setiap seniman, di manapun, khususnya di Indonesia ini, adalah bagian dari manusia-manusia lainnya (masyarakat) lengkap dengan problema-problema sosial, ekonomi dan politiknya, yang sampai pada detik ini sangat memprihatinkan dan mengerikan kondisi kemanusiaannya. Perampasan tanah, korupsi, pengekangan kebebasan berbicara, transmigrasi, turisme yang mengeksploitir kesenian tradisional. Perusakan dan pengurasan alam, pengangguran, kebodohan/pembodohan, indoktrinasi, impotensi kaum intelektual dll.
Oleh karena itu seniman mempunyai beban dan tugas untuk meneliti secermat mungkin dan seobyektif mungkin persoalan-persoalan kemanusiaan tsb., untuk kemudian diangkat menjadi pendorong atau katalisator proses penyadaran dan kesadaran menuju masyarakat yang demokratis. Karena dengan demokratisasi tsb. proses kesadaran akan keadilan sosial dapat berjalan. Penyelaman ke kedalaman diri sendiri atau transenden/introvert adalah hal yang harus seimbang dengan extrovert – karena bukannya kesadaran kita yang menentukan kehidupan sosial, tetapi kehidupan sosial itulah yang menentukan kesadaran kita.
Maka di masa ini yang dibutuhkan sebagai hal yang utama di dalam berkesenian adalah seniman-seniman yang mampu menatap persoalan-persoalan sosial budaya ini secara tepat dan tajam, untuk kemudian kesimpulannya menjadi motor misi karyanya, yang akan membawa manusia-manusia terbanyak yang papa ini ke dalam suatu kesadaran baru. Dan inilah yang menjadi interpretasiku sehubungan dengan tema ‘Awakening/Kebangkitan’, yang disodorkan oleh saudara Manuel Lutgenhorst.
Sekilas Kebesaran – Setumpuk Kepasifan:
Setelah menerima tulisan photo copy ketiga dengan kop PPP Manuel Lutgenhorst – New York, bertanggal 7 November 1988. Bila dilihat sepintas betapa besar proyek ‘Awakening’ ini. Proyek ini akan melebur berpuluh-puluh seniman tari-musik-teater-seni rupa. Kemungkinan 50 artis lebih akan melibatkan diri di dalam proyek tsb., baik seniman kontemporer maupun seniman tradisional (para penari). Di samping itu juga melibatkan beberapa badan usaha swasta (?) negara asing dan dalam negeri. Entah berapa biayanya yang akan dibutuhkan hingga proyek ini selesai dipentaskan. Yang jelas sangat besar. Dengan alasan ini (salah satu) saya berfikir perlu memberi kritik dan saran. Bukan untuk menjatuhkan semangat atau menghambat jalannya persiapan tetapi agar jumlah besar biaya yang dikeluarkan dengan konsepsi pertunjukkan ‘Awakening’ dengan kenyataan (kondisi obyektif) sosial saling menunjang, tepat penggunaannya. Agar tidak menimbulkan kesan advonturirisme, snobisme intelektual dan impotensi intelektual – exotisme dan kemubaziran di tengah-tengah kesulitan hidup sebagian besar bangsa Indonesia. Apa lagi dengan tema ‘Awakening/Kebangkitan’.
Tetapi ternyata tak bisa dihindarkan, oleh sebab-sebab yang logis saja, dan itu merupakan konsekwensi, cocok, berangkatnya dan di mana akan tibanya, .... pass!
Begini, kalau kita teliti dengan cermat isi tulisan pada photo copy ketiga tsb. sebenarnya kita akan menemukan titik-titik pokok (gagasan) yang sesungguhnya berangkat dari pola berfikir/sikap moral Manuel Lutgenhorst sendiri. Sementara, kita, seniman-seniman domestik menjadi alat penunjang gagasannya itu. Titik pokok itu dapat dibentangkan sebagai berikut:
Dari photo copy P.P.P Manuel Lutgenhorst – New York, tgl 7 November 1988,
1. Hal 2 – I.2.1 - Bali
“.... Kaum muda banyak tertarik pada hal-hal yang baru, yang datang dari luar, dari Barat. Perhatian mereka untuk hal tersebut tidak merupakan gangguan bagi kami....”
Kemudian: “.... kami memiliki kebenaran, sesungguhnya kami siap-siap berbagi, kalian harus datang untuk mendapatkannya....”
