Home |
Fiksi
Ibuku, Pujaanku
Aku
memiliki seorang ibu yang baik. Ia selalu memperhatikanku dan memberikan kasih
sayang buatku. Aku juga tinggal dengan kakakku yang bernama Andi. Ia berusia
11 tahun. Aku berusia 8 tahun. Ayahku sudah tidak ada lagi sejak dua tahun
lalu. Ia meninggal karena sakit.
Sebenarnya, ayah meninggalkan uang pensiun yang masih kami terima tiap bulan,
namun itu tidak lagi mencukupi kebutuhan kami bertiga.
Untuk
memenuhi kebutuhan hidup kami, ibu membuat kue-kue. Ibu bangun ketika hari
masih gelap untuk membuat kue. Ibu menitipkan kue-kue yang ia buat ke
toko-toko dekat rumah kami waktu pagi hari.
Kami
berdua juga membantu ibu menitipkan kue-kue itu ke beberapa toko sebelum
berangkat sekolah. Bahkan, kami juga menitipkannya ke kantin sekolah kami.
Sepulang sekolah, kami mengambil hasil jualan kue kami ke penjaga kantin.
Hasilnya lumayan, seringkali kue itu habis.
Kue-kue
bikinan ibuku rasanya lezat. Para pemilik warung yang dititipi kue oleh ibu
merasa senang karena mereka juga turut mendapat untung. Hampir setiap hari
kue-kue ibu selalu habis terjual. Sore hari, ketika ibu pulang ke rumah dari
mengambil hasil jualan di toko-toko, wajahnya selalu ceria. Senyum terlihat
mengembang di bibirnya.
Suatu malam, ketika aku dan Mas Andi lagi bermain kartu, ibu
memanggil kami berdua. Setelah kami duduk berhadapan bertiga, ibu bicara
kepada kami.
“Sugeng, Andi, kalian tahu ‘kan kalau kue-kue ibu laris?”
“Iya,
Bu,” jawab kami serempak.
“Nah,
sebenarnya dua hari yang lalu, diam-diam ibu sudah membelikan sesuatu buat
kalian berdua sebagai hadiah. Tapi, ibu tidak menceritakannya kepada kalian.”
“Wah,
hadiah! Hadiahnya apa ya, Bu?” tanya Mas Andi dengan penasaran.
“Wah,
Ibu baik sekali. Apa hadiahnya, Bu?” tanyaku tak kalah seru.
Ibu
lalu tersenyum kepada kami berdua, lalu masuk ke kamar. Beberapa saat
kemudian, ibu keluar membawa dua buah bingkisan.
Sebelum
memberikannya kepada kami ibu kerkata, “Hadiah ini adalah hasil kerjasama kita
selama ini. Ibu turut bangga karena mempunyai anak-anak yang mau menolong ibu
berjualan kue-kue. Hari ini, ibu memberikan hadiah ini sebagai tanda kasih
sayang dan terima kasih kepada kalian berdua.”
Ibu
lalu memberikan sebuah bingkisan yang agak besar ke Mas Andi. Sebuah bingkisan
lain, yang ukurannya agak kecil diberikannya kepadaku.
Wah,
kami senang sekali! Ternyata isinya sama, sebuah tas sekolah! Ibu ternyata
tahu kalau tas kami selama ini sudah usang dan patut diganti.
Namun,
tiba-tiba saja aku cemburu....
Ketika
melihat tas Mas Andi lebih besar dari tasku, aku cemberut. Aku merasa tas Mas
Andi lebih bagus dari tasku. “Tentu harganya juga lebih mahal,” kataku dalam
hati.
“Ibu,
Ibu pilih kasih ya? Tas Mas Andi kok lebih bagus dan lebih besar dari tasku?”
tanyaku ketus.
Muka
ibu tiba-tiba berubah. Ia diam.
“Ah,
Ibu tidak adil! Ibu lebih sayang kepada Mas Andi!” kataku geram.
