Kasihan, Antongos. Eh, Susanto! Entahlah, untuk anak sekecil itu, aku sendiri kurang tahu apakah ada pengaruhnya atau tidak bila dia bolak-balik dipanggili seperti itu. Susanto terlihat sangat pendiam, tak banyak bicara. Ia masih berusia 7 tahun, kelas satu SD. Ia sebenarnya suka berjoged, terutama kalau aku menggitarinya lagu Oemar Bakri-nya Iwan Fals atau Minggat-nya Sonny Josz.
Aku mengenal Susanto waktu KKN (Kuliah Kerja Nyata) di Desa Gadingwetan, Kecamatan Dau, Malang. Ia unik, dan aku senang menjadi temannya. Ia merasa dekat dengan aku. Waktu itu, teman-teman dan penduduk desa memangilku Pak Kordes karena menjadi Koordinator Desa (disingkat Kordes), mengetuai teman-teman yang KKN sedesa denganku.
“Nyanyi lagi, Pak Kordes! Nyanyi lagi!” demikian teriak anak-anak bila aku sudah ngumpul sama mereka. Kami menyebut momen itu “konser”.
Aku kewalahan. Di antara semua lagu yang kami nyanyikan, mereka semua suka sekali lagu Menuju Puncak-nya AFI. Mereka akan berjoged-joged mendengar lagu itu. Jumlah mereka yang sering mendatangi aku tiap sore rata-rata 10 orang. Kami membentuk lingkaran, dan setelah aku memulai bernyanyi diikuti mereka sambil main gitar, riuhlah suasana! Tetangga-tetangga di dekat Posko KKN-ku senang sekali melihat anak-anak riang seperti itu. Mereka kadang turut manggut-manggut. Ada seorang ibu yang memberikan kesan aneh bila melihatku ngumpul bareng anak-anak itu. Dia akan memandangi kami lama, setelah itu mengangakan mulutnya. Karena merasa aneh, suatu kali aku membalasnya sama: mengangakan mulutku dan memandanginya. Dia semakin menganga lebar dan mendelik, lalu tersenyum. Wah, payah! Baru kutahu kemudian kalau dia rupanya agak tidak waras.
Hampir tiap sore aku dan anak-anak berkumpul untuk bernyanyi-nyanyi di teras depan rumah yang kami jadikan Posko sebagai KKN. Hingga menjelang maghrib, kami baru bubar.
Menghirup udara yang ada di sini aku merasa bahagia. Bukan hanya udaranya, namun kekraban dan persaudaraan yang kutemukan di sini kuhirup dalam-dalam. Dan, anak-anak. Anak-anak di sinilah yang membuatku terkesan dengan kehadiran mereka. Aku pernah menjadi guru Sekolah Minggu di gereja, dan jujur kuakui bahwa aku tak kalah bahagia ketika menyanyi dan tertawa bersama anak-anak di desa ini. Bahkan sebenarnya, aku lebih bahagia dan menyukai suasana ini. Bukan pilih kasih, namun, mungkin karena suasana baru yang ada di sini, di Gadingwetan.
Gadingwetan adalah sebuah desa yang tak terlalu jauh dari kotaku, Malang. Jaraknya bisa ditempuh dengan waktu sekitar empat puluh lima menit. Desa ini indah. Karena letaknya yang agak tinggi, dari sini bisa disaksikan pemandangan kelap-kelip lampu di Malang bila malam tiba. Sebuah pemandangan yang indah. Di sini juga dingin.
***
“Tas hitam dari kulit buaya…,” kataku menyanyikan lagu Oemar Bakri sebagai lagu perdana “konser” kami di suatu sore. Wah, Susanto yang semula datang bermuram durja langsung berbinar! Lagu itu, berulang-ulang kali aku nyanyikan, dan setiap kali mendengarnya, anak-anak selalu suka mendengarnya. Mereka sepertinya tak pernah bosan – senang sekali. Terutama Susanto.
“Ayo, Ngin, joged!” kata anak-anak menyoraki Susanto. Susanto langsung mencopot sandalnya dan berjoged dengan gayanya yang lucu. Dia mengepalkan kedua tangannya, menggoyangkannya dan melangkahkan kaki maju-mundur: gaya dangdut. Gaya jogednya tak berubah untuk semua irama lagu. Ya selalu seperti itu. Lagunya Marshanda, Kisah Sedih di Hari Minggu, yang sangat disukai anak-anak putri juga pernah dijogedinya dengan gaya dangdutnya itu! Dengan wajahnya yang lucu dan giginya yang maju dan putih, anak-anak senang sekali bila melihat Susanto, yang mereka panggil Antangin, berjoged.
