| 
 | 
 | 
 
  
  
 BAYI LAHIR
BULAN MEI 1998  
   
 Dengarkan itu ada bayi mengea di rumah tetangga 
 Suaranya keras, menangis berhiba-hiba 
 Begitu lahir ditating tangan bidannya 
 Belum kering darah dan air ketubannya 
 Langsung dia memikul hutang di bahunya 
 Rupiah sepuluh juta 
   
 Kalau dia jadi petani di desa 
 Dia akan mensubsidi harga beras orang kota 
 Kalau dia jadi orang kota 
 Dia akan mensubsidi bisnis pengusaha kaya 
 Kalau dia bayar pajak 
 Pajak itu mungkin jadi peluru runcing 
 Ke pangkal aortanya dibidikkan mendesing 
  
 Cobalah nasihati bayi ini dengan penataran juga 
 Mulutmu belum selesai bicara 
 Kau pasti dikencinginya. 
   
 1998  
   
   
  
  
  
 
  
  
  
  
 KALIAN
CETAK KAMI JADI BANGSA PENGEMIS,  
 LALU KALIAN
PAKSA KAMI  
 MASUK MASA
PENJAJAHAN BARU,  
 Kata Si
Toni 
  
  
   
Kami generasi yang sangat kurang rasa percaya
diri 
 Gara-gara pewarisan nilai, sangat dipaksa-tekankan 
 Kalian bersengaja menjerumuskan kami-kami 
 Sejak lahir sampai dewasa ini 
 Jadi sangat tepergantung pada budaya 
 Meminjam uang ke mancanegara 
 Sudah satu keturunan jangka waktunya 
 Hutang selalu dibayar dengan hutang baru pula 
 Lubang itu digali lubang itu juga ditimbuni 
 Lubang itu, alamak, kok makin besar jadi 
 Kalian paksa-tekankan budaya berhutang ini 
 Sehingga apa bedanya dengan mengemis lagi 
 Karena rendah diri pada bangsa-bangsa dunia 
 Kita gadaikan sikap bersahaja kita 
 Karena malu dianggap bangsa miskin tak berharta 
 Kita pinjam uang mereka membeli benda mereka 
 Harta kita mahal tak terkira, harga diri kita 
 Digantung di etalase kantor Pegadaian Dunia 
 Menekur terbungkuk kita berikan kepala kita bersama 
 Kepada Amerika, Jepang, Eropa dan Australia 
 Mereka negara multi-kolonialis dengan elegansi
ekonomi 
 Dan ramai-ramailah mereka pesta kenduri 
 Sambil kepala kita dimakan begini 
 Kita diajarinya pula tata negara dan ilmu budi
pekerti 
 Dalam upacara masuk masa penjajahan lagi 
 Penjajahnya banyak gerakannya penuh harmoni 
 Mereka mengerkah kepala kita bersama-sama 
 Menggigit dan mengunyah teratur berirama 
Sedih, sedih, tak terasa jadi bangsa merdeka lagi 
 Dicengkeram kuku negara multi-kolonialis ini 
 Bagai ikan kekurangan air dan zat asam 
 Beratus juta kita menggelepar menggelinjang 
 Kita terperangkap terjaring di jala raksasa hutang 
 Kita menjebakkan diri ke dalam krangkeng budaya 
 Meminjam kepeng ke mancanegara 
 Dari membuat peniti dua senti 
 Sampai membangun kilang gas bumi 
 Dibenarkan serangkai teori penuh sofistikasi 
 Kalian memberi contoh hidup boros berasas gengsi 
 Dan fanatisme mengimpor barang luar negeri 
 Gaya hidup imitasi, hedonistis dan materialistis 
 Kalian cetak kami jadi Bangsa Pengemis 
 Ketika menadahkan tangan serasa menjual jiwa 
 Tertancap dalam berbekas, selepas tiga dasawarsa 
 Jadilah kami generasi sangat kurang rasa percaya 
 Pada kekuatan diri sendiri dan kayanya sumber alami 
 Kalian lah yang membuat kami jadi begini 
 Sepatutnya kalian kami giring ke lapangan sepi 
 Lalu tiga puluh ribu kali, kami cambuk dengan puisi
ini 
   
  
 1998 
  
  
  
  
  
 
 
  
  
 KETIKA SEBAGAI
KAKEK DI TAHUN 2040,  
 KAU MENJAWAB
PERTANYAAN CUCUMU  
  
  
  
