[INDONESIA-VIEW] Republika -- Trilogi Budaya Politik Orde Baru 

check@bimamail.com
Tue, 16 Jun 1998



 
                        Republika Online, Selasa 16 Juni 1998

                        Trilogi Budaya Politik Orde Baru

                        Oleh Mochtar Naim
                        Guru Besar Sastra
                        Universitas Andalas Padang

                        L'histoire se repete! Sejarah itu berulang, kata para ahli. Dan sejarah
                        memiliki pola dan hukum sendiri. Apa yang direbut dengan kekerasan
                        akan juga direbut kembali dengan kekerasan. Demikianlah, hal luar biasa
                        yang terjadi dalam pergantian kekuasaan dari Soeharto ke BJ Habibie
                        tempo hari, dan dari Soekarno ke Soeharto sebelumnya, adalah justeru
                        yang biasa terjadi dalam sejarah politik di Indonesia ini.

                        Mata rantai sejarah suksesi yang rentangannya sudah panjang ke
                        belakang itu hanya terputus selama masa singkat di awal kemerdekaan,
                        yaitu dari Proklamasi di tahun 1945 ke Dekrit Presiden ditahun 1959.
                        Masa singkat selama 14 tahun di zaman merdeka dengan sistem
                        demokrasi liberal-parlementer itu adalah sebuah kekecualian sejarah yang
                        di zaman Orde Lama dan Orde Baru lazim disebut sebagai ''penyimpangan
                        sejarah.'' Yang biasa adalah yang luar biasa itu, yakni pergantian
                        kekuasaan berjalan secara meletup-letup, melalui pergolakan, perebutan
                        kekuasaan dengan kekerasan, perang dan tak sunyi dari intrik-intrik
                        istana.

                        Dunia terbagi dua

                        Dari segi anutan ideologi politik, dunia ini sebenarnya bisa dibagi dua
                        saja: Demokratik dan otokratik-totaliter. Suksesi dalam ideologi
                        demokratik biasanya berjalan lancar dan teratur, sementara dalam
                        otokratik-totaliter berjalan tersentak-sentak melalui perebutan kekuasaan,
                        yang biasanya berakhir dengan tragedi. Yang demokratik -- seperti yang
                        berlaku di Amerika, Eropa, dan negara-negara demokrasi lainnya -- bisa
                        bertahan sampai ratusan tahun tanpa terjadi perebutan kekuasaan dan
                        tragedi. Yang otokratik-totaliter -- seperti di negara-negara komunis tirai
                        besi di Rusia dan Eropa Timur lainnya, RRC, di beberapa negara di Afrika
                        dan Amerika Latin -- yang terjadi adalah letupan-letupan itu dan
                        pemerintahnya rata-rata berumur singkat, seumur rezim yang berkuasa itu
                        sendiri.

                        Bangsa kita kelihatannya justeru tergolong kepada yang kedua, bukan
                        yang pertama. Atau jika dihaluskan, kita di zaman post-kemerdekaan ini
                        menginginkan yang pertama, tetapi mempraktikkan yang kedua. Jadilah
                        kita ini menjadi manusia skizofrenik dengan kebudayaan yang juga
                        skizofrenik: Jiwa terbelah. Kaki yang satu seolah-olah berada di dunia
                        baru yang moderen dan demokratis, sementara kaki yang lain masih
                        tertinggal di dunia lama yang feodal dan paternalistik.

                        Jelas bahwa cita-cita kemerdekaan yang dituangkan dalam Mukaddimah
                        dan dalam fasal-fasal UUD 1945 adalah sebuah keinginan yang diimpikan
                        oleh para pendiri republik ini. Mereka menginginkan sebuah negara
                        merdeka berbentuk republik, seperti di negara-negara maju di Barat yang
                        mereka baca dari buku-buku itu, tempat kedaulatan ada di tangan rakyat
                        dan semua diatur secara demokratis, terbuka, berkeadilan, dan
                        menempatkan hukum di atas semua kepentingan.

                        Tetapi percobaan pertama ke arah itu dinyatakan sebagai sebuah
                        kegagalan, bahkan dikatakan segala ''penyimpangan sejarah''. Dikatakan,
                        demokrasi liberal-parlementer ala Barat tidak cocok dengan kepribadian
                        Indonesia. Maka lahirlah ''Demokrasi Terpimpin'' di zaman Orde Lama dan
                        ''Demokrasi Pancasila'' di zaman Orde Baru kemarin ini. Kedua tipe
                        demokrasi ini sebenarnya setali tiga uang, yang satu kelanjutan dari
                        yang lainnya, dan yang keduanya mengimpikan kembali kepada
                        kepribadian Indonesia yang dikatakan sebagai berkebudayaan tinggi itu.
                        Namun isinya tidak lain adalah neofeodalisme -- sama seperti yang
                        dipraktikkan oleh nenek-moyang kita di zaman Majapahit dan Mataram
                        dan di kerajaan-kerajaan feodal-obsolut lainnya di Nusantara ini.