“Tidak,
Sugeng! Ibu sudah pilihkan yang terbaik untuk kalian berdua,” kata ibu dengan
lembut, berusaha menenangkanku.
Aku
tetap cemberut. Aku tidak terima dengan perlakuan ini. Mas Andi hanya diam.
Ibu memandangiku dengan sedih. Lalu, tanpa pamit dan ucapan terima kasih, aku
tinggalkan ibu dan Mas Andi. Aku masuk ke kamar, lalu menguncinya.
Beberapa kali aku mendengar ketukan pintu dari ibu dan Mas Andi, tapi aku
diamkan.
Malam
itu aku tidak bisa tidur nyenyak. Aku merasa geram, namun juga kasihan. Aku
merasa cemburu, namun juga menyesal. Tiba-tiba, aku menitikkan air mata. “Ah,
kasihan Ibu,” kataku dalam hati. Aku mengingat-ingat apa yang telah dilakukan
ibu setiap hari. Ia sudah bekerja keras dengan kesetiaan dan cinta kasih untuk
kami berdua.
Dan,
Mas Andi! Mengapa aku bisa cemburu sama Mas Andi? Apakah gara-gara aku selalu
kalah kalau main kartu sama dia? Selama ini memang Mas Andi lebih pintar dan
cekatan dalam beberapa hal daripada aku. Mungkin, kecemburuan itulah yang
akhirnya membeludak malam itu.
Malam
kian larut, aku perlahan-lahan terlelap.
Ketika
hari masih gelap, tiba-tiba aku terbangun. Lalu, aku segera teringat kejadian
semalam. Dari kamarku aku mendengar ibu sedang sibuk di dapur membuat kue.
Apakah ibu bisa tidur semalam? Entahlah.
Aku
berniat menghampiri ibu, namun aku merasa gugup. Aku menimbang-nimbang
beberapa saat, lalu kuputuskan untuk meminta maaf kepada ibu.
Ketika
aku memasuki ruang dapur, ibu melihatku dan terkejut. Lalu, aku tak bisa
berkata-kata apa-apa dan langsung memeluk ibu.
“Bu,
maafkan aku. Semalam aku telah berbuat jahat,” kataku sambil menangis.
“Ah,
tidak apa-apa, kok. Ibu tahu perasaanmu. Semalam ibu berdoa agar kamu sadar
kalau ibu sudah berusaha memberikan yang terbaik buatmu dan kakakmu. Kakakmu
‘kan bawaannya lebih banyak karena sudah kelas enam, jadi ibu belikan tas yang
lebih besar.”
“Iya,
Bu. Aku yang salah. Hari ini aku janji tidak marah lagi,” kataku sambil
terisak.
Aku
merasakan di rambutku ada air yang menetes.
Lalu,
ibu menyahut, “Baiklah, Sugeng. Sekarang, mandilah dan siap-siap ke sekolah.”
Aku
merasa lega.
Pagi
itu aku juga meminta maaf kepada Mas Andi. Ia sangat baik kepadaku. Kami
berdua, seperti biasanya, membantu ibu mengantarkan lagi kue-kue ibu ke
beberapa toko dekat rumah kami sebelum berangkat sekolah.
Tugas
kami selesai dan tiba saatnya kami berangkat sekolah. Aku dan Mas Andi
berpamitan kepada Ibu, lalu melangkah dengan riang menuju sekolah. Kami
berjalan sambil berangkulan sambil sesekali saling memandangi tas kami yang
baru. Rasanya bahagia. Ketika langkah kami semakin jauh, aku memandang ke
belakang, ke rumahku. Di sana ibu masih berdiri memandangi kami. Senyumnya
masih terlihat di kejauhan.
Ah, ibuku
memang ibu yang baik. Dengan semangat aku akan belajar di sekolah. Dan, dengan
bangga aku akan titipkan ke kantin sekolah kue-kue buatan dari ibuku,
pujaanku.
== TAMAT ==
© Sidik Nugroho,
2006