“Caaang, kacaaang…” teriak seorang anak lelaki kecil berulang-ulang menjajakan kacang rebus jualannya. Tiap sore ia selalu melintasi perumahan tempat aku tinggal. Kadangkala aku membeli kacang rebus itu. Rasanya enak dan harganya murah. Sudah hampir dua bulan terakhir ia berjualan keliling di sini.
Suatu waktu aku berkenalan dengan anak ini. Rupanya ia bernama Roby. Ia sudah tidak mempunyai ayah dan ibu lagi. Ia tinggal dengan neneknya. Pagi sampai siang ia sekolah. Sore hari ia menjual kacang rebus. Sama seperti aku, ia masih berusia 11 tahun dan duduk di kelas 5 SD. Sejak hari itu bila Roby lewat untuk menjajakan kacang rebusnya, aku selalu menyapanya sambil tersenyum. Kadangkala ia mampir sebentar di rumahku untuk santai sejenak sambil berbincang-bincang.
Kira-kira sebulan sejak perkenalan itu, suara Roby tidak kedengaran di perumahanku. Entahlah, hatiku merasa gelisah. Hampir dua minggu suaranya tak terdengar. Lalu, aku berniat untuk mengetahui keadaannya. Aku berencana mengajak Anton dan Mita yang tinggal satu perumahan denganku untuk mengunjungi Roby. Mereka berdua juga teman sekelasku.
“Halo, Guh! Bagaimana kabarmu?” kata Anton ketika aku menemui dia di rumahnya.
“Baik,” jawabku singkat.
“Ada apa nih? Kok kelihatannya serius sekali?”
“Aku mau mengajakmu menjenguk seseorang, Ton,” kataku kepadanya sambil duduk di bangku teras depan rumahnya.
“Menjenguk siapa?” tanya Anton penasaran.
“Roby.”
“Roby? Siapa dia?”
“Kamu mungkin pernah membeli kacang rebus yang lewat di sekitar sini kalau sore hari. Nah, Roby itu yang jualan kacang rebus itu,” kataku menjelaskan.
“Pernah sih aku mendengar anak itu kalau sore-sore begini. Tapi, aku kurang suka kacang rebus. Jadi, aku jarang memperhatikannya.”
“Kamu sadar tidak kalau kira-kira sudah dua minggu ini ia tidak lewat?”
“Iya, ya,” kata Anton sambil berpikir.
“Besok kita akan ke sana. Jika Mita mau, besok kita akan ke sana bertiga,”
“Baiklah,” kata Anton mantap.
“Aku permisi dulu ya. Besok di sekolah kita bicarakan ini dengan Mita.”
“Baiklah. Sampai bertemu besok ya. Hati-hati di jalan,” kata Anton sambil melambaikan tangan.
“Baik,” kataku sambil meninggalkan rumah itu.
“Hei, bagaimana kamu bisa kenal sama Roby dan… apa yang terjadi dengan dia?” teriak Anton ketika aku sudah meninggalkan halaman rumahnya.
“Hm, besok aku ceritakan. Daaah…” kataku sambil melambai.
***
Pagi ini cerah sekali. Perjalananku ke sekolah yang kutempuh dengan berjalan kaki serasa ringan. Sekolahku tidak jauh, hanya setengah kilometer dari rumahku. Di pagi yang dingin ini, aku merasakan sejuknya pagi. Sambil menghirup pelan-pelan udara segar, aku melangkah mantap menuju sekolah.
“Hai, Teguh!” teriak sebuah suara dengan bersemangat di belakangku. Aku menoleh.
“Hai, Mita!” sahutku tidak kalah seru.
“Sudah mengerjakan PR Matematika dari Bu Susi?”
“Sudah. Kamu sudah, Mit?”
“Ya sudah, dong.”
Kami terus berbincang-bincang sepanjang perjalanan tentang mata pelajaran yang sulit. Tanpa terasa, gerbang sekolah sudah di depan mata kami.
“Oh iya, Mit, nanti waktu istirahat, aku dan Anton mau berbicara denganmu tentang sebuah rencana. Kamu bersedia?” pintaku.
“Kok tidak sekarang? ‘Kan masih ada waktu sebelum masuk kelas?”
“Nanti sajalah. Soalnya hari ini aku piket,” sahutku menjelaskan.
“Baiklah.”
Tiga jam pelajaran pertama sudah berlalu. Bel istirahat berbunyi. Aku, Anton dan Mita bergegas menuju tempat yang biasa kami pakai untuk berbincang-bincang, sebuah bangku di bawah pohon-pohon yang rindang di taman sekolah.
“Apa rencana kita?” kata Mita membuka pembicaraan.
“Begini. Biar aku jelaskan dulu semuanya,” kataku menenangkan. “Aku kenal dengan seorang anak penjual kacang rebus yang sering lewat di sekitar perumahan kita….”
“Oh, yang jual kacang rebus. Aku tahu anak itu,” kata Mita memotong ucapanku. “Ada apa dengannya?”
“Dia tidak pernah kelihatan kira-kira dua minggu terakhir ini. Aku merasa resah. Takut kalau terjadi sesuatu dengannya. Aku mau nanti sore kita mengunjunginya. Bagaimana? Setuju?”
“Apa kamu sudah kenal dekat dengan dia?” tanya Anton.
