(dari buku katalog The Shade of Northern Lights)
Ia lahir di Medan. Besar di Bandung dan Jakarta, ia belajar seni lukis pertama kali di Beograd, Yugoslavia antara tahun 1965-1968. Mengenyam pendidikan seni rupa tahun 1975 di San Fransisco Art Institute, Amerika Serikat. 1977-1981 belajar seni patung di FSRD Institut Teknologi Bandung dan tahun 1983 menetap di Amsterdam. Ia pernah bermukim di empat negara, termasuk Kanada, lima tahun terakhir ini. Memang, tidak mudah menemukan dunia Semsar di masa sekarang, karena dunianya adalah dunia kemanusiaan, yang tidak terbatas pada persoalan politik atau ekonomi, kebudayaan maupun hukum.
Semsar melukis dan mengolah dunia kemanusiaan itu, mengomentari, kadang memaki, namun tidak pernah menertawakan, tidak pernah melecehkan. Kehidupan ia pandang dengan berkerut dahi, melepas canda dan tawa di kalangan teman: Randy si Pekerja Kebersihan, Mutang Urud si Aktivis Kemerdekaan Serawak, untuk menyebut beberapa yang hidup di Kanada.
Mencari tempat Semsar di dunia ini mungkin lebih sulit lagi. Ia lebih banyak meninggalkan catatan tentang pengalaman. Lukisan dan karya-karyanya pun bercerita tentang pengalaman-sendiri maupun milik orang lain-dengan tema besar kemanusiaan. Ada juga kepahitan, kegetiran, kegundahan dan kebosanan.
Dalam empat tahun terakhir di Kanada, ia tinggal di sebuah apartemen bobrok, di kawasan rawan kriminalitas. Tetangganya seorang psikopat yang mampu menghajar pacarnya hingga patah kedua belah kaki (yang berhasil diselamatkan oleh Semsar), namun di kesempatan lain menangis tersedu-sedu di pundak Semsar karena merasa memiliki kesamaan dalam keyakinan beragama. Semsar juga melihat sisi kelam kehidupan masyarakat pasca industri lainnya, seperti pasar heroin di sekitar tempat tinggalnya, dan juga rasialisme kebudayaan, justru di tempat-tempat umum yang secara hukum seharusnya meniadakan segala bentuk diskriminasi. Ia menjadikan semua peristiwa itu sebagai pengalaman.
Pengalaman tersebut diolah dalam kesendirian, dipadu dengan etika yang dijunjungnya, melahirkan pengalaman-pengalaman baru, pengalaman yang estetis, pengalaman yang dapat dikomunikasikan. Dunia Semsar yang sarat konsep dapat kita kenali melalui pengalaman estetis. Kita pun dapat ikut merasakan kepahitan dan kegetiran kehidupan bila kita mau membuka kesadaran, memberikan jalan bagi estetika.
Bila akhirnya kita merenung maka kita berhasil menangkap pesan yang ingin disampaikan Semsar. Namun bila kita akhirnya bergerak untuk berbuat demi kemanusiaan, maka kita berhasil memasuki dunia Semsar yang kelam dan sarat makna; mulai melihat kehidupan dalam warna-warna baru, warna-warna yang memberikan harapan tentunya.
Jakarta,
August, '04
—‘—‘—‘—