Badut Masuk Desa
Halaman sekolahku di Desa Gadingkulon pagi ini ramai sekali. Hari ini hari Minggu, pukul 09.00. Semua anak di Indonesia tidak sekolah pada hari-hari ini karena sedang libur kenaikan kelas. Yang paling membahagiakan, dan yang membuat desaku ramai hari ini, adalah sebuah acara: “Badut Masuk Desa”.
Acara itu sejak empat hari lalu telah diumumkan: dituliskan pada sebuah spanduk besar yang dipasang di depan halaman sekolahku. Di bawah kata-kata “Badut Masuk Desa” tertulis: “Saksikan Juga Atraksi Sulap dari Bung Martinggi yang Memukau: Burung Lenyap, Wanita Digergaji Tidak Terpotong, Orang Diikat Pakai Tali Kapal Bisa Lepas Sendiri, dan lain-lain.” Di bagian bawahnya tertulis: “Minggu Ini, Pukul 10.00 di Halaman Sekolah. JANGAN LEWATKAN!”
Wah, tentu saja pengumuman ini membuat warga desa kami yang jarang sekali mendapatkan hiburan gempar. Sangat gempar!
Eng ing eng… sebuah truk datang tak lama kemudian. Di salah satu sisi truk itu tertulis: TRUK PERTUNJUKAN. Nah, kami segera tahu bahwa itulah yang ditunggu-tunggu!
“Echy, Mbak Ipang, kalian jangan ke sana kemari ya… tetap di sini saja. Tempat kita ini sudah pas banget untuk melihat semua pertunjukan dari dekat,” kata Tegar.
“Baik, aku akan di sini sama Mbak Ipang. Kamu di sini juga kan?” kataku.
“Iya, tapi aku kebelet pipis. Aku mau ke WC. Jagakan tempat ini buatku, ya. Jangan sampai ada orang lain yang mengambilnya.”
Tak lama kemudian, badut itu muncul dari sebuah tempat yang tak kami duga sama sekali: dari sebuah kelas! Untunglah Tegar sudah kembali. Ia menerobos kerumunan dan saat itu juga membuat suasana riuh akibat kemunculannya yang tiba-tiba dan penampilannya: perutnya gendut, pantatnya gendut juga, rambutnya keriting berwarna coklat kekuningan, wajahnya putih dan di kedua pipinya ada banyak bulatan-bulatan cat berwarna-warni.
“Hohoho… hari ini saya akan membagikan hadiah pada anak yang juara kelas dari kelas satu hingga kelas enam. Siapa yang juara, maju ke depan! Yang juara satu, dua dan tiga, ayo maju!”
Aku dan Mbak Ipang, bersama enam belas anak lainnya maju ke depan, ke arena pertunjukan. Aku juara ketiga dari kelas empat. Mbak Ipang juara pertama dari kelas enam. Di tengah kerumunan yang sangat padat itu telah diberi sebuah pembatas dari tali rafia yang membentuk persegi untuk arena pertunjukan. Kami merasa bangga menerima hadiah itu disaksikan ratusan pasang mata teman-teman kami.
Setelah pembagian hadiah untuk para juara, kami diberi banyak tebak-tebakan. Tebak-tebakannya lucu-lucu. Siapa yang bisa menjawabnya diberi hadiah oleh sang badut.
“Ini tebak-tebakan terakhir,” kata badut. “Gundul, putih, ompong, suka mangap dan kalau tertawa matanya hilang, siapakah itu?”
Kami semua saling berpandangan: mencari-cari siapakah di antara kami yang berciri-ciri seperti itu. Tiba-tiba badut itu menjawab sendiri pertanyaannya sambil menunjuk Tegar.
“Kamu! Kamulah yang saya maksud. Maju ke sini!”
Tegar maju sambil tertawa-tawa. Ciri-ciri yang diucapkan badut tadi memang ada pada Tegar. Ah, mengapa aku tak menyadarinya, dia kan di sebelahku!
“Jangan marah ya, saya tidak bermaksud menyinggung. Ini kan acara gembira. Ini, sebuah mobil-mobilan untukmu!”
Bukan main senangnya hati Tegar. Ia berjoged-joged meninggalkan arena pertunjukan.
Setelah acara itu, badut mengajak anak-anak berjoged bersama. Kami semua tak keberatan mengikuti jogedannya walaupun hari mulai panas. Dengan sebuah lagu dangdut yang ceria, kami berjoged bersama! Kini, acara badut usai, diganti dengan acara sulap.
Ketika meninggalkan arena pertunjukan, aku melihat wajah sang badut kelelahan. Aku meninggalkan kerumunan itu dan mengikuti ke mana ia pergi. Ia menuju ke sebuah kelas.
“Pak, Pak Badut! Terima kasih hadiahnya ya!”
Ia menoleh ke arahku dan mengatakan, “Ke sinilah, Nak!”
Aku menghampiri sang badut. “Bukalah hadiahmu, Nak!” katanya padaku.
Ketika kubuka, olala… ternyata isinya lima buku tulis, dua buah bolpoin, dan sebuah penggaris. Betapa senangnya hatiku karena kemarin ibuku masih belum mendapat uang untuk membeli apa yang kudapatkan hari itu! Oya, kauperlu tahu kalau ayahku telah lama meninggal dan ibuku bekerja sebagai buruh pemeras sapi pada seorang juragan. Aku terharu bercampur bahagia. Minggu depan sekolah akan dimulai dan hadiah ini benar-benar berarti buatku.
“Pak Badut, terima kasih! Hadiah ini benar-benar saya butuhkan. Sekali lagi, terima kasih!”
“Sama-sama, Nak. Sekarang saya haus. Maukah kau memberi saya minum?”
Segera aku berlari pulang ke rumahku yang dekat dari sekolah dan mengambil minum buat sang badut. Aku kemudian berbincang-bincang dengan sang badut. Ternyata… badut ini adalah seorang pengusaha yang memiliki perusahaan kecap di Kota Malang, yang tak jauh dari desaku. Namanya Pak Santoso. Sang badut yang lucu itu ternyata orang kaya yang seringkali mendermakan kekayaannya untuk anak-anak di desa-desa dekat Kota Malang! Wah, aku jadi kagum padanya!
Kemudian aku menyaksikan beberapa acara sulap bersama sang badut dari jauh. Mbak Ipang dan Tegar masih berdiri di barisan depan dekat arena pertunjukan. Mereka, dan semua yang hadir di situ, menyaksikan sulap dengan takjub. Aku tetap senang walaupun tak menyaksikan acara sulap dari dekat karena di sampingku berdiri sang badut, penyelenggara acara yang budiman.
“Kapan-kapan, adakan lagi ya acara ini, Pak!” pesanku pada sang badut ketika acara usai.
“Selama ada berkat dari Tuhan, saya akan mengadakan acara ini. Sampai jumpa di lain kesempatan. Terima kasih untuk air minumnya!”
Pak Santoso sang Badut, Martinggi tukang sulap, dan segenap krunya berlalu, meninggalkan Desa Gadingkulon bersama TRUK PERTUNJUKAN.
== TAMAT ==
© Sidik Nugroho, 2006