Tiga puluh tahun lalu adalah waktu yang panjang.
Untuk mengenang sesuatu yang dijaraki masa sedemikian panjang, orang seperti aku harus dengan sekuat tenaga mengingat sesuatu yang membekas; entah itu manis, atau pahit. Soalnya, aku pelupa.
Aku kini bekerja sebagai mandor beberapa proyek pembangunan di kotaku. Cukup melelahkan. Apalagi, beberapa proyek pembangunan ruko sedang marak akhir-akhir ini. Beberapa kali aku berganti pekerjaan. Aku terbiasa dengan pekerjaan serabutan. Dalam perjalanan pulang ke rumah, aku selalu membawa walkman untuk menenangkan diri.
Sore ini hujan, tak seperti hari-hari lain di bulan Juni. Sepulang kantor, aku duduk di teras rumah seorang diri. Aku mendengarkan lagu-lagu Andy Williams yang mengalun tenang, setenang suasana dan hatiku. Kali ini sedang terlantun Speak Softly Love, yang menjadi theme-song Godfather, film legendaris itu.
***
Diantar lagu itu, tiba-tiba saja aku teringat dengan kantor pos tempat aku sering menulis surat. Sebuah kantor pos yang dirindangi beringin. Kantor pos kecil di Pontianak, Kalimantan Barat, yang jauh dari sini, Malang. Di sana aku mengenal seseorang yang istimewa. Ia adalah seorang gadis SMEA (sekarang menjadi SMK) yang sedang praktek di sana. Suatu waktu, kala melihatku menulis surat, ia datang mendekat.
“Menulis surat buat siapa?” tanyanya lembut.
Aku kaget, tak menyangka ada yang memperhatikanku.
“Emm, aku menulis surat buat seorang teman lama di Jawa,” kataku sedikit gelagapan.
“Oh, suka menulis surat?” tanyanya sambil melepas senyum lebar.
“Iya, hehehe...,” jawabku tersipu. “Daripada nganggur di rumah, lebih baik saya melepas kangen di sini, di atas kertas ini,” lanjutku.
Ia lalu memperhatikan kertas-kertas yang telah kutulisi. “Tulisanmu jelek. Bisakah orang membacanya?” tanyanya polos.
“Emm, kelihatannya bisa. Tak ada pembaca suratku yang mengeluh tentang itu. Baru kamu,” kataku serius, tenang dan meyakinkan.
“Hahaha, aku hanya bergurau. Bukan urusanku tulisanmu bagus atau jelek. Yang jelas, aku suka melihatmu menulis,” katanya sambil meninggalkanku.
Aneh juga gadis ini. Namun, manis juga. Aku memandangi langkahnya yang teralun pelan. Dalam hitungan langkahnya yang kesepuluh, ia menoleh ke arahku. Aku mendongakkan kepalaku dan tersenyum padanya. Ia tertawa. Ah, tawanya indah.
Aku menulis dan menulis lagi. Setelah selesai, kukirimkan suratku di loket Kilat. Aha, dialah yang menjaga loket itu!
“Kau tahu apa arti sebuah surat?” tanyanya ketika aku menyerahkan suratku yang sudah terbungkus amplop dan ditempeli perangko.
“Apa artinya?”
“Tulisan yang paling nikmat dibaca kala sore menjelang malam dibarengi secangkir teh,” katanya sambil tersenyum, dengan jari yang menunjuk pada suratku.
“Emm, bagus artinya,” sahutku sambil merenungi apa yang baru saja diucapkannya.
Tak kupungkiri, aku terpikat dengan gadis ini. Kucari akal untuk mengajaknya makan atau keluar ke suatu tempat.
“Dan, menurutku,” kataku menatapi matanya serius. “Sebuah surat akan lebih indah bila kubacakan untuk seseorang sambil minum teh menjelang malam.”
“Itu benar,” katanya membalas sambil meraih suratku.
“Bila aku dapat surat dari sahabat dekatku, aku ingin mengajakmu minum teh sambil membacakannya buatmu kala menjelang malam. Maukah kau?”