2. Hal. 3 – I.2.2 - Solo
“Seperti dikatakannya, pencariannya selalu berkaitan dengan kebutuhan untuk menemukan potensi dalam dirinya. Ia mengajak orang lain bergerak bersamanya, mempelajari, menemukan diri dan lingkungan mereka. Ia menganggap karyanya mempelajari gerak dan pengajaran mistik Jawa sebagai upaya mencari akarnya, [....] tanpa terikat oleh norma-norma tradisional [....] Iapun seperti rekannya di Bali mengungkapkan keprihatinannya tentang warisan budaya Indonesia yang terancam kepunahan dilanda pembangunan.”
3. Hal 4 – I.2.3 - Jakarta
“.... Kami memilih untuk mulai dari Jakarta untuk menggambarkan interaksi antara kota dan desa, Jakarta – Solo – Bali. Kita menghadapi Jakarta yang seperti New York merupakan tempat pembauran berbagai budaya. Banyak perbedaan-perbedaan tradisional telah terhapus sebuah budaya metropolitan telah terbentuk. Pengaruh dunia baru masuk kemari lebih dulu dan mendidik sekaligus membingungkan orang....”
“.... Sentralisasi kekuasaan dan Informasi dalam kehidupan sosial yang mencakup kemewahan dan kemelaratan, menimbulkan masalah pokok yaitu: Pemerataan. Jakarta menjadi pusat kekuasaan yang menebarkan getaran yang lambat laun menyentuh seluruh negeri dan akhirnya mencapai desa-desa, pulau-pulau terpencil membawa pembangunan dan kebingungan.
Kita menghadapi permukaan Indonesia modern dengan wajah yang ingin ditampilkan ke dunia luar. Mistik dan kepercayaan seperti yang hidup di Bali, masih berlangsung, tetapi terselubung di bawah keinginan untuk perkembangan, kekayaan dan ambisi.
Berbicara tentang proses demokratisasi, keadilan sosial, transmigrasi dan land reform, kepada siapa kita harus bicara dan siapa yang ingin dituju agar bangkit?
Siapa penonton kita dan apa permasalahan mereka? ...”
Setelah membentang titik-titik pokok tersebut, maka saya dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
Bahwa titik pokok sebagai kunci Manuel L. adalah titik no 1: yaitu kesenian asli Bali yang tidur. Belum mati tetapi bisa terancam mati. Pada titik inilah sesungguhnya Manuel berangkat tentang ‘Awakening’. Agar kesenian asli itu dibangunkan kembalidari tidurnya. Dia berusaha menghidupkan kembali. Mereformasikan kembali atau merekreasikannya kembali. Jadi gagasan ‘Awakening’ merupakan gagasan Manuel Lutgenhorst sendiri tentang inspirasinya untuk membangunkan kembali kesenian Bali asli/budaya Bali asli. Sementara titik pokok nomor 2 merupakan titik pelumas/pelicin untuk melancarkan terwujudnya inspirasinya tentang Awakening/dibangunkan kembalinya budaya asli Bali. Sebab itu juga mengapa pementasan perdananya akan berlangsung di Bali.
Sedangkan titik pokok nomor 3 merupakan titik berangkat alasan/argumentasinya atau katakanlah semacam target ke mana Manuel L. akan melemparkan arah tudingannya, bahwasannya segala sebab musabab ambrolnya seni tradisional Bali/budaya asli Bali, datang dari Jakarta. Jakarta baginya merupakan sumber invasi budaya barat yang menikam budaya asli Bali.
Betapa sebuah alasan yang ceroboh, tanpa melakukan penelitian terlebih dahulu bahwa apakah benar Jakarta itu sudah seperti New York? Apakah benar keanekaan tradisional di Jakarta telah terhapus dan terlebur membentuk budaya metropolitan? Atas dasar apa? Survey? Penelitian?
Kalau mengatakan bahwa Jakarta sudah seperti New York, alasannya tidak jelas. Masyarakat kota New York adalah masyarakat individual. Individualisme adalah ciri masyarakat industri. Amerika merupakan negara industri maju, sementara mayoritas masyarakat Indonesia masih di sekutar mentalitas agraris, sekalipun bermukim di Jakarta. Cara hidup komunalnya masih saja terlihat dari pertemuan adat-adat dari bermacam-macam suku di Jakrta. Jarang ada kata kesepian yang terdengar, karena teman sesukupun dapat menjadi tempat bernaung. Di Jakarta pun bahkan (dekat tempat tinggal saya) ada pusat kesenian Bali tradisional, dan tampaknya selalu penuh kegiatan: belajar menari, manabuh gamelan, upacara-upacara ritual dll.