“Tidak terlalu dekat. Tapi, selama sebulan aku beberapa kali berbincang-bincang dengannya,” kataku menegaskan.
“Setuju. Aku ikut!” kata Mita mantap.
Tak lama kemudian, Anton berkata sama.
***
Sore itu Anton dan Mita menuju ke rumahku. Supirku sudah siap mengantarkan kami menuju ke rumah Roby. Dulu, waktu berkenalan, Roby memberiku alamat rumahnya. Rumah Roby tidak terlalu jauh dari perumahan kami. Dalam waktu sekitar sepuluh menit, kami sudah sampai di rumah Roby.
Di depan rumah Roby duduk seorang nenek tua sedang merenung. Ia terlihat kaget ketika kami tiba. Dengan terbata-bata ia berkata, “Adik-adik, mau cari siapa?”
Aku menjawab, “Kami mencari Roby. Apakah dia ada?”
“Oh, dia ada di dalam. Mari masuk,” katanya ramah sambil mengantar kami memasuki rumahnya. Lalu, nenek tua itu masuk ke sebuah kamar.
Keadaan rumah Roby sangat sederhana. Kursi-kursi dari plastik, perabotan-perabotan rumah sederhana dan lantai tanah menjadi tanda kalau ia anak yang tidak mampu. Kami bertiga saling berpandangan dan diam. Supirku menunggu di luar.
Beberapa saat kemudian Roby keluar. Tapi aku kaget bukan kepalang. Ia mengenakan penyangga untuk berjalan! Aku segera menyalaminya dan memperkenalkan Anton dan Mita kepadanya. Roby terlihat senang dengan kunjungan kami.
“Kena apa, Rob?” tanyaku sambil melirik ke kakinya.
“Ditabrak motor ketika sedang berjualan. Yang menabrak saya langsung lari. Untung ada yang menolong saya waktu itu dan mengantarkan saya pulang ke rumah,” katanya menjelaskan.
“Kapan kejadian itu?” tanya Mita.
“Dua minggu lalu.”
“Siapa yang menolong kamu?” tanya Anton.
“Entahlah, dia hanya mengantar saya pulang ke rumah, lalu pergi begitu saja.”
Suasana hening beberapa saat. Kami saling berpandangan. Lalu aku bertanya, “Masih sakit, Rob?”
“Ya, lumayan….” Ia melanjutkan, “Saya senang kalian mau datang.”
“Entahlah, sejak kamu jarang lewat di perumahanku, aku selalu kuatir akan keadaanmu. Tapi, syukurlah, sekarang keadaan kamu sudah agak baik.”
Kami lalu berbincang-bincang beberapa saat tentang keluarga, sekolah dan pekerjaan Roby. Sebelum pulang, kami menyerahkan buah dan makanan yang kami bawa dari rumah untuk Roby. Ia sangat berterima kasih untuk kunjungan sore itu.
Dalam perjalanan pulang, tiba-tiba saja Anton mengusulkan agar membelikan sebuah sepeda untuk Roby. Kami langsung setuju dan mulai menabung keesokan harinya.
***
Kami menceritakan pengalaman ini kepada orang tua kami masing-masing. Mereka tersentuh hatinya dan menyatakan mau membantu membelikan sepeda buat Roby. Karena dibantu orang tua kami, dalam waktu dua minggu, uang yang dibutuhkan sudah cukup. Dengan supirku, kami membeli sebuah sepeda. Setelah memilih-milih, akhirnya sebuah sepeda berwarna biru yang kami belikan buat Roby. Keesokan harinya, kami mengantarkan sepeda ini buat Roby. Ia sangat kaget menerima pemberian itu.
“Terima kasih banyak,” kata Roby dengan senang. “Saya tidak bisa membalas kebaikan teman-teman.”
Nenek Roby yang menyaksikan sepeda itu juga turut senang. Ia mengelus dadanya karena terharu.
“Ya, inilah yang dapat kami berikan. Semoga ini dapat dipakai kalau kamu ke sekolah atau berjualan,” kata Mita.
Setelah berbincang-bincang sejenak tentang perkembangan kesehatannya, kami berpamitan. Di perjalanan pulang kami diam. Aku tahu, teman-temanku, juga supirku, merasa puas karena telah berbuat kebaikan bagi orang lain. Hari demi hari berlalu dan pengalaman itu tidak kami lupakan.
***
“Caaang, kacaaang…” teriak Roby di suatu sore dengan sepeda barunya. Dari dalam rumah aku menyaksikannya. Aku sangat senang.
Lalu, aku keluar dan kupanggil Roby sambil bercanda, “Halo, Mas! Lama tidak jumpa! Beli sebungkus ya kacangnya!”
“Ini, Mas Teguh. Kali ini gratis, khusus buat Anda!” katanya bercanda pula sambil memberikan sebungkus kacang rebus.
Sore itu kami tertawa-tawa bahagia bersama. Roby santai sejenak di depan rumahku. Orang tuaku juga datang menghampiri kami, ikut berbincang-bincang. Kami semua merasa senang karena Roby sudah berjualan kembali.
Setelah itu, Roby kembali menjajakan jualannya. Dengan lincah dikayuhnya sepeda biru itu dan sesaat kemudian terdengarlah suaranya, “Caaang, kacaaang….”
== TAMAT == © Sidik Nugroho, 2006