                        Tak mengenal demokrasi

                        Isi yang sesungguhnya adalah bahwa kita dengan kebudayaan dan
                        kepribadian kita itu tidak pernah mengenal apa yang namanya demokrasi
                        itu. Kecuali masyarakat-masyarakat tribal bersuku-suku yang relatif
                        masih terbelakang dan hidup bersahaja di pedalaman Sumatera,
                        Kalimantan, dan pulau-pulau lainnya, yang hidup berkelompok dan
                        mempraktikkan ajaran demokrasi asli (''ur-demokrasi''), rata-rata
                        masyarakat Indonesia di mana pun adalah feodal dengan kekuasaan
                        absolut ada di tangan raja.

                        Variasinya, paling-paling, di kutub yang satu berorientasi sentrifugal,
                        sementara di kutub yang lain sentripetal. Artinya, raja-raja di luar Jawa
                        umumnya memerintah untuk rakyatnya, sementara raja-raja di Jawa
                        memerintah untuk dirinya. Di Jawa, dengan pola Majapahit dan
                        Mataramnya itu, raja (ratu) tidak hanya memiliki tanah tetapi seluruh
                        yang ada di atas tanah itu, termasuk rakyatnya. Mereka diperlakukan
                        sebagai para kawula -- hak milik raja inilah yang menggarap tanah yang
                        ditempatinya untuk rajanya.

                        Kekuasaan raja yang absolut dan sekaligus despotik inilah yang menjadi
                        acuran dari cara berfikir Soekarno dan Soeharto ini. Mereka
                        menempatkan diri sebagai titisan raja Jawa dengan pola
                        Majapahit-Mataram yang sekarang memerintah seluruh Indonesia
                        dengan impian Palapa.

                        Sebuah kekuasaan yang absolut menempatkan semua simpul kekuasaan
                        di tangan raja itu sendiri. Yang lain-lain di bawahnya mengerjakan apa
                        saja untuk sang raja dan kebesarannya. Di tangannya, berhimpun semua
                        kekuasaan: Politik, militer, dan ekonomi. Sebuah pengawal istana,
                        karenanya harus kuat dengan sistem pertahanan berlapis-lapis dan siaga
                        penuh, dan dengan komandan yang telah teruji melalu proses skrining
                        yang ketat sebagai ajudan pribadi.

                        Trilogi budaya

                        Kekuasaan raja yang absolut hanya mungkin terwujud jika di tangannya
                        berhimpun ketiga kekuasaan -- politik, militer, dan ekonomi itu. Triloginya
                        adalah: ''feodalisme,'' ''militerisme'', dan ''kapitalisme.''

                        Neofeodalisme yang diciptakan oleh Soekarno dan Soeharto kemarin ini
                        benar-benar telah menempatkan dirinya sebagai raja yang absolut, segala
                        hal tergantung di tangannya.

                        Feodalisme memerlukan perangkat pemerintahan yang tersentralisasi
                        secara sentripetal, yang diatur secara hirarkis dan vertikal, dari atas
                        sampai ke bawah. Para pegawai dan punggawa adalah abdi negara, yang
                        sebenarnya adalah abdi raja. Yang ditekankan adalah pengabdian dan
                        kepatuhan kepada atasan. Abdi raja boleh memberikan saran, tetapi
                        keputusan akhir tetap di tangan raja.

                        Musyawarah dilakukan bukan untuk tujuan penentuan kebijaksanaan
                        untuk dimufakati secara bersama-sama, tapi untuk menghimpun
                        pemikiran yang diteruskan kepada raja, dan rajalah yang mengambil
                        keputusan itu. Raja sendiri tidak terikat kepada hasil musyawarah para
                        abdi. Hasil musyawarah hanyalah input, bahan masukan, sementara yang
                        dimusyawarahkan biasanya adalah aspek teknis-operasionalnya, bukan
                        hal-hal yang mendasar yang bersifat prinsip.