Indonesia belum beranjak menjadi negara industri. Sikap individual belum muncul. Kalaupun terlihat, tentu hanya pada segelintir manusia Jakarta, yang keturunan bangsa barat, golongan pengusaha, para eksekutif atau juga segelintir manusia elit intelektual yang selalu sibuk menghiasi dirinya sendiri.
Pernahkah saudara Manuel L. melakukan observasi kaum urban di Jakarta? Lengkap dengan kaum lumpen proletariatnya? Si tukang pungut beling, puntung, si bandit-bandit terminal/pasar, si pelacur-pelacur picisan, si gelandangan dan gembel, si penarik becak, si pengusaha cendol pikul dllnya yang banyak, bertumpukkan dan beraneka-ragam usaha demi kelangsungan hidup.
Sadarkah saudara Manuel L. bahwa sebenarnya Indonesia (seperti juga beberapa negara dunia ketiga di Latin Amerika) sekarang merupakan satelitnya negara-negara metropolis, seperti negara dari mana anda datang yaitu Amerika Serikat, bahkan Jerman Barat sekalipun? Seperti diketahui ciri negara-negara satelitnya negara metropolis, cenderung menguras sumber alam dan juga sumber manusianya, dan kecenderungan lainnya yang menyolok adalah hobi melakukan export.
Bahwa sistem ekonomi yang serba ketergantungan pada bantuan modal asing dan pasar bebas diterapkan di negeri Indonesia oleh para ahli Indonesia sendiri, tetapi yang dulunya dicetak otaknya di negara anda (diciptakan). Sepengetahuan saya ketergantungan pada M.N.C., Foreign Investment, Soft Loans, turisme, komoditi ekspor non migas, pinjaman pada Bank Dunia dst., jelas ada pengaruhnya terhadap melorotnya budaya asli yang mana dan di mana pun di Indonesia. Singkatnya sumber malapetaka ada pada kepala para penyusun kebijaksanaan dan terutama di dalam kepala pimpinan/penguasa di negara anda sendiri.
Baiklah kita kembali pada pokok persoalan, saya ingin bertanya lagi pada saudara Manuel L., sehubungan dengan proyek teater ‘Awakening’ itu, yang ingin membangunkan kembali budaya asli Bali yang tidur:
- Benarkah bahwa ‘Awakening’ merupakan pemecahan bagi budaya Bali asli yang tidur itu?
- Atau sebagai suatu usaha pemecahan yang justru ditimbulkan oleh invasi baru?
- Lalu mengapa musti budaya asli Bali? Yang tertidur? Yang akan dibangunkan?
Sementara pada photo copy ketiga,
Hal 5.I.4. Ringkasan tertulis kalimat sbb.:
”.... kami bertanya diri, dengan usaha mengangkat derajat spiritual dan falsafah menuju kesadaran baru akan agama, lingkungan dan negeri, mungkinkah ketidak adilan dikurangi? ....“
- Adakah tercermin keadilan di dalam budaya Bali yang berlandaskan Hinduisme yang mengakui adanya kasta-kasta? Keadilan yang bagaimana yang saudara Manuel harapkan?
- Begitu pula adakah tanda-tanda keadilan pada budaya Jawa asli yang mistis dan feodalistis? Keadilan yang bagaimana?
Anda bercita-cita besar tetapi pengalaman anda menyangkut soal budaya asli tidak berbeda dengan turis awam umumnya. Dan yang menarik berdasarkan pengalaman saya, umumnya bangsa barat, khususnya bangsa Amerika Serikat, dalam melihat bangsa-bangsa di dunia ketiga persis seperti anda melihat budaya Bali asli – eksotis dan bermimpi untuk mengkonservasikannya, untuk kepuasan batin, tanpa peduli dengan denyut (empot) jantung manusianya yang berjuang mempertahankan hidup dalam menangkis badai, dari negara-negara berkapital gigantik seperti negeri anda sendiri, yang terus saja menerjang, memporak porandakan tatanan masyarakat dunia ketiga, seperti masyarakat bangsa Indonesia ku ini.
Saudara Manuel, saya bukan hendak mengecilkan atau menyepelekan hal-hal spiritual bangsa saya, tetapi menurut sepengetahuan saya bahwa kegiatan spiritual itu merupakan suatu kekuatan subyektif apabila dikondisikan, dan bila kondisi subyektif itu bertemu dan melebur diri dengan kondisi obyektif, maka itulah yang berarti kebangkitan/Awakening dengan kata lain bahwa berarti akar budaya itu hidup kembali, bergerak dan memunculkan tunas-tunasnya yang baru. Dengan kata lain lagi bahwa nyata kebudayaan itu harus bergerak.