 Cucu kau tahu, kau menginap di DPR bulan Mei itu 
 Bersama beberapa ribu kawanmu 
 Marah, serak berteriak dan mengepalkan tinju 
 Bersama-sama membuka sejarah halaman satu 
 Lalu mengguratkan baris pertama bab yang baru 
 Seraya mencat spanduk dengan teks yang seru 
 Terpicu oleh kawan-kawan yang ditembus peluru 
 Dikejar masuk kampus, terguling di tanah berdebu 
 Dihajar dusta dan fakta dalam berita selalu 
 Sampai kini sejak kau lahir dahulu 
 Inilah pengakuan generasi kami, katamu 
 Hasil penataan dan penataran yang kaku 
 Pandangan berbeda tak pernah diaku 
 Daun-daun hijau dan langit biru, katamu 
 Daun-daun kuning dan langit kuning, kata orang-orang
itu 
 Kekayaan alam untuk bangsaku, katamu 
 Kekayaan alam untuk nafsuku, kata orang-orang itu 
 Karena tak mau nasib rakyat selalu jadi mata dadu 
 Yang diguncang-guncang genggaman orang-orang itu 
 Dan nomor yang keluar telah ditentukan lebih dulu 
 Maka kami bergeraklah kini, katamu 
 Berjalan kaki, berdiri di atap bis yang melaju 
 Kemeja basah keringat, ujian semester lupakan dulu 
 Memasang ikat kepala, mengibar-ngibarkan benderamu 
 Tanpa ada pimpinan di puncak struktur yang satu 
 Tanpa dukungan jelas dari yang memegang bedil itu 
 Sudahlah, ayo kita bergerak saja dulu 
 Kita percayakan nasib pada Yang Satu Itu. 
  
   
 1998  
   
  
  
  
  
  
  
 
  
  
 MALU (AKU)
JADI ORANG INDONESIA  
  
   
 I
  
 Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga 
 Ke Wisconsin aku dapat beasiswa 
 Sembilan belas lima enam itulah tahunnya 
 Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia 
 Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia 
 Terasa hebat merebut merdeka dari Belanda 
 Sahabatku sekelas, Thomas Stone namanya, 
 Whitefish Bay kampung asalnya 
 Kagum dia pada revolusi Indonesia 
 Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya 
 Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utama 
 Dan kecil-kecilan aku nara-sumbernya 
 Dadaku busung jadi anak Indonesia 
 Tom Stone akhirnya masuk West Point Academy 
 Dan mendapat Ph.D. dari Rice University 
 Dia sudah pensiun perwira tinggi dari U.S. Army 
 Dulu dadaku tegap bila aku berdiri 
 Mengapa sering benar aku merunduk kini 
   
   
 II 
   
 Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak 
 Hukum tak tegak, doyong berderak-derak 
 Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road,
ebuh Tun Razak, 
 Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan
Ginza 
 Berjalan aku di Dam, Champs Élysées
dan Mesopotamia 
 Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam
kacamata 
 Dan kubenamkan topi baret di kepala 
 Malu aku jadi orang Indonesia. 
  
  
 III 
   
 Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di
dunia nomor satu, 
 Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi  
 berterang-terang curang susah dicari tandingan, 
 Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan,
sepupu  
 dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek  
 secara hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu, 
 Di negeriku komisi pembelian alat-alat berat, alat-alat
ringan,  
 senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu
dan  
 peuyeum dipotong birokrasi  
 lebih separuh masuk kantung jas safari, 
 Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri,
anak jenderal,  
 anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden,  
 menteri, jenderal, sekjen dan dirjen sejati,  
 agar orangtua mereka bersenang hati, 
 Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum  
 sangat-sangat-sangat-sangat-sangat jelas  
 penipuan besar-besaran tanpa seujung rambut pun
bersalah perasaan, 
 Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku
dan  
 sandiwara yang opininya bersilang tak habis  
 dan tak utus dilarang-larang, 
 Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata  
 supaya berdiri pusat belanja modal raksasa, 
 Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah,  
 ciumlah harum aroma mereka punya jenazah,  
 sekarang saja sementara mereka kalah,  
 kelak perencana dan pembunuh itu di dasar neraka  
 oleh satpam akhirat akan diinjak dan dilunyah lumat-lumat, 
 Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia  
 dan tidak rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli,  
 kabarnya dengan sepotong SK  
 suatu hari akan masuk Bursa Efek Jakarta secara
resmi, 
 Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh
pungutan,  
 lima belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman, 
 Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan
kerja,  
 fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar, 
 Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat  
 jadi pertunjukan teror penonton antarkota  
 cuma karena sebagian sangat kecil bangsa kita  
 tak pernah bersedia menerima skor pertandingan  
 yang disetujui bersama, 
  
