Home | Fiksi
 
Robot
 
      

Wrekso, seorang anak kecil, berjalan seorang diri kala malam di pasar tengah kota Malang yang dingin. Ia berjalan sambil memasukkan kedua tangan di saku celananya, melintasi toko-toko yang menjual berbagai barang. Ia berpakaian lusuh dan berbadan hitam. Beberapa toko sudah tutup. Ada restoran, toko handphone, toko kacamata, toko busana, dan... toko mainan! Kala melintasi toko mainan, dia terperangah dengan barang baru yang dipajang di etalase depan: sebuah robot! Langkahnya terhenti.

Ia jatuh hati pada robot itu. Sebuah robot yang tingginya sekitar 40 cm. Ia memandangi robot itu lama, sambil berandai-andai memilikinya. Ia akan bermain seharian dengan robot itu. Ia akan meletakkan robot itu di samping kepalanya menjelang tidur sambil menunggu kantuk. Ia akan merawat robot itu baik-baik. Ia akan bahagia, tentunya. Namun, baginya itu hanyalah impian. Dilihatnya kian dekat robot itu; di bawahnya tertulis: Harga Rp. 125.000,oo.

Dia merogoh koceknya dan mengambil semua isinya. Dia hanya punya Rp. 7.250,oo. Wrekso mencari akal, bagaimana caranya mendapatkan uang sebanyak itu. Ketika ia melamun di depan toko itu, toko itu tertutup. Toko itu ditutup para penjaga tepat di depan matanya. Ya, toko itu ditutup di depan sepasang mata seorang anak kecil yang lamunannya belum tuntas kala mengamati sebuah robot!

Wrekso tetap berdiri di situ. Di atasnya, langit kelabu, bulan separuh tertutup awan dan bintang-bintang sebagian besar enggan muncul. Beberapa saat kemudian, Wrekso berjalan lagi, seorang diri, sambil memikirkan… robot.

Wrekso lelah. Ia lalu membaringkan dirinya di bawah beringin tua di alun-alun. Di situlah ia tinggal. Dibuai kerindangan, ia lalu menyusun sebuah rencana pembelian robot! Ia membuat sebuah komitmen untuk bekerja lebih giat dari yang sebelumnya. Selama ini ia telah mengamen dan memulung. Ia mencari akal, kira-kira apa pekerjaan lain yang mendatangkan keuntungan baginya? Apa ya? Lalu, ia mendapat ide. Menyemiri sepatu! Ya, modalnya sedikit dan hasilnya lumayan.

Memikirkan rencana itu, Wrekso gundah. Ia tak sabar menantikan pagi. Ia ingin segera memulai rencananya. Dalam penantian itu ia terlelap. Ia bermimpi robot idamannya hidup. Robot itu berjalan-jalan bersamanya, berkeliling kota, pada jalan-jalan yang lengang kala malam.

Surya mengintipi Wrekso dari celah-celah dedaunan beringin. Wrekso terbangun. Ia segera teringat rencananya. Bergegas ia ambil peralatan memulungnya, hendak pergi ke sudut-sudut kota di mana gelas dan botol-botol air minum kemasan menanti. Juga kertas, kardus, koran dan puntung-puntung rokok – semua yang adalah rongsokan namun bernilai.

Ia teringat pada mimpinya semalam. Ia tersenyum. Dikomando mimpi itu, langkahnya teralun mantap menuju toko di mana robot itu dijual. Toko itu belum buka. Hatinya kecewa. Ia menggigit bibir bawahnya, mengernyitkan dahinya. Ia menunggu di situ lima, sepuluh, lima belas menit... toko belum dibuka-buka! Ia teringat pada rencananya. Ia teringat pada janjinya untuk tak membuang waktu. Kemudian, dengan semangat juang dan tekad bulat, Wrekso melangkah menuju sudut-sudut kota, mencari harta!

Wrekso bekerja dan berjuang keras. Keringat di tubuhnya menjadi lambang tekad di hatinya. Ia harus mendapatkan robot itu! Ia mencari dan mencari berbagai rongsokan. Kala sengat surya terasa memanasi punggungnya, ia mulai lelah. Ia istirahat sejenak lalu melangkahkan kakinya menuju ke tempat penimbangan barang bekas, menukar hasil pulungannya dengan uang.

