Home |
Fiksi
Anak-anak penjual Bunga
Langit
terbuka. Hujan yang semalaman mengguyuri bumi kini mereda. Pelangi membusur di
angkasa. Biru dan jingga berpadu membuka hari, ciptakan nuansa mesra di sebuah
kota. Puncak-puncak pegunungan rendah yang semula dikabuti awan kini tampak
jelas dan cerah. Surya berkemilau mulia lewat cahayanya yang baru saja
ditampakkannya. Awan-gemawan menyirna, membekaskan embun-embun yang membasahi
daun-daun apel di beberapa lereng gunung.
Kulihat
semua ini terjadi di atas langit Batu, kota sejuk yang terkenal bunga dan
apelnya. Di sebuah jalan mataku kini terpaku, melihat seorang gadis belia yang
jelita, sedang melangkah menuju sebuah rumah.
***
“Kak
Irma!” kata Wahyu.
“Kak!”
kata Tono.
“Kakak
Ilma!” kata Sinta.
Irma
disambut pelukan kangen tiga adiknya. Dia baru datang di kota Batu. Dia kuliah
di Fakultas Pendidikan di salah satu universitas di Jakarta. Kali ini dia
sedang libur akhir tahun. Semester gasal yang ditempuhnya pada tahun ketiga
kuliahnya usai sudah. Baru pertama kali ini ia pulang ke Batu sejak kuliah di
Jakarta. Irma tertawa dan menangis.
“Kamu
sudah makin besar, Sinta!” Itu kata-kata pertama yang diucapkannya. Sinta
tersenyum manja dengan mengedip-ngedipkan matanya mendengar kata-kata itu.
Adik terkecilnya ini tampak kian ayu. Pipinya masih agak menggembung seperti
dulu, namun matanya agak membesar dan membundar dengan bulu-bulu yang tampak
kian lentik. Ia sangat mirip ibunya, batin Irma.
“Bagaimana, Kak, kuliah Kakak di sana?” tanya Tono.
“Bagus,
Tono.”
“Tetap
dan selalu yang tertinggi di kelas?”
Irma
mengangguk.
Tono
bangga kepada kakaknya. Ia sendiri juga selalu menjadi juara kelas. Tono kelas
3 SMU, beda 3 tahun dengan Irma. Sama seperti Irma, ia juga mendapatkan
beasiswa karena pikirannya yang cemerlang. Irma dan Tono bersaudara kandung.
“Bagaimana dengan sekolahmu, Wahyu?”
“Ya,
lancar-lancar saja. Puji Tuhan tahun ini aku masuk sepuluh besar.”
“Bagus!
Kakak senang mendengarnya.”
“Mas Tono
yang kerap mengajari aku, Kak.”
Irma
memandangi Tono dan mengangguk-angguk bangga. Wahyu kelas 3 SMP. Ia kurang
pandai dalam pelajaran di sekolah tapi jago bermain bola. Ia kerap mewakili
sekolahnya ikut perlombaan. Beberapa kali menang. Wahyu dan Sinta bersaudara
kandung. Wahyu dan Sinta sama sekali tak ada ikatan kekeluargaan dengan Irma
dan Tono. Namun, sejak empat tahun lalu – sepanjang usia Sinta – mereka hidup
bersama. “Kakak senang kalian semua akur. Sekarang… ini waktunya berbagi
oleh-oleh.”
Untuk
mereka semua, Irma memberikan masing-masing sesetel pakaian dari Tanah Abang.
Natal akan tiba, ia merasa itulah hadiah terbaik yang bisa diberikannya buat
mereka semua. Mereka gembira sekali menerimanya.
“Kak Ilma
besok ikut ke geleja juga kan?” tanya Sinta.
“Oh,
jelas iya, Sayang.”
“Dia akan
menyanyi duet lalu membaca puisi, Kak!” kata Tono.
“Dan Tono
akan bermain drama,” kata Wahyu.
“Oh, ya?
Kalian hebat-hebat! Kalau kamu sendiri?”
