Home | Fiksi

Celengan Trisya

Enam bulan lalu, bulan Juni, aku mendapat hadiah ulang tahun. Sebuah celengan! Bentuknya bukan celeng atau babi, tapi ayam. Terbuat dari tanah liat. Tak kusebut itu ayaman karena kelak teman-teman akan bingung.
Sejak mendapatkannya aku selalu menabung tiap hari. Mula-mula aku tak memiliki tujuan apapun ketika menabung. Suatu hari, kira-kira setelah dua bulan menabung, aku melihat sebuah tas yang bagus di sebuah toko dan aku ingin membelinya.
Dengan jumlah uang rata-rata yang kutabung tiap hari, tas itu kuperkirakan dapat kubeli saat Natal tahun ini tiba. Ya, hadiah Natal dariku-untukku yang kurasa tak berlebihan, karena tas sekolahku juga sudah sedikit usang dan agak ketinggalan zaman. Tas yang kutaksir itu mirip traveler bag: ada besi yang bisa ditarik di bagian atasnya, sehingga ia bisa digeret ke mana-mana, tanpa harus dibebankan di punggung. Begitu modern, sesuai gaya anak masa kini!
Bulan demi bulan berlalu, kini Natal tinggal seminggu lagi.
“Trisya, kamu jadi membeli tas itu?”
“Jadi donk, Ma. Kelihatannya uang Trisya sudah cukup.”
“Kapan saja kamu membelinya, ajak mama ya. Mama juga ingin lihat.”
“Baiklah, Ma.”
Mamaku bekerja sebagai pramuniaga di sebuah toko. Toko itu bukan toko kelontong atau toko biasa, namun sebuah mart, toserba kecil yang pramuniaganya selalu berseragam dan berupaya melayani pelanggan sebaik mungkin. Kurasa teman-teman sudah pada tahu. Yang unik di sana adalah para pramuniaga yang ditugaskan menjaga pintunya suka mengucapkan “Sampai bertemu kembali,” bila seorang pelanggan meninggalkan toko. Aku tidak tahu dengan kondisi mart yang lain, tapi di tempat mamaku bekerja, keadaannya begitu.
Dan untuk ucapan salam itu, mama pernah bercerita, ada pria yang menurut orang-orang di sekitar toko itu agak sinting yang suka berbelanja di sana, membalasnya dengan kata-kata, “Aku tidak akan kembali lagi,” dengan serius. Tapi dia selalu kembali… lagi dan lagi… dan setiap kali pulang meninggalkan toko, ia mengucapkan kata-kata itu. Pria itu sudah tua, buncit dan berkepala botak. Untunglah dia tak jahat.
Hal-hal lucu, salah satunya pria botak itulah, yang membuat mama betah bekerja. Ayahku sudah tak ada. Kepergiannya sama dengan usiaku, 10 tahun lalu. Ayah bekerja sebagai supir truk dan kontainer-kontainer besar pengangkut aneka properti lintas-kota. Kira-kira sebulan sebelum aku lahir, ayah mengalami kecelakaan di daerah Tuban, Jawa Timur. Dua hari setelah kecelakaan itu, ia pergi selamanya.
Ayah meninggal sebelum sempat meninggalkan kepada kami banyak harta. Padahal ayahku baik dan pekerja keras. Karenanya, kini aku dan mamaku hidup dalam sebuah rumah kontrakan kecil yang tak jauh dari toko mama. Hidup kami pas-pasan.
Natal kian mendekat. Tiga hari lagi. Kini, di siang hari, ketika sendirian di rumah, godaan itu begitu kuat. Aku tak tahan. Segera kuambil celengan itu dari bawah kasur, dan… brak!!! Waw… uang-uang berwarna kuning emas dan perak berhamburan di mana-mana. Perasaanku kaget campur gembira! Segera kuhitung jumlah tabunganku. Jumlahnya Rp. 85.400,00. Cukup! Harga tas itu Rp. 75.500,00. Betapa bahagianya hatiku! Aku melonjak-lonjak di kamar sendirian.
Setelah uangku selesai kususun, kemudian terdengar bunyi langkah-langkah kaki. Oh, aku tahu, mama telah datang! Aku ingin segera berkabar kepadanya kalau tabunganku cukup untuk membeli tas baru. Aku bergegas membukakannya pintu.
Ketika aku membuka pintu, mama terjatuh. Tangannya segera memegangi pembuka pintu, tapi lututnya berdarah karena menatap semen kasar teras rumah kami.
“Mama tidak apa-apa?” tanyaku panik.
”Hanya lecet sedikit, Nak. Tak apa-apa.”
“Kok bisa jatuh?”