Proyek teater ‘Awakening’ anda tidak sama sekali akan membangunkan budaya Bali asli yang tidur itu, sebaliknya proyek tsb malahan mempermolek – menghiasi – dan mempernyenyak ketidurannya. Karena tidak ada tanda-tanda pemikiran dari konsep proyek itu yang mampu menghubungkan kembali tunas kaum muda Bali kepada akarnya. Karena konsep anda sama sekali tidak menyentuh persoalan-persoalan sosial, ekonomi dan politik.
Terpenggalnya tunas dari akarnya sudah satu generasi lamanya. Dan ciri ini persis seperti pada masa penjajahan Belanda selama 350 tahun, melalui pembodohan, penindasan dan pemaksaan – pemisahan kondisi subyektif dan kondisi obyektifnya. Mampukah anda mempersatukan kembali tunas yang lama lepas dari akarnya? I give you this one last question as your home work, Mr. Manuel Lutgenhorst!
Dan perlu saya tambahkan, bukan saja ketiga titik-titik pokok (gagasan) itu, yang membuat saya yakin tentang siasat pemikiran anda, namun gagasan anda itu juga didukung oleh skenario, pada prologue dan epilogue khususnya. Entah anda sadar atau tidak, bahwa keikutsertaan saya pada proyek teater ‘Awakening’ ini, hanya akan mendapatkan cemoohan, yang akan menjerumuskan saya pada sikap yang decadent di mata siapa saja yang mengenalku.
Ketidak jelasan lain-lainnya terkandung pada masalah keorganisasian (moral-material).
- Pada photo copy tertanggal 3 Agustus 1988 PPP Manuel L. tertulis kalimat-kalimat sbb.:
“Pak Lukman will try to arrange a meeting of the seven council members before the end of August, to settle the organization and he will create a center for us to meet.”
Ternyata hal ini belum juga terealisir. Sehingga kesulitan yang dihadapi adalah untuk bertemu dan memperdebatkan hal teknis, terlebih lagi hal-hal yang moral.
- Proyek teater ‘Awakening’ belum jelas kedudukan dan penciptaannya. Apakah proyek Manuel sendiri dengan backing badan-badan swasta/negara di Amerika Serikat – Atau proyek para seniman modern dan tradisional Indonesia – Atau baur menjadi satu kesatuan. Tetapi mengapa skenario dan konsepnya merupakan susunan dan ciptaan Manuel L. sendiri, dengan mencomot interpretasi-interpretasi seniman modern dan tradisional Indonesia, tanpa bicara melalui forum seniman-seniman Indonesia yang direkrutnya? Dan Repertoir dari proyek teater ‘Awakening’ sebenarnya milik siapa, hal ini perlu ditekankan. Apalagi di setiap photo copy yang dibaginya selalu tertera kop P.P.P. Manuel Lutgenhorst – New York.
- Sehubungan dengan no 2 – Sebaiknya dilakukan ketegasan dan kejelasan persoalan pembayaran hak cipta para seniman kontemporer dan tradisional (apakah karya cipta dari dua macam seniman ini mempunyai nilai bayar/uang yang sama – perbedaannya di mana – kesamaannya di mana). Bila perlu (tentunya) dilakukan teken kontrak jual beli. Sehingga tidak menimbulkan kesalah pahaman dan keributan seusai pementasan. Kepada siapa perjanjian dagang itu dilakukan? Manuel Lutgenhorst? Pada badan tertentu di Amerika Serikat atau pada saudara Lukman Hakim?
Kesimpulan dan Keputusan
Setelah mencoba menelanjangi keorganisasian dari proyek teater ‘Awakening’, terlebih lagi meneliti konsepsinya. Maka sampailah kesimpulan saya pada: bahwasanya proyek ini berdiri pada dasar dan sosok pemikiran yang bertentangan dengan prinsip-prinsip saya dalam berkarya dan bergaul di dalam lingkup budaya umumnya dan seni khususnya di Republik Indonesia.
Maka saya memutuskan untuk melepaskan diri/menarik diri dari keterlibatan saya pada proyek teater ‘Awakening’ ini.
Meskipun demikian ada satu hal yang menarik dari Manuel Lutgenhorst, adalah sikapnya yang prihatin tentang akar salah satu budaya tradisional di Indonesia, dan yang dimaksud adalah budaya Bali tradisional. Hanya itu saja.
24.11.1988
Semsar Siahaan
—‘—‘—‘—