Dia menarik napas panjang sambil memandangiku dengan senyum tipis. Beberapa jenak kemudian, sambil menghembus napas pelan-pelan dan dengan senyumnya yang melebar, ia lalu menjawab singkat, “Boleh.”
“Hahaha!” aku tertawa keras dalam hati. Pulang dari kantor pos itu, aku tak berhenti tersenyum-senyum di sepanjang jalan menuju rumahku. Bahkan, teriak beberapa kali! Seorang anak kecil yang sedang menyeberang jalan kuteriaki, “Huaaa!” dan ia minggir dengan wajah ketakutan. Ah, asmara....
Tibalah saatnya aku menerima surat dari salah satu sahabatku. Aku senang sekali. Ada dua kebahagiaan yang menanti: isi surat yang kubaca dan seorang wanita yang siap mendengar aku membaca. Manakah yang akan lebih membahagiakan?
Di depan kantor pos, ada beberapa warung sederhana dari tenda-tenda. Ke salah satu warung di sana, aku mengajaknya makan dan minum teh.
“Aku tak kaya, tak mampu mengajakmu ke restoran,” kataku kepadanya ketika memasuki warung itu.
“Apa urusanku dengan itu? Kau membawaku ke pinggir sungai atau dekat kuburan juga tak mengapa,” katanya tenang.
Aku tersenyum tipis sambil mengangguk-angguk dan memandangi wajahnya. Dalam hatiku, aku berpendapat gadis ini kuat sekali. Ia tenang, selalu menyatakan sesuatu dengan pasti.
Kami memesan makanan, makan dan berbagi cerita. Kukisahkan kepadanya bahwa aku adalah seorang perantau yang kini bekerja pada sebuah perusahaan jasa kurir. Aku bertugas di bagian packing. Sudah dua tahun aku di Pontianak. Dulu, begitu tamat SMA, aku bekerja di Malang pada perusahaan yang sama. Di Malang aku bekerja hanya setahun. Sekarang dipindahkan di sini, di Pontianak, karena perusahaan jasa itu membuka cabang baru.
Ayah dan saudara-saudariku masih tinggal di Malang. Ibuku telah tiada sejak aku berusia enam tahun karena sakit. Aku menceritakan kalau aku suka menulis surat karena aku suka bila mendapat surat dari ayah, kerabat atau teman dekat.
Ia juga bercerita siapa dirinya. Ia adalah gadis dari keluarga yang kaya. Namun, ia tak berencana kuliah karena ingin melanjutkan usaha ayahnya. Karenanya, ia mengambil jurusan akuntansi di SMEA. Ia bernama Sinta. Ia juga suka menulis surat karena suka bila mendapat surat.
Setelah selesai makan, mata kami sama-sama tertuju kepada teh kami masing-masing.
“Baik, aku akan membacakan surat ini,” kataku sambil mengeluarkan sebuah amplop dari saku jaketku.
“Aku akan mendengarnya,” kata Sinta sambil menatapku. “Aku akan mendengarnya sambil melihat gerak-gerik bibirmu. Tak apa-apa ‘kan?” lanjutnya.
“Tak apa-apa. Hanya, jangan kaukecup bibirku. Kelak aku pingsan!” kataku bercanda.
Pipi Sinta memerah. Ia terlihat agak kesal. “Aku pulang saja kalau begitu,” katanya.
“Jangan, aku hanya bercanda,” kataku sambil memegang tangannya.
Aku dan Sinta memandangi tangan kami yang berpegangan. Lalu, mata kami bertatapan. Beberapa saat kemudian, tanpa dikomando, pegangan itu terlepas; sama-sama kami lepas.
“Baiklah, Sinta. Aku akan membaca surat ini. Dengarkanlah,” kataku sambil merobek amplop pembungkus surat itu.
Ternyata, isinya hanya selembar. Dan, surat itu terlihat singkat. Aku berdebar-debar ketika membacanya. Surat itu bisa terbaca hanya dalam waktu setengah menit. Ya, setengah menit. Sangat singkat! Karena isinya memilukan hati, aku tak bisa membacakannya buat Sinta.