 Di negeriku rupanya sudah diputuskan  
 kita tak terlibat Piala Dunia demi keamanan antarbangsa,  
 lagi pula Piala Dunia itu cuma urusan negara-negara
kecil 
 karena Cina, India, Rusia dan kita tak turut serta,  
 sehingga cukuplah Indonesia jadi penonton lewat
satelit saja, 
 Di negeriku ada pembunuhan, penculikan  
 dan penyiksaan rakyat terang-terangan di Aceh,  
 Tanjung Priuk, Lampung, Haur Koneng,  
 Nipah, Santa Cruz dan Irian,  
 ada pula pembantahan terang-terangan  
 yang merupakan dusta terang-terangan  
 di bawah cahaya surya terang-terangan,  
 dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan
sebagai  
 saksi terang-terangan, 
 Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih
ada,  
 tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang  
 menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi. 
  
  
 IV 
   
 Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak 
 Hukum tak tegak, doyong berderak-derak 
 Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road,
Lebuh Tun Razak, 
 Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan
Ginza  
 Berjalan aku di Dam, Champs Élysées
dan Mesopotamia 
 Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam
kacamata 
 Dan kubenamkan topi baret di kepala 
 Malu aku jadi orang Indonesia. 
  
  
 1998  
  
  
  
   
  
  
 
  
  
 KETIKA BURUNG
MERPATI SORE MELAYANG  
   
  
 Langit akhlak telah roboh di atas negeri 
 Karena akhlak roboh, hukum tak tegak berdiri 
 Karena hukum tak tegak, semua jadi begini 
 Negeriku sesak adegan tipu-menipu 
 Bergerak ke kiri, dengan maling kebentur aku 
 Bergerak ke kanan, dengan perampok ketabrak aku 
 Bergerak ke belakang, dengan pencopet kesandung
aku 
 Bergerak ke depan, dengan penipu ketanggor aku 
 Bergerak ke atas, di kaki pemeras tergilas aku 
   
 Kapal laut bertenggelaman, kapal udara berjatuhan 
 Gempa bumi, banjir, tanah longsor dan orang kelaparan 
 Kemarau panjang, kebakaran hutan berbulan-bulan 
 Jutaan hektar jadi jerebu abu-abu berkepulan 
 Bumiku demam berat, menggigilkan air lautan 
    
 Beribu pencari nafkah dengan kapal dipulangkan 
 Penyakit kelamin meruyak tak tersembuhkan 
 Penyakit nyamuk membunuh bagai ejekan 
 Berjuta belalang menyerang lahan pertanian 
 Bumiku demam berat, menggigilkan air lautan 
   
 Lalu berceceran darah, berkepulan asap dan berkobaran
api 
 Empat syuhada melesat ke langit dari bumi Trisakti 
 Gemuruh langkah, simaklah, di seluruh negeri 
 Beribu bangunan roboh, dijarah dalam huru-hara
ini 
 Dengar jeritan beratus orang berlarian dikunyah
api 
 Mereka hangus-arang, siapa dapat mengenal lagi 
 Bumiku sakit berat, dengarlah angin menangis sendiri 
   
 Kukenangkan tahun ‘47 lama aku jalan di Ambarawa
dan Salatiga 
 Balik kujalani Clash I di Jawa, Clash II di Bukittinggi 
 Kuingat-ingat pemboman Sekutu dan Belanda seantero
negeri 
 Seluruh korban empat tahun revolusi 
 Dengan Mei ‘98 jauh beda, jauh kalah ngeri 
 Aku termangu mengenang ini 
 Bumiku sakit berat, dengarlah angin menangis sendiri 
   
 Ada burung merpati sore melayang 
 Adakah desingnya kau dengar sekarang 
 Ke daun telingaku, jari Tuhan memberi jentikan 
 Ke ulu hatiku, ngilu tertikam cobaan 
 Di aorta jantungku, musibah bersimbah darah 
 Di cabang tangkai paru-paruku, kutuk mencekik nafasku 
 Tapi apakah sah sudah, ini murkaMu? 
  