“Aku ikut
vokal grup,” kata Wahyu.
“Yeah…
benar-benar luar biasa. Kurasa semua orang di gereja mengenal kalian karena
kalian rajin beribadah. Benar?”
Semuanya
mengangguk sambil tersenyum. Irma bersyukur untuk kabar baik yang diterimanya
ini. Ia sendiri jauh dari gaya hidup serba-gaul yang ditawarkan Jakarta.
Sambil kuliah ia bekerja di wartel yang juga menyediakan jasa rental komputer.
Ia mendapat shift tetap setiap hari menjaga wartel itu dan sesekali menerima
ketikan pesanan orang bila tak terlalu sibuk. Seluruh penghasilannya ia
kirimkan kepada adik-adiknya untuk biaya hidup mereka.
“Kak, aku
akan pergi bekerja,” kata Wahyu.
“Aku akan
sekolah,” kata Tono.
“Kamu
ikut Kak Wahyu, Sinta?”
“Ya jelas
donk, Kak. Kan tahun depan aku balu sekolah.”
“Kakak
juga akan ikut. Kangen juga rasanya jadi penjual bunga lagi.”
“Hehehe…
asyiiik!”
Tono
berangkat sekolah pagi hari. Wahyu masuk sekolah di siang hari. Bila pagi hari
Wahyu menjaga kios bunganya bersama Sinta di Punten, jalan menuju ke dua
tempat wisata terkenal di Batu: Selecta dan Cangar. Setiap tengah hari, Wahyu
akan pulang ke rumah, siap-siap berangkat ke sekolah. Ketika Tono pulang
sekolah, ganti ia yang menjaganya hingga sore. Kadangkala Sinta ikut lagi,
kadangkala dia main sama anak tetangga, kadangkala dia tidur. Wahyu biasanya
pulang sekolah agak malam karena setelah sekolah seringkali ia main bola dulu.
Tono yang kerap memasak untuk makan pagi dan siang di pagi hari sebelum Wahyu
dan Sinta bangun. Setelah menjaga kios, sebelum pulang ke rumah, Tono selalu
belanja bahan-bahan makanan mereka bertiga untuk keesokan harinya. Ia tak
pernah mengeluh dengan tugasnya.
Sepanjang
hari itu Irma menghirup kembali kesejukan Batu yang jauh berbeda dengan
Jakarta. Batu tak banyak berubah. Orang-orang dari luar kota selalu saja
berdatangan ke sana untuk berekreasi. Tempat-tempat wisata baru dibuka. Yang
terakhir, walaupun tak terlalu ramai dikunjungi, adalah puing-puing rumah
kontrakan Dr. Azahari di jalan Flamboyan. “Setiap hari Sabtu atau Minggu,
pasti ada orang ke sana. Kebanyakan dari luar kota Malang, Kak,” kata Wahyu.
Hari
sudah menjelang siang, lalu mereka bertiga pulang makan siang. Rumah mereka
tak terlalu jauh dari kios berjualan. Wahyu akan siap-siap sekolah. Tak lama
kemudian Tono datang dan, seperti biasa, ia akan berangkat menuju ke kios,
berganti tugas. “Kakak di rumah saja. Ingin istirahat. Sinta kalau mau ikut,
ikut saja. Kakak ditinggal sendiri tidak apa-apa,” kata Irma.
“Aku di
lumah saja. Aku ingin celita-celita sama Kakak.”
“Ya
sudah, aku berangkat sendiri ya,” Tono berkata sambil meraih kunci yang
tergantung pada paku di dinding dekat meteran istrik di ruang tamu.
Nyatanya
Sinta tak lama kemudian tidur dulu. Ia sebelumnya bercerita tentang Tono yang
sangat bersahaja. Ia sangat menyayangi Tono. Wahyu agak bandel, tapi tapi tak
pernah membuat ulah yang kelewatan.