Mataku memerah, lalu berkaca-kaca. Aku tak bisa menatapi Sinta. Tatapanku kosong. Entah apa yang dirasa Sinta ketika melihat ekspresiku. Lalu, tanpa ijinku, ia meraih surat itu dari tanganku. Sinta membacanya.
“Johny, segeralah pulang. Ayahmu telah tiada, adik-adikmu menunggumu. Aku sengaja tak mengirimu telegram, karena takut kau terlalu kaget. Lagipula, bila kau terlalu lekas kukirimi kabar, belum tentu kau punya uang untuk kembali. Sahabatmu, Syamsul.”
Sinta menarik napas panjang. Dari sudut kedua matanya menetes air mata. Ia melipat surat itu dan meletakkannya di meja warung. Kami diam beberapa saat. Hujan turun bersama datangnya malam. Ketika hendak menyeruput tehku, aku memandangi Sinta sejenak. Dia juga menatapku. Lalu kami sama-sama menyeruput teh hangat sore itu. Hampir tak ada percakapan berarti setelah itu. Yang sempat aku dengar dari Sinta adalah kata-katanya yang lirih, “Kuatkan hatimu, Mas Johny.”
Hujan tak reda-reda. Untunglah, Sinta membawa payung. Akhirnya, kami berjalan berdua melintasi jalanan dengan ditudungi payung itu. Saat itulah kurasa hati kami berpadu di dalam kasih. Tangan kananku memegang payung, dan tangan kiriku dipegangi Sinta erat-erat dengan kedua tangannya. Sesekali ia menyandarkan kepalanya di bahuku. Ya, aku terhibur dengan kehadiran Sinta. Aku mengantarkan Sinta pulang ke rumahnya yang tak terlalu jauh dari kantor pos.
Aku melirik, memandangi wajah Sinta. Ia sesekali terpejam. Sempat aku menatapnya kala ia membuka matanya. Dan, ia tersenyum. Senyumnya menghangatkan jiwaku yang didingini duka dan hujan.
Rumah Sinta telah dekat. Aku rasa, aku harus mengatakan sesuatu kepadanya. Setengah berteriak, aku berkata, “Sinta, maafkan aku. Kau jadi ikut berduka gara-gara kejadian ini. Padahal, sebenarnya aku ingin membagi kebahagiaan!”
“Tidak mengapa, Mas. Aku senang bisa keluar denganmu kali ini.”
Ada sebuah beringin di dekat rumah Sinta. Aku menghentikan langkahku.
“Mengapa kau mau menemaniku? Bukankah aku masih asing bagimu?” tanyaku menyelidik. Aku cukup penasaran karena dia tampaknya lekas sekali dekat denganku.
“Kau mau tahu?” ganti Sinta bertanya.
Aku mengangguk.
“Aku telah beberapa kali melihatmu menulis surat di kantor posku. Aku hanya diam, membatin di dalam hati kalau kamu tentulah orang baik. Kamu terlihat tenang, sesekali tersenyum memandangi surat-suratmu. Aku senang dengan pemandangan itu. Dan, aku selalu yakin, bahwa pria yang merindukan keluarganya dan sahabat-sahabat lamanya, adalah pria baik, yang biasanya setia. Itulah anggapanku. Dan semoga, anggapan itu berlaku untukmu,” katanya pelan sambil menatapiku dalam-dalam.
Aku diam dan menatapinya beberapa saat. Aku tersanjung.
“Mari kita jalan lagi,” kataku.
Kami berjalan lagi, bergandengan.
“Sinta, aku akan mengabarimu bila aku kelak sampai di Malang. Aku akan menulis surat buatmu,” kataku meyakinkannya.
“Aku tunggu itu,” jawabnya tenang.
Rumah Sinta telah sampai. Aku segera berbalik, lalu lari meninggalkannya. Dia kutinggalkan kehujanan sendirian. Setelah cukup jauh, aku berbalik ke arahnya dan berteriak, “Aku pinjam payungmu! Pulang dari Malang akan kukembalikan!”