 Ada burung merpati sore melayang 
 Adakah desingnya kau dengar sekarang 
   
   
 1998  
   
   
  
  
  
 
  
 SYAIR EMPAT
KARTU DI TANGAN  
  
 
Ini bicara blak-blakan saja, bang 
 Buka kartu tampak tampang 
 Sehingga semua jelas membayang 
 Monoloyalitas kami 
 sebenarnya pada uang   
Sudahlah, ka-bukaan saja kita bicara 
 Koyak tampak terkubak semua 
 Sehingga buat apa basi dan basa 
Sila kami 
 Keuangan Yang Maha Esa  
Jangan sungkan buat apa yah-payah 
 Analisa psikis toh cuma kwasi ilmiah 
 Tak usahlah sah-susah 
Ideologiku begitu jelas 
 ideologi rupiah  
Begini kawan, bila dadaku jalani pembedahan 
 Setiap jeroan berjajar kelihatan 
 Sehingga jelas sebagai keseluruhan 
Asas tunggalku 
 memang keserakahan.  
   
 1998  
   
   
   
  
  
 
  
  
 YANG SELALU
TERAPUNG 
 DI ATAS
GELOMBANG  
  
  
 Seseorang dianggap tak bersalah, 
 sampai dia dibuktikan hukum bersalah. 
 Di negeri kami, ungkapan ini terdengar begitu indah. 
 Kini simaklah sebuah kisah, 
   
 Seorang pegawai tinggi, 
 gajinya sebulan satu setengah juta rupiah, 
 Di garasinya ada Honda metalik,Volvo hitam, 
 BMW abu-abu, Porsche biru dan Mercedes merah. 
 Anaknya sekolah di Leiden, Montpelier dan Savannah. 
 Rumahnya bertebaran di Menteng, Kebayoran dan 
 Macam Macam Indah, 
 Setiap semester ganjil, 
 isteri terangnya belanja di Hongkong dan Singapura. 
 Setiap semester genap, 
 isteri gelap liburan di Eropa dan Afrika, 
  
 Anak-anaknya pegang dua pabrik, 
 tiga apotik dan empat biro jasa. 
 Saudara sepupu dan kemenakannya 
 punya lima toko onderdil, 
 enam biro iklan dan tujuh pusat belanja, 
 Ketika rupiah anjlok terperosok, 
 kepleset macet dan hancur jadi bubur, 
 dia ketawa terbahak- bahak 
 karena depositonya dalam dolar Amerika semua. 
 Sesudah matahari dua kali tenggelam di langit barat, 
 jumlah rupiahnya melesat sepuluh kali lipat, 
  
 Krisis makin menjadi-jadi, di mana-mana orang antri, 
 maka seratus kantong plastik hitam dia bagi-bagi. 
 Isinya masing-masing lima genggam beras, 
 empat cangkir minyak goreng dan tiga bungkus mi
cepat-jadi. 
 Peristiwa murah hati ini diliput dua menit di kotak
televisi, 
 dan masuk berita koran Jakarta halaman lima pagi-pagi
sekali, 
   
 Gelombang mau datang, datanglah gelombang, 
 setiap air bah pasang dia senantiasa 
 terapung di atas banjir bandang. 
 Banyak orang tenggelam tak mampu timbul lagi, 
 lalu dia berkata begini, 
 "Yah, masing-masing kita rejekinya kan sendiri-sendiri," 
   
 Seperti bandul jam tua yang bergoyang kau lihatlah: 
 kekayaan misterius mau diperiksa, 
 kekayaan tidak jadi diperiksa, 
 kekayaan mau diperiksa, 
 kekayaan tidak diperiksa, 
 kekayaan harus diperiksa, 
 kekayaan tidak jadi diperiksa. 
 Bandul jam tua Westminster, 
 tahun empat puluh satu diproduksi, 
 capek bergoyang begini, sampai dia berhenti sendiri, 
   
 Kemudian ide baru datang lagi, 
 isi formulir harta benda sendiri, 
 harus terus terang tapi, 
 dikirimkan pagi-pagi tertutup rapi, 
 karena ini soal sangat pribadi, 
 Selepas itu suasana hening sepi lagi, 
 cuma ada bunyi burung perkutut sekali-sekali, 
 Seseorang dianggap tak bersalah, 
 sampai dia dibuktikan hukum bersalah. 
  