“Haq sepatu mama rusak, Nak. Sudah mama benarkan di tukang sol sebulan lalu, tapi sekarang rusak lagi.”
“Oh, jadi bukan terkejut melihatku, kan?”
“Bukan, bukan. Kamu tak salah, Nak.”
Aku hampir bertanya, “Kok tidak beli sepatu baru?” Untunglah tak terucap pertanyaan itu. Sepatu mama memang sudah terlihat amat usang. Aku tahu jawabannya. Mama sudah tak memiliki banyak uang lagi sejak tiga bulan lalu. Uang kontrakan kami saja masih dicicil hingga dua bulan ke depan. Belum lagi mama harus membeli beberapa kue dan sirup untuk tamu-tamu yang mungkin saja berkunjung saat Natal ini tiba.
“Ya sudah, Ma. Lain kali hati-hati.”
Mama kemudian menyuruhku membeli obat merah. Untunglah lukanya tak parah. Tangan mama yang sebelah kiri juga berdarah. Semua ini terjadi karena mama berjalan sangat cepat hendak pergi ke sebuah toko membeli kue-kue kaleng yang kebetulan lagi didiskon. “Keburu habis, jadi mama ingin segera ke sana,” katanya. Ia kemudian pergi membeli kue-kue diskon itu.
Malam hari, sebelum tidur, aku memikirkan nasib kami berdua yang kurang beruntung. Tiba-tiba saja, aku jadi ingin melakukan sesuatu buat Mama!
Aku berjalan keluar kamar, memastikan mama sudah tertidur. Lalu, aku menuju rak sepatu. Kuambil tali rafia dan gunting, mengukur panjang sepatu mama yang berwarna hitam pekat. Ukuran kakinya 38, tapi biasanya besar sepatu berbeda walau ukuran nomornya sama, sehingga kuputuskan untuk memastikannya dengan panjang rafia yang kuukurkan dan kugunting sepanjang ukuran sepatu mama.
Keesokan harinya, mama masih bekerja dengan sepatu itu. Sebelum tidur semalam, ia menyempatkan diri untuk melemnya dengan Alteco.
Setelah pulang sekolah, aku memutuskan untuk segera pergi ke toko sepatu Remaja di Alun-alun kotaku, kota Malang. Pelayan di sana agak keheranan juga ketika mendengar kalau aku mau membelikan sepatu untuk mama, apalagi melihatku membawa rafia segala. “Sekali-sekali sesuatu bisa berjalan terbalik, bukan?” kataku pada pelayan itu.
“Maksudnya?”
“Mama dibelikan sepatu untuk anaknya, bukan membelikan.”
“Hehehe… benar kau. Bagus, anak baik!”
Akhirnya sepatu itu kudapatkan. Harganya Rp. 65.000,00. Kemudian aku menyempatkan diri membeli kertas kado. Ketika pulang, aku berpikir, apa yang akan kubeli lagi ya? Apakah hadiah Natal dariku-untukku, pengganti tas impian?
Olala, aku dapat ide! Kubeli barang itu, lalu pulang. Apakah itu? Kelak kuceritakan.
Malam harinya, kupersembahkan hadiah sepatu itu buat mama. “Dua hari lagi Natal akan tiba. Tak ada salahnya kalau hadiah ini kuberi lebih cepat kan, Ma?”
“Oh, Trisya… kamu baik sekali pada mama!” kata mama dengan mata berbinar.
“Bukalah, Ma!”
“Oh, kau baik sekali, Nak! Terima kasih!” Mama begitu bahagia melihat sepatu itu.
“Sama-sama, Ma. Selamat Natal!”
“Selamat Natal.” Mama kemudian memelukku.
Setelah melepaskan pelukannya, Mama bertanya, “Bagaimana dengan tas itu?”
“Tak jadi, Ma.”
“Terus?”
Aku berjalan menuju kamar, mengambil sebuah celengan yang bentuknya sama dari celengan pertamaku, hanya lebih besar sedikit.
“Inilah hadiah dariku-untukku, Ma.”
“Oh, mama tahu…. Jadi kau akan menabung lagi?”
“Ya, hingga enam bulan lagi, pas saat kenaikan kelas. Saat itulah aku akan mendapatkan tas baruku!”
Mata mama berkaca-kaca. Ia kemudian memelukku sekali lagi. “Anak pintar, anak pengertian, anak sabar… betapa aku beruntung memiliki kau,” katanya setengah terisak.
Dalam hati aku juga bersyukur memiliki mama seperti dia.
Dua hari kemudian Natal tiba. Selama dua hari itu mama tetap bekerja. Ia selalu tersenyum padaku saat memakai sepatu barunya. Aku menabung lagi sedikit demi sedikit, dan aku tak akan pernah melupakan apa yang terjadi di Natal kali ini.

© Sidik Nugroho, 2006