(dari buku katalog The Shade of Northern Lights)
Lima tahun tiga bulan aku meninggalkan Indonesia. Berangkat dari benua belahan Selatan, aku menetap di benua belahan Utara, berkontemplasi, katakanlah, di sebuah negeri yang bernama Kanada. Tiga puluh satu juta jiwa penduduknya, negeri itu membentang luas dari Samudra Pasifik hingga Samudra Atlantik, beratapkan Kutub Utara. Kanada negeri yang dingin, panas, penuh warna, terkadang terkesan ‘datar.’ Di sini pun ada konflik kemanusiaan, namun dibungkus dengan lembut, dingin dan halus, dalam tenunan berhias ornamen indah seperti 'multikulturalisme,' 'hak warga,' dan 'kebebasan bicara.' Inilah negara yang masuk kelompok G-8, negara industri maju, yang ternyata masih harus menghidupi sejumlah besar manusia tanpa rumah, yang dipinggirkan dan harus mengais-ngais tong sampah untuk menyambung hidup. Di sini, manusia-manusia muda hidup terkatung-katung, tanpa kasih sayang, sebagai korban keruntuhan nilai keharmonisan hubungan kekeluargaan, di dalam lingkaran setan. Mereka terbungkam, terbutakan, terjejal oleh jaminan kesejahteraan sosial yang memberikan hanya pelipur lara berupa materi. Negeri ini, seperti juga Indonesia, tumbuh dalam alam purbasangka yang menyakitkan dan akut. Seperti juga Indonesia, negeri ini masih mencari sosok dirinya. Sementara tanahnya telah ditempati masyarakat asli beribu-ribu tahun, negaranya masih harus melihat perjuangan First Nation, begitulah masyarakat aslinya lazim disebut, untuk mempertahankan identitasnya dari pemusnahan sistematis, meskipun dengan keberdayaan yang sangat kecil. Tanah itu, setidaknya bagi telingaku, melantunkan kisah-kisah tentang suramnya cahaya utara. Kanada, kebanyakan rakyatnya, mulai merasakan dampak mengerikan lindasan roda mesin neo kapitalisme berskala global yang adidaya dalam era World Trade Organization.
Karya-karyaku dalam asa perantauan pun berangkat dari pengalamanku sehari-hari, ketika menelaah masalah kemanusiaan di sekitarku. Terkadang, pengalamanku menghadapkan aku pada kekerasan terhadap jiwa di dalam perantauan. Kekerasan itu mengancam secara licik, melalui diskriminasi dan konspirasi yang terbentuk oleh tabiat para intelektual neo kolonial busuk bermentalitas pencuri dan rakus. Kekejaman terencana itu menggunakan kekuasaan institusional dan uang untuk ’membunuhku’ dengan menghina dan melecehkan, melalui media teknologi informasi global, atas nama kebebasan bicara. Lima tahun aku hidup dalam keadaan tertekan, menahan amarah dan terus bersabar, dan hingga kini aku masih menghadapinya. Ternyata, hukum bukanlah dongeng yang indah.
Seperti dahulu, masih dalam pemikiran dan perenungan yang sama, aku berpegang teguh bahwa Manusia adalah sang Pencipta Seni dan Seni adalah ciptaan Manusia. Dalam kondisi kemanusiaan terancam, adalah Seniman yang harus melangkah di depan sambil mengusung nilai-nilai kemanusiaan. Masalah-masalah yang menjadi beban kemanusiaan telah mengglobal, sehingga problema kemanusiaan memiliki kemiripan di seantero benua. Terpadunya esensi permasalahan manusia, meskipun wujud dan latar belakang budayanya beraneka ragam, telah memberi tanda-tanda akan bangkitnya sebuah semangat baru Solidaritas Rakyat Global untuk Kesetaraan, Keadilan dan Persaudaraan. ’Keberhasilan’ negara-negara mega kapital dalam menciptakan panggung global bernama World Trade Organization yang membuka pasar bebas bagi penganut demokrasi kaum pedagang, ternyata justru memperdalam jurang antara si Kaya dan si Miskin. Jurang itu pun mencakup segregasi ikatan sosial yang terjadi di negara-negara G-8 sendiri.
Hal-hal seperti di atas itulah yang akan tetap menonjol dan utama. Bentuk dan isi bercampur menjadi satu kesatuan, yang berangkat dari pengalaman hidupku sebagai bagian dari masyarakat global. Semangat berkarya seniku masih selalu menjauh dan mengambil jarak dari ’ke-Indah-an’ yang manja, spoilt beauty, serta eksotisme tradisional yang menuntut belas kasihan. Keindahan yang dipenuhi tata krama yang berkarat dan basi, bagiku, tidak akan pernah menjadi tantangan bagi dunia Penghayatan dan Berpikir.
Kesenian telah memasuki era baru. Situasinya adalah cerminan cengkraman ekspansi global kapitalisme dan situasi itu memanggil kaum seniman sedunia untuk membangun ikatan kerjasama, kolaborasi antar urban, kolaborasi antar budaya lokal. Itulah kolaborasi kesenian masyarakat terpinggirkan oleh dampak globalisasi.
Maksud dan tujuan dari Seni dan Ber-Kesenian adalah mempersatukan di dalam kebersamaan, sehingga kita menyongsong Solidaritas Rakyat Global demi Kesetaraan, Keadilan dan Persaudaraan.
Semsar Siahaan
21 Juli '04
—‘—‘—‘—