Lumayan, ia mendapatkan Rp. 8000,oo. Setelah mendapatkan uang itu, Wrekso berlari menuju ke toko di mana robot itu dijual. Toko itu sudah buka. Robot itu... oh, masih di sana! Wrekso memandanginya dengan kagum, dengan cinta. Ia terpana beberapa jenak di sana. Lalu, ia teringat komitmennya. Ia tak bisa hanya memandangi robot itu lalu mendapatkannya. Ia harus berjuang. Ia kembali ke beringin tua di alun-alun. Di sana ia mengambil alat musiknya, sebuah ukulele bersenar tiga.

Wrekso menuju ke sebuah perempatan, di mana lampu merah, kuning dan hijau bergantian menyala. Begitu lampu merah menyala, segera ia melantunkan sebuah lagu kepada para pengendara yang berhenti beberapa saat. Lagu yang dikuasainya hanya dua, Minggat-nya Sonny Josz dan Cucak Rowo-nya Edi Kempot. Diulanginya dua lagu itu tiap kali lampu merah menyala.

Wrekso menyanyi dan menyanyi. Suaranya tak merdu, namun tak sumbang. Kala lampu hijau menyala, ia rasanya ingin berlari ke toko itu, melihat robotnya lagi! Hingga sore Wrekso mengamen. Suaranya parau akibat ia terlalu bersemangat ketika menyanyi. Menjelang maghrib, Wrekso benar-benar merasa lelah.

Uh, tiba-tiba saja perutnya sakit! Rasanya melilit-lilit! Wrekso baru sadar, ia belum makan sejak pagi! Ia lalu menuju sebuah warung, membeli nasi bungkus yang murah. Di warung itu ia makan dengan lahap sekali. Penjaga warung iba melihatnya. Setelah makan dan meminta segelas air putih, Wrekso berlari lagi menuju ke toko mainan itu.

Robot itu tetap ada di sana! Berwarna merah, biru dan kuning. Terlihat tegap, gagah dan memikat. Wrekso memandanginya lagi dengan kagum, dengan cinta. Kala memandanginya, ia teringat lagi akan komitmennya. Segera ia menuju ke sebuah toko kelontong, membeli peralatan baru: semir dan sikat. Lalu, ia kembali ke bawah beringin tua di alun-alun, mengambil sebuah tas butut dan lap bersih. Dengan langkah yang lelah namun pasti, ia memutari alun-alun, menawarkan jasa penyemiran sepatu. Setiap pasang sepatu yang disemirnya diimbali dengan biaya Rp. 1.500,oo. Kadangkala ia mendapat lebih. Oh, keberuntungan yang berasal dari kemurahan!

Kira-kira jam sembilan, Wrekso telah sangat lelah. Alun-alun kian sepi. Orang-orang bepergian dan bergegas pulang. Di dalam kelelahan itu, Wrekso berlari lagi melihat robotnya. Toko sudah hampir tutup. Namun, Wrekso masih tetap dapat melihat robotnya yang gagah itu. Ya, ia pandangi lagi robot itu dengan kagum, dengan cinta. Kala toko tertutup sempurna, ia mengayunkan kakinya dengan langkah gontai menuju beringin tua, tempat di mana lelahnya dirindangi teduh.

Di bawah beringin tua itu ia menghitung total pendapatannya. Semuanya ada Rp. 14.000,oo. Lumayan. Itu sudah dikurangi makan sekali dan beli peralatan menyemir. Lalu, ia berandai-andai… dalam seminggu, pasti ia sudah bisa dapatkan robot itu. Ya, seminggu! Ia mengerjap-ngerjapkan matanya, memandangi langit kelam. Dibuai angan yang melayang-layang, ia tidur dalam tenang.

Wrekso bermimpi sama seperti kemarin. Malah, lebih indah! Ia berjalan-jalan dengan robot itu, mengelilingi jalanan kota yang lengang kala malam. Tangan robot itu ia gandeng dengan kagum, dengan cinta. Ia merasa dunia ini milik mereka berdua. Ia bahkan merasa pula di dalam mimpi, bahwa robot itu juga merasa senang! Ia melihat robot itu tersenyum cerah, secerah cahaya mentari pagi….

Mentari pagi datang kembali, membangunkan Wrekso yang lelap. Ia bekerja lagi dengan semangat. Seperti kemarin, di waktu senggangnya ia berlari lagi ke toko mainan itu, memandangi robotnya. Hatinya senang sekali, diliputi pengharapan yang, tentunya akan segera datang.