Siang
itu, sambil memandangi langit-langit di kamar, Irma mengenang masa-masa dulu,
ketika seorang pria, Pak Johny namanya, menyatukan mereka. Pak Johny adalah
ayah Wahyu dan Sinta. Istrinya meninggal bersamaan dengan kelahiran Sinta
akibat pendarahan akut. Ia adalah penjual bunga. Ialah yang mewariskan
usahanya kepada mereka. Sebelum meninggal ia mengajari mereka segala sesuatu
tentang berjualan bunga. Ia sebenarnya bercita-cita besar sejak kematian
istrinya: ingin membangun sekolah karena dulu dia tamatan Sekolah Pendidikan
Guru. Ia juga menyukai anak-anak dan pernah bekerja di sebuah panti asuhan
sebelum akhirnya memutuskan menjadi penjual bunga sepenuhnya. Ia agak kecewa
dengan panti asuhan itu. Para pengurusnya hidup korup. Dana dari yayasan
pendirinya kerap dimasukkan ke kantong sendiri. Gizi makanan jadi berkurang,
pakaian anak-anak di sana jadi itu-itu saja, dan pendidikan mereka juga agak
tertelantarkan. “Irma, bapak akan mendirikan panti asuhan sendiri suatu saat,”
katanya suatu malam kepada Irma. Irma tak pernah melupakan niat baik itu.
Irma dan
Tono menjadi anak angkat Pak Johny. Mereka berdua adalah anak sahabat Pak
Johny yang tinggal di Jakarta. Namanya Pak Hadi. Pak Hadi telah tinggal di
Jakarta sejak tahun 1990. Pak Johny pernah beberapa kali berkujung ke rumah
Pak Hadi karena sebelum terjun ke bisnis bunga, ia sempat ditawari untuk
bekerja juga di sana. Sayangnya ia tak betah di Jakarta. Tahun 1998 Pak Hadi
mengalami kebangkrutan usaha karena krisis moneter. Ia menjual rumahnya dan
pindah ke sebuah perumahan lain yang kemudian dilanda banjir pada tahun 2002.
Pak Hadi dan istrinya meninggal. Saat mendengar kejadian itu, Pak Johny
bergegas ke Jakarta. Ia mendapati Tono dan Irma di rumahnya yang berantakan.
Tono dan Irma kemudian dibesarkannya dan disekolahkannya di Batu. Sekitar tiga
tahun lalu Pak Johny meninggal karena penyakit paru-paru. Ia seorang perokok
berat. Usianya masih belum genap lima puluh tahun. Saat itu Irma tengah
bergumul untuk rencana kuliahnya. Ia sudah kelas 3 SMU. Sebelum meninggal Pak
Johny ingin ia kuliah.
Keadaan
tampak mustahil saat itu: warisan uang tak banyak, Sinta masih sangat kecil
untuk ditinggal – baru bisa berjalan, dan rumah kontrakan masih belum lunas
pembayarannya untuk tiga tahun ke depan. Namun, perlahan-lahan jalan terbuka
bersama doa-doanya: ia mendapat beasiswa dari sebuah perusahaan rokok ternama
untuk kuliah. Kemudian ia menggerakkan semangat adik-adiknya untuk tetap
berjualan bunga. Walau semua biaya hidup, buku dan SPP semua sudah ditanggung,
Irma tetap bekerja sambil kuliah. Tono, untunglah juga mendapat beasiswa dari
sekolahnya. Penghasilan Irma dari bekerja ditambah hasil berjualan bunga,
hingga sejauh ini cukup untuk hidup mereka dan mencicil kontrakan.
Air
matanya menitik perlahan mengenang semua itu. Ketika memandangi Sinta yang
tertidur pulas di sampingnya, ia berbisik “Tuhan itu ajaib, Sinta,” sambil
menepuk-nepuk pantatnya dan membelai rambutnya. Ia kemudian terlelap.