 Di negeri kami, ungkapan ini terdengar begitu indah. 
 Bagaimana membuktikan bersalah, 
 kalau kulit tak dapat dijamah. 
 Menyentuh tak bisa dari jauh, 
 memegang tak dapat dari dekat, 
   
 Karena ilmu kiat, 
 orde datang dan orde berangkat, 
 dia akan tetap saja selamat, 
 Kini lihat, 
 di patio rumahnya dengan arsitektur Mediterania, 
 seraya menghirup teh nasgitel 
 dia duduk menerima telepon 
 dari isterinya yang sedang tur di Venezia, 
 sesudah menilai tiga proposal, 
 dua diskusi panel dan sebuah rencana rapat kerja, 
   
 Sementara itu disimaknya lagu favorit My Way, 
 senandung lama Frank Sinatra 
 yang kemarin baru meninggal dunia, 
 ditingkah lagu burung perkutut sepuluh juta 
 dari sangkar tergantung di atas sana 
 dan tak habis-habisnya 
 di layar kaca jinggel bola Piala Dunia, 
  
 Go, go, go, ale ale ale... 
  
   
 1998  
  
   
  
  
  
 
  
  
 KEMBALIKAN
INDONESIA PADAKU 
 kepada
Kang Ilen  
  
  
 Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut
yang menganga, 
 Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15
wat, 
 sebagian berwarna putih dan sebagian hitam,  
 yang menyala bergantian, 
 Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong
siang malam  
 dengan bola  yang bentuknya seperti telur
angsa, 
 Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam  
 karena seratus juta penduduknya, 
  
 
Kembalikan  
 Indonesia 
 padaku 
 
 
Hari depan Indonesia adalah satu juta orang main pingpong
siang malam  
 dengan bola telur angsa di bawah sinar lampu 15
wat, 
 Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang pelan-pelan
tenggelam  
 lantaran berat bebannya kemudian angsa-angsa berenang-renang
di atasnya, 
 Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut
yang menganga,  
 dan di dalam mulut itu ada bola-bola lampu 15 wat,  
 sebagian putih dan sebagian hitam, yang menyala
bergantian, 
 Hari depan Indonesia adalah angsa-angsa putih yang
berenang-renang  
 sambil main pingpong di atas pulau Jawa yang tenggelam  
 dan membawa seratus juta bola lampu 15 wat ke dasar
lautan, 
  
                                       
Kembalikan 
                                        
Indonesia 
                                        
padaku 
  
 Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong
siang malam  
 dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa, 
 Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam  
 karena seratus juta penduduknya, 
 Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15
wat,  
 sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang
menyala bergantian, 
                                        
Kembalikan 
                                        
Indonesia 
                                        
padaku 
  
   
 Paris, 1971  
  
  
  
   
  
 
  
  
 BAGAIMANA
KALAU 
  
 Bagaimana kalau dulu bukan khuldi yang dimakan Adam, 
 tapi buah alpukat, 
 Bagaimana kalau bumi bukan bulat tapi segi empat, 
 Bagaimana kalau lagu Indonesia Raya kita
rubah, 
 dan kepada Koes Plus kita beri mandat, 
 Bagaimana kalau ibukota Amerika Hanoi, 
 dan ibukota Indonesia Monaco, 
 Bagaimana kalau malam nanti jam sebelas, 
 salju turun di Gunung Sahari, 
 Bagaimana kalau bisa dibuktikan bahwa Ali Murtopo,
Ali Sadikin 
 dan Ali Wardhana ternyata pengarang-pengarang lagu
pop, 
 Bagaimana kalau hutang-hutang Indonesia 
 dibayar dengan pementasan Rendra, 
 Bagaimana kalau segala yang kita angankan terjadi, 
 dan segala yang terjadi pernah kita rancangkan, 
 Bagaimana kalau akustik dunia jadi sedemikian sempurnanya
sehingga di 
 kamar tidur kau dengar deru bom Vietnam, gemersik
sejuta kaki 
 pengungsi, gemuruh banjir dan gempa bumi sera suara-suara 
 percintaan anak muda, juga bunyi industri presisi
dan 
 margasatwa Afrika, 
 Bagaimana kalau pemerintah diizinkan protes dan
rakyat kecil 
 mempertimbangkan protes itu, 
 Bagaimana kalau kesenian dihentikan saja sampai
di sini dan kita 
 pelihara ternak sebagai pengganti 
 Bagaimana kalau sampai waktunya  
 kita tidak perlu bertanya bagaimana lagi. 
  
 1971 
   
  
  
  
  
 
  
  
 KITA ADALAH 
 PEMILIK
SAH REPUBLIK INI 
   
  
 Tidak ada pilihan lain 
 Kita harus 
 Berjalan terus 
 Karena berhenti atau mundur 
 Berarti hancur 
 Apakah akan kita jual keyakinan kita 
 Dalam pengabdian tanpa harga 
 Akan maukah kita duduk satu meja 
 Dengan para pembunuh tahun yang lalu 
 Dalam setiap kalimat yang berakhiran 
 "Duli Tuanku ?" 
   