Bagian lagu yang paling disukai anak-anak dari Oemar Bakri adalah: “Itu sepeda butut dikebut, lalu cabut kalang kabut, Bakri kentut, cepat pulang….” Nah, pada saat ada kata-kata “Bakri kentut”, mereka pada menempelkan dan mendorong pantat satu sama lain! Nah, aku harus berhenti memainkan gitarku selama hampir 10 detik setiap kali menyanyikan bagian itu. Sangat ramai! Demikian pula sore itu, mereka saling menempelkan dan mendorong pantatnya!
Ups, tiba-tiba saja Susanto terjungkal! Ia jatuh dan sungguh sangat malang: gigi depannya patah, mulutnya berdarah!
“Wah, Congor Badak ini mesti buat gara-gara!” kata Ferdian mendatangi Jony, yang dipanggil Congor Badak.
Jony, ia dipanggil Congor Badak karena suka misuh dan berkata-kata kotor terhadap orang lain. Mungkin, bila orang yang tak tahu malu dijuluki muka badak, ia dipanggil Congor Badak karena kebanyakan misuh. Ia juga sangat nakal. Aku perhatikan, mulut anak ini memang agak besar, giginya tak rata pula!
Melihat keadaan itu aku segera melerai Jony dan Ferdian yang hampir berkelahi. Ferdian selalu membela Susanto.
“Tadi saya lihat Jony, Congor Badak ini mendorongkan pantatnya keras-keras ke Susanto, Kak!” kata Ferdian marah-marah seraya menjelaskan kepadaku penyebab kejadian itu.
Susanto menangis. Darah dari mulutnya semakin banyak yang keluar. Aku meminta bantuan ke seorang temanku mengambilkan tisu untuk menyeka darah itu. Lalu aku pandangi Jony.
“Benar, kamu mendorongnya keras-keras?” kataku setengah membentak kepada Jony.
Ia hanya diam. Di wajahnya aku melihat dendam. Aku mengulangi lagi pertanyaan yang sama dan ia tetap diam.
“Aku nggak mau ikut ‘konser’ ini lagi,” katanya kepada kami semua sambil tertunduk. Lalu ia nyelonong pergi.
Ferdian hendak mengejarnya. Aku memegang lengannya dan berkata, “Biarkan saja dia pergi.”
Setelah mulut Susanto kami obati, aku segera membawanya pulang ke rumahnya. Di rumahnya aku disambut Mbah Gaul, nenek Susanto. Mbah Gaul bernama asli Wurti Permata Ningsih. Namun, ia lebih akrab dipanggil Mbah Gaul. Melihat Susanto, Mbah Gaul kaget sekali!
“Lho, kenapa gigimu, Cu?” tanyanya panik sambil langsung merangkul Susanto.
Sambil terisak, Susanto berkata, “Didorong Jony, Mbah, anaknya Mbok Parmi yang nakal itu.”
“Lho kok bisa?” tanya Mbah Gaul menyelidiki.
“Memang nakal si Jony itu, Mbah! Aku kalau ketemu dia lagi mau kuhajar!” kata Ferdian terlihat marah.
Lalu, dengan suara tenang aku menjelaskan kejadian yang menimpa Susanto. Mbah Gaul manggut-manggut mendengar penjelasan itu. Ia bisa memaklumi kejadian itu. Setelah lukanya diobati oleh Mbah Gaul, Susanto duduk-duduk kembali bersama kami. Ia tak menangis lagi. Sekitar setengah jam aku di rumah itu bersama anak-anak yang ikut “konser” sore itu. Setelah itu kami pulang. Wajah anak-anak terlihat agak menyesal.
Aku, akulah yang justru merasa bersalah. Bukankah aku pertama kali yang menggagas diadakannya “konser”? Setelah kejadian itu, malamnya aku tak bisa tidur. Aku juga memutuskan untuk tidak diadakan “konser” lagi. Kasihan aku dengan Susanto yang giginya patah. Aku membayangkan, anak-anak lain kelak akan memanggilnya lagi dengan julukan sembarangan yang mereka karang. Aku takut julukan bila julukan baru itu, mungkin saja membuatnya bersedih. Ah, Susanto….
***
Setelah kejadian itu, hari-hari yang penuh dengan pelaksanaan program KKN dan pertemuan dengan para aparat desa tidak menyurutkan dalamnya persahabatanku dengan Susanto dan anak-anak lain. Di sela-sela kesibukan KKN, aku menyempatkan diri untuk mengajarinya membaca atau berjalan-jalan keliling desa naik motorku.
Susanto senang sekali bila diajak jalan-jalan. Kadangkala anak lain juga ikut jalan-jalan keliling desa naik motor. Beberapa kali, motorku sempat dinaiki 5 orang sekaligus – termasuk aku – ketika jalan-jalan keliling desa! Warga desa yang memperhatikan kami tersenyum – beberapa geleng-geleng kepala.