Dua hari
kemudian Natal tiba. Malam agak mendung. Keempat anak itu mengenakan
pakaian-pakaian baru mereka, menuju sebuah gereja kecil yang berjarak sekitar
sekilo meter dari rumah. Irma bergandengan dengan Sinta, Tono berjalan di
depan dengan Wahyu. Tetangga-tetangga memandangi mereka dengan tatapan yang
cerah. Tampaknya tatapan mereka menyatakan bahwa keempat anak ini begitu
dikasihi.
Sepanjang
jalan, Sinta terus-menerus tersenyum memandangi baju yang ia kenakan sendiri
sambil sesekali melihat ke wajah Irma yang jauh lebih tinggi. Hatinya takjub
dengan keadaan ini. Ia serasa tak percaya bisa merayakan Natal dengan sosok
yang amat dipujanya. Selama ini ia hanya mendengar suara Irma lewat telepon.
Ia kerap merindukannya. Kini Irma menggandengnya! Ya, baginya Irma mungkin
tampil bersosok bagai seorang ibu – walau ia sendiri tak sempat melihat wajah
ibunya. Ia juga memiliki perasaan kagum padanya setiap kali melihat wajahnya.
Ia selalu ingin menjadi Irma sampai kapanpun.
Acara
hampir dimulai ketika mereka sampai. Dari tiga anak itu, pertama-tama, Tono
yang tampil dulu. Ia menjadi Yusuf, suami Maria. Pembawaannya terlalu kaku.
Namun drama berjalan dengan baik. Kemudian Wahyu, menyanyi bersama tujuh anak
lain. Vokal grupnya terkesan datar. Suara tidak dibagi jadi tiga. Hanya suara
satu. Tapi untunglah mereka hanya menyanyikan satu lagu. Tanggapan hadirin
untuk drama dan vokal grup datar-datar saja. Tepukan tangan terdengar
samar-samar.
Setelah
khotbah disampaikan, dua orang anak kecil maju ke depan. Nah, ternyata Sinta
dan Dody. Mereka menyanyikan lagu O Holy Night. Lampu-lampu dimatikan,
lilin-lilin kecil dinyalakan. Acara candle light berlangsung. Sungguh tak
terduga, Sinta memiliki suara yang amat indah walaupun ia belum fasih berucap
huruf “r”. Hampir tak ada nada sumbang yang dinyanyikannya. Di tengah-tengah
lagu, ia juga membaca puisi dengan berani dan penuh penghayatan. Lilin-lilin
kemudian menyala di segenap ruangan ketika nyanyian berpuisi itu usai. Irma
dan segenap hadirin merasakan kekhidmatan Natal. Irma terharu dan bangga
melihat penampilan Sinta. Matanya tak berkedip melihat gadis kecil itu. Ia
tahu, dari panggung tempat ia bernyanyi, mata Sinta juga memandangi Irma.
Dalam keremangan itu, hati Irma dan Sinta dipenuhi kasih dan damai. Rasanya
hadirin yang lain juga, andaikan mereka menghayati semuanya dalam nurani
mereka.
Perlahan-lahan, di luar hujan turun rintik-rintik.
***
Malam itu
aku terpana memandangi mereka berempat. Aku ingin ada bersama di sana. Namun,
aku tak bisa. Aku hanya bisa memandangi mereka dari sini. Di sini tak hujan.
Malam berhujan di kota kecil itu saat ini tampak teramat mesra. Apalagi di
gereja mungil itu. Empat anak itu masih bercakap-cakap di sana. Kemudian,
ketika hujan agak reda, aku melihat mereka melangkah pulang.
“Bersyukurlah untuk anak-anakmu, Pak Johny. Mereka anak-anak manis yang juga
amat kukasihi. Anak-anakmu, hai penjual bunga, mereka juga anak-anakku,” kata
sebuah suara kepadaku, lirih dan anggun. Aku melihatnya. Wajahnya berkilauan
dengan cahaya. Teduh dan damai. Orang-orang di bumi akhir-akhir ini sedang
sibuk mempersoalkan berbagai hal tentangnya akibat sebuah buku yang membahas
tentang kode rahasia dari seorang pelukis ternama.
***
© Sidik Nugroho, 2007