Home | Fiksi
 
Tukang Becak Tergendut di Kampungku
 
            Aku mengenal seseorang yang hebat lima belas tahun lalu. Ia adalah seorang tukang becak bernama Pak Wrekso. Waktu itu aku masih tinggal di sebuah kampung bernama Randusari di Semarang. Usiaku seperti sebagian dari kalian, kelas 3 SD.

Pak Wrekso adalah tukang becak yang mempunyai dua anak, Marto dan Wikromo. Sebelum menjadi tukang becak, dia adalah seorang kuli bangunan. Ia beralih profesi karena merasa pekerjaan itu terlalu berat. Ia membeli sebuah becak bekas dan seringkali mangkal di depan SD-ku.

Suatu hari, aku tak dijemput ibuku karena ia mengantarkan nenekku mengambil uang pensiun. Ibu berpesan, “Rie, nanti kalau pulang sekolah, kamu naik becak saja, ya. Kamu ‘kan hapal jalan pulang.”

Sepulang sekolah, aku menumpang becak Pak Wrekso. Itulah kali pertama aku mengenalnya. Sepanjang perjalanan pulang, kami bercakap-cakap.

“Nama kamu siapa, Dik?”

“Arie Sapto, Pak. Kalau Bapak?”

“Saya Pak Wrekso. Tapi, biasa dipanggil Mas Wrekso. Kadangkala juga dipanggil Mbah Gundul. Entahlah, orang-orang menjuluki saya aneh-aneh.”

“Hehehe.... Bapak sih, potongan rambutnya pendek.”

“Iya, Bapak suka potongan pendek. Rasanya isis.*)”

Pak Wrekso mengayuh becak sangat lambat. Aku melirik ke belakang, melihat keringat yang bertetesan di tangannya. Tentulah baginya terasa gerah dan lelah mengayuh becak di kota Semarang yang panas.

“Rumah kamu di mana, Dik?”

“Di Randusari Gang I, Pak.”

“Lho, saya juga tinggal di situ, tapi di Gang III.”

“Wah, dekat sama Bergota**) ya, Pak?”

“He-eh,” sahutnya agak tersengal.

Jarak dari sekolah ke rumahku lumayan jauh. Mungkin dua setengah kilometer. Sampai di depan rumah, aku memberikan ongkos. Badannya terlihat penuh keringat, napasnya ngos-ngosan.

“Terima kasih, Mas Arie. Kapan-kapan mainlah ke rumah. Saya punya dua anak. Yang satu seusia kamu, yang satu belum sekolah,” katanya terengah-engah.

“Gang III nomor berapa, Pak?”

Twenty-one,” katanya sambil tersenyum dan mengacungkan jari menunjuk angka dua, lalu satu.

“Dua satu, ya?” tanyaku agak bingung karena waktu itu belum bisa bahasa Inggris.

Yes, of course!” katanya lagi.

“Oke,” kataku sambil tertawa.

Aku masuk ke dalam rumah. Lewat jendela kuintip Pak Wrekso yang kelelahan.

Aku bercerita tentang Pak Wrekso ke ibuku setelah ia pulang bersama nenek. Ibuku ternyata sudah kenal dengan Pak Wrekso lewat sebuah pertemuan warga setempat. “Dia itu terkenal sebagai tukang becak tergendut di Randusari, Rie. Kau tahu berat badannya berapa, 97 kg, lho!” Ibu juga bercerita kalau ibu-ibu di kampung kami suka bila menumpang becak Pak Wrekso. Dia sangat pelan mengayuh becaknya sehingga rasanya aman. Ia sangat rajin menarik becak. Waktu hari masih gelap ia sudah menarik becaknya. Ia pulang untuk makan dan istirahat sejenak setelah tengah hari. Menjelang sore hari, ia menarik becaknya lagi hingga maghrib. Ia sangat menyayangi keluarganya. Ia ramah dan baik hati. Dan, kata orang, Pak Wrekso itu berpikiran maju, walaupun ia hanyalah seorang tukang becak.

Pada suatu pagi di hari Minggu, tak sengaja aku bertemu dengan Pak Wrekso di sebuah warung ketika hendak membeli pasta gigi. Ia tampak gegabah.

“Pak, ada apa?”

“Eh, Mas Arie. Anak saya sakit, Mas!”

“Sakit apa, Pak?”

“Demam terus mencret-mencret, Mas!”

“Sudah dibawa ke dokter?”

“Belum, Mas....”

“Kenapa?”

Ia terdiam sesaat sebelum menjawab, “Tak punya uang, Mas.”

Aku menceritakan kejadian ini pada ibuku. Ibuku dan nenekku berniat menolongnya. Sore itu kami ke rumahnya, lalu bersama istri Pak Wrekso, membawa Marto, anak Pak Wrekso yang sakit, ke dokter. Mereka sangat berterima kasih karena kami telah mau membawa Marto ke dokter.

Pulang dari dokter, Pak Wrekso dan Wikromo sudah menunggu di depan rumahnya.

Are you all right, Son?” tanya Pak Wrekso

I’m okay,” jawab Marto singkat.

Aku heran melihat Pak Wrekso suka berbahasa Inggris. Ibu dan nenekku juga heran. Kami mampir sebentar di rumahnya sebelum pulang. Saat itulah Pak Wrekso bercerita kalau ia suka nonton film barat dan menirukan kata-kata yang diucapkan para aktornya. Olala....

Hari demi hari keadaan Marto membaik. Aku, Marto dan Wikromo kemudian berteman baik. Kami sering bermain bersama. Mereka juga menularkan kemampuan bahasa Inggrisnya kepadaku. Asyik juga ternyata.

Tahun demi tahun berlalu. Kami bertiga kemudian berpisah ketika aku naik kelas 3 SLTP karena pindah ke Malang, Jawa Timur. Aku dan Marto sering berkirim surat. Di surat-suratnya Marto bercerita kalau ia sering menjadi juara kelas. Adiknya, Wikromo, juga pintar. Mereka berdua mendapatkan beasiswa semasa SMU. Pak Wrekso? Ia tetap jadi tukang becak tergendut di kampungku dulu.

***

Seminggu yang lalu, kami bertemu lagi di Semarang. Kami reuni. Marto baru selesai menempuh pendidikannya di Amerika. Ia mendapatkan beasiswa untuk studi di sana. Ia menjadi dokter spesialis mata. Wikromo telah mengajar sebagai guru Bahasa Indonesia. Aku menjadi penulis cerita dan guru Sejarah pada sebuah SMU swasta di Malang. Pak Wrekso? Ia berprofesi sama denganku, sebagai penulis. Ia suka menulis cerita anak-anak. Sesekali ia juga melukis. Ia tetap tinggal di Randusari. Warga Randusari sampai sekarang masih menghormatinya karena pengabdian dan pengorbanannya untuk keluarganya.

Rambut Pak Wrekso yang selalu pendek sudah memutih semuanya. Badannya tak segemuk dulu. Ia suka jalan-jalan di pagi hari sambil membawa tongkat pembantu jalan. Bila bertemu dengannya, orang-orang di kampung kami selalu menyapa Pak Wrekso dengan pertanyaan, “How are you, Mr. Wrekso?”

Of course, I’m fine!” jawabnya penuh semangat.

 

 

Keterangan:

*) isis = sejuk bila diterpa angin

**) Bergota = pemakaman umum yang ada di tengah kota Semarang.

 

== TAMAT ==
 
© Sidik Nugroho, 2006