Sinta menatapiku dengan wajah sayu. Aku mengangkat tanganku sambil mengacungkan telunjukku; menyuruhnya masuk ke rumah. Dia malah menungguku lama. Aku tahu, mungkin dia ingin dibisiki sesuatu atau dikecup keningnya, namun aku tak mau melakukannya. Aku pun menunggu; kami bertatapan di kejauhan. Tiga menit kemudian, ia masuk ke rumahnya. Lalu, secepat kilat aku berbalik dan mengarungi hujan.
Keesokan harinya, aku pulang ke Malang. Memang, Syamsul benar. Saat itu biaya transportasi antar-pulau sangat mahal. Di dalam perjalanan, aku bersyukur untuk keputusannya yang tepat: mengabariku melalui surat. Di Malang, beberapa keluarga masih ada. Aku pergi ke makam ayah dengan saudara-saudaraku. Di sana aku berduka. Selama dua minggu aku di sana. Sesuai janjiku, kusempatkan menulis surat buat Sinta.
***
“Ma, buatkan aku secangkir teh hangat,” kataku kepada istriku setengah berteriak sambil mengakhiri memori panjang itu. Sore-sore begini, biasanya dia menyulam di ruang tengah. Lagu Andy Williams di walkman-ku telah berganti dengan Love Story, yang juga jadi theme-song sebuah film berjudul sama, Love Story. Hujan masih mengguyur kota Malang yang dingin ini.
“Oh, Papa. Baru saja sampai ya?” kata istriku yang tak mengetahui kedatanganku.
“Oh, sudah lumayan lama kok. Aku santai di teras ini sendirian. Mungkin kamu sibuk di dalam, jadi tak tahu aku sudah datang,” kataku sambil tersenyum. Bila pulang kantor, aku sering menyusup masuk diam-diam, lalu memeluk istriku dari belakang. Ia senang.
Istriku masuk ke dalam, membuatkanku teh. Lalu, baru kusadari kalau pada meja di teras ada sebuah surat dari anakku yang kini bekerja di Madiun. Aku meraih surat itu. Saat aku hendak membukanya, istriku keluar membawa dua cangkir teh untuk kami berdua.
Aku meraih tangannya, mengecup keningnya. Aku memandanginya lama. Dia senang, tapi mungkin merasa aneh dengan tatapan dan perlakuanku. Bola matanya berputar-putar. Wajahnya tersenyum cerah.
“Ma, ada surat dari anak kita,” kataku sambil menatapinya.
“Iya, tadi aku lupa membawanya masuk.”
“Aku akan membacanya buatmu. Tataplah aku dan pandangi gerak-gerik bibirku,” kataku menatapnya dalam-dalam.
“Ah, Papa...,” katanya tersenyum dan tersipu.
Aku lalu membacakan surat itu. Intinya, anakku mengabari kalau ia sudah menemukan belahan hatinya dan sedang bahagia. Pekerjaannya juga baik; ia sedang naik jabatan. Di sela-sela pembacaan itu, aku menatapi wajah istriku. Ia terlihat menyipitkan matanya, seolah-olah menangkap suatu isyarat.
Selesai membaca, aku memandangi istriku, Sinta, dan bertanya kepadanya, “Kau tahu apa arti sebuah surat?”
Ia menatapku dengan tatapan menyelidik sambil tersenyum tipis. Setengah menit aku menunggu, lalu ia menjawab dengan tepat, apa yang pernah dikatakannya dulu dengan mantap, “Tulisan yang paling nikmat dibaca kala sore menjelang malam dibarengi secangkir teh.”
Aku menghela napas panjang, lalu meraih tangan Sinta, memegangnya erat sambil memandangi dan merasakan hujan yang mengguyur rumah dan kota kami. Ia lalu merebahkan kepalanya di bahuku. Aku menciumi rambutnya yang wangi. Namun, hahaha, kali ini kami tak berpayungan!
Pada dua hati manusia di muka bumi, yang masing-masing ditemani secangkir teh di sore hari, kembali kasih memadunya dengan indah.
Tiga puluh tahun lalu adalah waktu yang panjang.
© Sidik Nugroho, 2006