Demikianlah Wrekso bekerja dan bekerja untuk mendapatkan robot idamannya. Memulung, mengamen dan menyemir. Begitulah setiap hari – dengan tekad, semangat dan kegigihan.

Pada hari-hari itu, ada salah satu penjaga toko, seorang gadis belia, yang diam-diam mengamati Wrekso. Semula ia curiga dengan Wrekso; berpikir kalau mungkin ia seorang anak nakal yang hendak mencuri. Namun, hari demi hari berlalu dan ia kemudian tahu bahwa Wrekso sangat mengidam-idamkan robot itu. Ia pernah melihat Wrekso merogoh sakunya, lalu menghitung uangnya kala mengamati robot itu. Hatinya lalu diliputi iba.

Telah hampir berakhir perjuangan Wrekso kala suatu malam ia menghitung uang yang didapatnya. Rp. 122.500,oo. Berarti, hanya kurang Rp. 2.500,oo! Malam itu hatinya senang dan gembira sekali! Besok siang! Ya, besok siang, ia yakin sudah bisa main-main dengan robot itu. Ah, betapa tak terkata gembira yang menyelimuti hatinya! Bulan dan bintang-bintang tampaknya ikut senang. Ditampilkan oleh malam wajah mereka bersama langit yang cerah. Wrekso menitikkan air mata karena membayangkan akan mendekap robot itu bersama tidurnya di esok malam! Wrekso kangen sekali pada robotnya.

Pagi tiba kembali. Wrekso merasa kuat kembali. Ia bersiul-siul dan tersenyum-senyum. Ia bergegas mengambil peralatan memulungnya, lalu pergi bekerja dengan penuh semangat.

Nah, saatnya tiba! Wrekso berlari kencang dari tempat penimbangan barang bekas menuju ke toko mainan itu. Di koceknya sudah ada Rp. 125.000,oo, bahkan lebih sedikit. Ia berlari dengan penuh semangat dan hati yang diliputi bahagia. Ia tersenyum-senyum sepanjang jalan dan senyum itu membuatnya berlari kian cepat. Cepat bagai kilat, menjemput yang selama ini diharap-harap.

Namun, ya, namun…. Sayang sekali, ya, sayang sekali… larimu terlalu cepat dan kau gegabah sekali, Wrekso!

Wrekso merasa tubuhnya melayang-layang. Dan, tiba-tiba saja, ia melihat ada sebuah tangan yang kuat meraih tangannya. Tangan itu dengan sigap menarik tangannya dan kemudian merangkulnya. Oh, ternyata robot itu! Robot itu terlihat besar sekali. Tingginya dua kali tinggi badan Wrekso. Ia hidup! Wrekso bahagia sekali.

Udara perlahan-lahan menggelap. Mereka berdua menjelang malam. Jalan-jalan kota tampak lengang. Dan, mereka berdua berjalan-jalan bergandengan, senang. Mereka berjalan, berjalan dan berjalan…. Wrekso takjub, kota ini tampaknya semakin besar! Kota ini seolah-olah luas tanpa batas! Begitu sepi. Tanpa manusia, hanya mereka berdua! Langit cerah, bintang-bintang dan bulan seolah-olah turut bernyanyi! Oh, indahnya. Wrekso pandangi robotnya dengan senyum cerah yang amat lebar. Sebuah senyum yang serasa indah dan tampak kekal dari sebuah wajah kumal nan hitam. Robot itu pun juga tersenyum. Robot itu terlihat senang. Wrekso menggandeng tangannya erat-erat, tak mau ia lepaskan…. Amboi, Wrekso merasakan keabadian!

Pasar gusar, lalu senyap beberapa kejap….

Kini, bila kau datang ke kota Malang dan mampir ke salah satu pekuburan umum, kau dapat melihat sebuah kuburan yang aneh. Sebuah kuburan kecil yang di atas nisannya ada sebuah robot berwarna merah, biru dan kuning. Seorang gadis belia sering mengunjunginya. Itulah makam Wrekso yang tewas ditabrak mobil ketika hampir dapat membeli sebuah robot. Seorang anak yang kelihatannya tak pernah lihat wajah ayahnya dan senyum ibunya. Di nisan itu tertulis: Wrekso – kira-kira 8 tahun – Anak Robot.

    
== TAMAT ==
 
© Sidik Nugroho, 2006