Kompas, Minggu, 22 Agustus 2004
PENGGEMAR seni di Indonesia mestinya belum lupa
dengan sosok Semsar Siahaan yang gemar "berjuang" ini.
Ketika banyak seniman lain merasa cukup menampakkan
kesetiakawanan lewat karya, lewat ucapan, ia hadir
secara fisik di dalam berbagai aksi jalanan. Ia bukan
hanya menyiapkan peralatan berdemonstrasi lewat
keterampilan menggambarnya, tetapi juga ikut mengusung
dan berjemur di terik Matahari bersama sejumlah aktivis.
Sebutlah itu seperti aksi unjuk rasa melawan pembredelan
majalah Tempo, Editor, dan Detik tahun 1994. Demikian
juga pada demonstrasi anti-Perang Teluk tahun 1991.
SEMUA itu terjadi di Jakarta. Lima tahun lalu ia
menghilang dari peredaran dan bermukim di Kanada.
Ternyata negeri dingin yang makmur itu tidak membuat
semangatnya membeku. Ia tetap giat bersama sejumlah
penggiat LSM dalam berbagai isu.
Pengalamannya dengan pergaulan yang lebih luas
tersebut ia bawa di dalam pameran oleh-olehnya di Galeri
Nasional, Jakarta, tanggal 15-30 Agustus 2004. Untuk
pameran The Shade of Northern Lights ini ia membawa
puluhan karya-karya hitam putih, belasan "obyek", dan
berpuluh lagi lukisan cat minyak. Sebagian besar
karyanya bersoal tentang penderitaan sebagian manusia
karena kuasa dan ulah manusia lain, yang tersistem.
Persoalan manusia di negeri rantau itu umumnya kemudian
terasa menjadi universal, menjadi juga bagian dari
persoalan manusia di negeri asalnya.
Ruang utama galeri yang sangat luas itu mendapat
salah satu daya tariknya lewat sebuah seni instalasi
bertajuk G-8 Pizza. Ukurannya yang besar-diameternya 400
cm-namun terlebih lagi pesannya yang menohok, telah
membuat banyak pengunjung pameran berlama-lama
menatapnya.
Semsar membuatnya dengan charcoal yang memberi kesan
kusam di atas bahan-bahan karton bekas yang utuhnya
berbentuk oktagonal, lingkaran bersegi delapan. Karya
ini mengingatkan orang akan bentuk lembaran pizza,
dengan potongan segitiganya. Bidang luas ini memang
terbagi di dalam delapan buah segitiga, yang
masing-masing berisi adegan tersendiri namun bisa saling
kait dengan lainnya.
Di sana ada tokoh-tokoh utama yang berwajah mirip
babi atau wajah manusia yang sudah digayakan,
masing-masing menghadap pusat lingkaran. Seorang
memegang remote control, ada yang sibuk dengan bor
elektronik, yang lain beraksi dengan jarum suntik,
mengutak-atik otak, menyiapkan hulu ledak nuklir, dan
seterusnya. Seseorang yang lain memegang pinset dan
dengan itu memunguti tubuh-tubuh manusia berukuran
sangat mungil-adegan ini berada di dalam potongan yang
direnggangkan dari lainnya, membuat keutuhan bidangnya
terguncang.
Dengan karya ini tampaknya Semsar menyindir kelakuan
negeri-negeri makmur anggota "G8". Negeri G8 mengontrol
miliaran manusia di ratusan negeri lain yang lebih
lemah, memaksakan kehendak, melakukan cuci otak dengan
perangkat kerja yang supercanggih, dan seterusnya.
Ketimpangan ini mendapat penekanan oleh pilihan
cerdas Semsar dengan citra pizza, jenis santapan
populer, yang menggiring kesan akan pesta pora makan
sebagian kecil manusia di atas penderitaan lainnya.
Semsar melengkapinya dengan 11 "obyek" lain yang
diletakkan di lantai di depan G-8. Semua obyek itu juga
dibuat dengan karton bekas wadah sepatu, yang konon ia
pungut dari tempat sampah. Ia membentangkannya dan
memperlihatkan goresan charcoal yang ia buat berupa
wajah-wajah manusia, bedil, dan tubuh-tubuh. Ia
mendongkraknya dengan judul-judul yang membawa pesan
khusus seperti Blinded by UN, Introduction WTO Chapter
Two, dan City of Ghosts.
Nada dasar serupa muncul dengan kuat dari sejumlah
lukisan hitam putihnya. Sebutlah itu seperti The Death
of an Ancestor, yang melawan aksi penebangan kayu secara
membabi buta. Pada sebuah gelondong kayu yang sudah
terpotong itu tampak bayangan seorang ibu mendekap
anaknya, dan seekor rusa kutub menjilatinya. Peralatan
tebang mencengkamnya dan beberapa orang tampak tertunduk
lesu. Penebangan itu menghancurkan segalanya.
Dengan teknik drawing-nya yang kuat, yang terkadang
menonjolkan serabut-serabut garis untuk menandai gejolak
atau suasana keras tertentu, lukisan-lukisan Semsar
menggugah lewat tatapan visualnya.
Sebagian dari pesannya tertangkap dengan cukup mudah
seperti lukisan yang sudah disebut, serta The Case of
Burn Church atau serial totemnya. Third Millenium Totem
1, misalnya, menggambarkan pergulatan manusia cerdas
dengan teknologi dan kecemasan manusia. Itu muncul lewat
simbol-simbol seperti otak di kepala terbuka, peralatan
canggih, serta sepasang mata yang membelalak. Kita bisa
menangkap drama kehidupan yang berlangsung di sebuah
apartemen lewat sejumlah fragmen yang disusunnya dengan
tinta di atas kertas berukuran 56 x 76 cm berjudul
Theatre Apartment ini.
Banyak lukisan lainnya yang lebih memberi demonstrasi
visual yang menarik, namun membutuhkan alat bantu untuk
menyibaknya lebih dalam. Derita muse di dalam The Scream
of a Muse hanya bisa kita raba, demikian juga seberapa
berharga sebuah kediaman atau atmosfer bagi seseorang
seperti Victoria in Me. Lukisan The Poet Who Dissapeared
mengingatkan kita akan nasib penyair pejuang Widji
Thukul, namun apakah karya ini bertolak atau
dipersembahkan untuknya, tidak cukup tanda atau isyarat
yang diberikan.
Demikian juga dengan lukisan-lukisan cat minyaknya.
Presiden Amerika Serikat Bush yang memegang hulu ledak
nuklir gampang dikenali, apalagi ia memberi judul The
Man Who Knows All. Demikian juga dengan Homage to Andy
Warhol yang ditujukan kepada pendekar seni pop itu, atau
In Memoriam Santa Cruz yang mendesakkan ingatan akan
korban-korban di dalam peristiwa berdarah di Timor Timur
tersebut.
Beberapa karya cat minyaknya tampaknya memang tidak
perlu berkait dengan "perjuangan kemanusiaan" itu,
seperti misalnya The Waiting Soul yang muncul dengan
sendu. Bahkan, The Springs Full Moon 1, atau lebih lagi
The Spring Full Moon 2, menjadi alternatif dari sebagian
besar lukisannya yang memang diniatkan sebagai semacam
ajang penyadaran. Di dalam dua lukisan yang disebut
terakhir itu, Semsar menunjukkan dirinya sebagai manusia
seniman, yang punya sisi kehidupan lain.
Selamat datang Semsar. (EFIX)
—‘—‘—‘—