 Tidak ada lagi pilihan lain 
 Kita harus  
 Berjalan terus  
 Kita adalah manusia bermata sayu, yang di tepi
jalan  
 Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh  
 Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara  
 Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama  
 Dan bertanya-tanya inikah yang namanya merdeka  
 Kita yang tidak punya kepentingan dengan seribu
slogan  
 Dan seribu pengeras suara yang hampa suara  
 Tidak ada lagi pilihan lain  
 Kita harus  
 Berjalan terus.  
 1966   
   
 diambil
dari buku Tirani dan Benteng  
 (Yayasan
Ananda, Jakarta, 1993, halaman 113)   
   
  
  
  
  
 
  
  
 DOA  
   
  
 Tuhan kami 
 Telah nista kami dalam dosa bersama 
 Bertahun membangun kultus ini 
 Dalam pikiran yang ganda 
 Dan menutupi hati nurani 
  
 Ampunilah kami 
 Ampunilah 
 Amin  
   
 Tuhan kami 
 Telah terlalu mudah kami 
 Menggunakan asmaMu 
 Bertahun di negeri ini 
 Semoga 
 Kau rela menerima kembali 
 Kami dalam barisanMu 
   
   
 Ampunilah kami 
 Ampunilah 
 Amin. 
  
 1966  
  
   
  
   
 
  
 PRESIDEN
BOLEH PERGI  
 PRESIDEN
BOLEH DATANG  
  
   
 Sebuah orde tenggelam  
 sebuah orde timbul  
 tapi selalu saja ada suatu lapisan masyarakat di
atas gelombang itu selamat  
 Mereka tidak mengalami guncangan yang berat  
 Yang selalu terapung di atas gelombang  
 Seseorang dianggap tak bersalah sampai dia dibuktikan
hukum bersalah  
 Di negeri kami ungkapan ini begitu indah  
 Kini simaklah sebuah kisah  
 Seorang pegawai tinggi gajinya satu setengah juta
rupiah  
 Di garasinya ada Volvo hitam, BMW abu-abu,  
 Honda metalik, dan Mercedes merah  
 Anaknya sekolah di Leiden, Montpellier dan Savana  
 Rumahnya bertebaran di Menteng, Kebayoran dan macam-macam
indah  
 Setiap semester ganjil istri terangnya belanja
di Hongkong dan Singapura  
 Setiap semester genap istri gelapnya liburan di
Eropa dan Afrika  
 Anak-anaknya ....  
 Anak-anaknya pegang dua pabrik, tiga apotik dan
empat biro jasa  
 Selain sepupu dan kemenakannya buka lima toko onderdil,  
 lima biro iklan, dan empat pusat belanja.  
 Ketika rupiah anjlok terperosok, kepeleset macet
dan hancur jadi bubur,  
 dia, hah!  
 dia ketawa terbahak-bahak karena depositonya dolar
Amerika semua  
 Sesudah matahari dua kali tenggelam di langit Barat,  
 jumlah rupiahnya melesat sepuluh kali lipat  
 Krisis makin menjadi-jadi  
 Di mana-mana orang antri  
 Maka 100 kotak kantong plastik hitam dia bagi-bagi  
 Isinya masing-masing:  
 Lima genggam beras, empat cangkir minyak goreng,  
 dan tiga bungkus mie cepat jadi.  
 Peristiwa murah hati ini diliput dua menit di kotak
televisi  
 dan masuk koran halaman lima pagi sekali  
 Gelombang mau datang,  
 Datang lagi gelombang setiap bah air pasang  
 Dia senantiasa terapung di atas banjir bandang  
 Banyak orang tenggelam toh mampu timbul lagi  
 lalu ia berkata sambil berdiri:  
 Yaaa... masing-masing kita kan punya sejeki sendiri-sendiri  
 Seperti bandul jam bergoyang-goyang kekayaan misterius
mau diperiksa  
 Kekayaan... tidak jadi diperiksa  
 Kakayaan... mau diperiksa  
 Kekayaan... tidak jadi diperiksa  
 Kekayaan... mau diperiksa  
 Kekayaan... tidak jadi diperiksa  
 Kekayaan... harus diperiksa  
 Kekayaan... tidak jadi diperiksa  
 (Dibacakan
di beberapa pentas baca puisi di Jakarta)   
  
  
     | 
 | 
 | 
 | 
 | 
 | 
 |