Suatu sore, aku, Ferdian dan Susanto berjalan-jalan keliling desa. Di perjalanan, kami bertemu dengan Jony, yang pernah menyakiti Susanto. Nah, selanjutnya, adegan inilah yang tak akan pernah kulupakan: Susanto melambaikan tangannya sambil tersenyum, lalu menyapa Jony. Tak ada nada marah, tak ada dendam dari sebuah teriakan kecil yang ia suarakan: “Hai, Jony!” Jony membalasnya dengan tatapan mata yang kosong. Ferdian hanya diam.
Sebelum kami pulang, aku mengajak Susanto dan Ferdian makan bakso.
“Kak, tinggal tiga hari Kakak di sini. Bagaimana kalau besok kita buat ‘konser’ terakhir?” tanya Susanto kepadaku saat kami makan bakso.
Aku diam sesaat. Kutanyakan pada Ferdian, “Bagaimana, Fer?”
“Hm, boleh-boleh saja,” katanya santai.
“Saya suka sekali dengan ‘konser’ kita, Kak. Saya ingin nyanyi dan joged-joged lagi. Sudah lama kita nggak ‘konser’,” kata Susanto memohon.
Aku terdiam beberapa saat, memandangi dua teman kecilku ini sambil tersenyum. Setelah lama terdiam, kukatakan, “Nanti akan kakak pikirkan.”
***
“Tas hitam dari kulit buaya…,” kataku disambut teriakan histeris kurang lebih lima belas anak. Setiap kali aku menyanyikan bagian awal lagu ini, aku merasa seperti Iwan Fals sungguhan! Hm, mungkin itulah yang membuat aku menyebut pertemuan itu “konser”. Inilah sore terakhir aku berada di Gadingwetan. Malam sebelumnya, aku telah mengalami perpisahan yang cukup berat dengan para aparat dan pemuda-pemudi desa. Sore ini, aku ingin menikmati kebersamaanku dengan anak-anak yang selama beberapa waktu sirna ditelan permusuhan.
Di sana hadir Ferdian, Jony, Susanto dan anak-anak lainnya. Kami bernyanyi-nyayi, tapi kali ini tanpa “mengadu pantat”! Susanto kelihatannya telah memaafkan Jony, saat ia menyapanya sore itu. Aku kagum dengan jiwa pengampun yang ada di anak pendiam ini. Waktu semakin malam, beberapa remaja mendatangi kami dan meminta sebuah lagu dinyanyikan: Kemesraan. Beberapa ibu juga datang. Mbah Gaul, nenek Susanto juga datang. Lagu demi lagu kami nyanyikan. Malam tambah dingin, kami membuat obor.
Lagu Kemesraan kami nyanyikan lagi. Wah, terdengar indah! Kami semua hapal lagu ini. Dan, yang paling indah adalah ketika kami semua bergandengan tangan menyanyikannya tanpa dikomando. Kurasa, kemesraan menjadi penghangat lebih hangat daripada api obor malam itu. Aku melihat Susanto menggandeng tangan Jony, Jony menggandeng tangan Ferdian. Ya, mereka duduk berdampingan bertiga! Malam kian larut, cahaya obor memudar, kayu-kayu menjadi arang hitam, lalu kami semua, satu per satu pulang ke rumah. Aku tetap tinggal bersama kayu-kayu yang membara. Dingin, sepi.
***
Keesokan harinya, sebelum pulang, aku memberikan beberapa oleh-oleh yang akan kuberikan untuk tetangga dan anak-anak yang dekat denganku. Susanto meminta fotoku. Ia menyatakan akan memandangi foto itu kalau kangen. Oh ya, hampir lupa kukisahkan bahwa setiap malam, selama aku KKN di desa Gadingwetan, Susanto tidur di posko KKN, di sampingku! Aku suka mendongeng buatnya. Rumahnya persis di depan posko KKN yang aku tempati. Tiap pagi ia membangunkanku. Kami sering jalan-jalan di pagi hari, memandangi kota Malang dan melihat sambil menunjuk-nunjuk lampu-lampu yang mulai dimatikan kala menjelang pagi.
Ada sebuah kabar baik yang aku terima baru-baru ini: Susanto tak dijuluki macam-macam lagi. Setelah KKN berakhir, teman-temannya memanggilnya Anto. Apakah ia menjadi lebih berwibawa di mata teman-temannya ketika memaafkan Jony? Kelihatannya demikian.
Hingga kini, fotoku terpampang di kamar Susanto. Entahlah, apa makna kehadiranku di mata dan hati Susanto. Bagiku, sosok Susanto mengajarkan pengampunan yang tulus. Aku tak akan pernah lupakan teguran kecil yang disuarakan tulus oleh Susanto di sore itu: “Hai, Jony!”
Hm, mungkin pepatah benar: Ada orang yang melintas sesaat di kehidupan kita, namun menyisakan jejak yang tak terhapus. Jejak pengampunan, itulah yang aku rasakan masih membekas ketika mengenang sebuah nama: Susanto.
Mengenang masa-masa KKN: April-Juni 2004
== TAMAT == © Sidik Nugroho, 2006