                        Militerisme menjadi keharusan karena feodalisme tidak akan jalan tanpa
                        militerisme. Yang dihadapi bukan hanya musuh-musuh yang datang dari
                        luar, tetapi tidak kurangnya juga yang dari dalam sendiri. Mulut-mulut
                        yang ditutup, kebebasan yang dikekang, dan sistem informasi yang
                        dikendalikan, tidak akan mungkin efektif kalau tidak dengan kekuatan
                        militer.

                        Jika dalam sistem liberal-demokrasi para hulubalang hanya berkeliaran di
                        sekitar kampung untuk menjaga keamanan kampung, dalam sistem
                        neofeodalisme -- seperti yang dipraktikkan selama masa Orde Lama dan
                        Orde Baru kemarin ini -- hulubalang itu betul-betul telah naik ke
                        balairung. Mereka tak hanya ikut rapat bersama dengan ninik-mamak,
                        alim ulama, dan cerdik pandai dalam negeri, tetapi malah yang mengatur
                        dan mendiktekan kemauannya. Untuk itu, mereka diberi jatah kursi tanpa
                        pemilu yang porsinya jauh melebihi jumlah mereka sendiri di angkatan.

                        Mereka juga masuk ke bidang-bidang eksekutif dan yudikatif, dari atas
                        sampai ke bawah, dan merebut posisi-posisi penting di hampir semua
                        bidang. Yang dipilih biasanya juga posisi-posisi strategis, Dan mereka,
                        dalam memasuki dan menjabat posisi-posisi penting di pemerintahan, di
                        korps diplomatik, di legislatif, di yudikatif, dan di badan-badan usaha
                        milik negara, tidak hanya sebagai warga negara seperti yang lain-lainnya,
                        tetapi sebagai angkatan bersenjata dan atas nama angkatan. Mereka
                        sekaligus mengemban misi angkatan.

                        Kapitalisme

                        Feodalisme dan militerisme juga tak akan efektif kalau kekuasaan
                        ekonomi tidak di tangan yang berkuasa. Sistem yang terbaik adalah yang
                        akan memberikan keuntungan maksimal bagi kelangsungan kekuasaan
                        itu. Pilihannya sudah barang tentu adalah kapitalisme, bukan sosialisme
                        atau pun koperasi -- yang berorientasi kerakyatan dan pemerataan. Para
                        kapitais luar negeri maupun dalam negeri sendiri jauh lebih menyukai
                        berhubungan dengan pemegang kekuasaan yang otoriter-absolut
                        daripada berhubungan dengan pemerintahan yang demokratis.

                        Berhubungan dengan seorang penguasa otokratik jauh lebih mudah asal
                        mereka juga diikutsertakan, dan diberi jatah saham dan keuntungan
                        tertentu. Sementara berhubungan dengan pemerintahan yang demokratik
                        banyak liku-likunya, dan harus transparan dengan disetuji oleh wakil
                        rakyat di parlemen terlebih dahulu. Praktik-praktik KKN (kolusi, korupsi,
                        dan nepotisme), oleh karena itu bukanlah barang baru, tetapi setua umur
                        sistem feodalisme itu sendiri. Di mana ada feodalisme, di sana ada
                        praktik-praktik KKN itu.

                        Penguasa-penguasa pribumi di Indonesia ini rata-rata adalah penganut
                        paham Hindu lama yang melihat kegiatan dagang dan ekonomi sebagai
                        kasar dan tak pantas mereka lakukan. Kegiatan dagang dan ekonomi
                        yang sering mereka asosiasikan sebagai kegiatan maling dan mencuri
                        (sama seperti orang Yunani yang memperlakukan Dewa Merkuri sebagai
                        dewa pedagang dan pencuri), mereka serahkan kepada pendatang yang
                        bukan pribumi.

                        Dari sanalah berperannya orang Cina, Arab, dan orang Gujarat di
                        masa-masa silam, yang berlanjut sampai ke masa ini. Para pedagang
                        pendatang inilah yang lalu mengerjakan semua urusan bisnis istana, dari
                        mengekspor hasil-hasil dalam negeri, mengimpor barang-barang
                        keperluan dari luar negeri, dan melakukan kegiatan produksi dan
                        manufaktur, sampai ke penyaluran distribusi, dari hulu sampai ke hilir,
                        dari yang partai besar sampai ke toko-toko dan warung-warung kecil
                        sekalipun di pasar-pasar di kota-kota sampai ke desa-desa di seantero
                        negeri.

                        Kendatipun jumlah mereka relatif sangat kecil (tidak sampai tiga persen
                        dari jumlah penduduk), mereka menguasai semua jalur produksi dan
                        distribusi barang-barang di seluruh kerajaan Nusantara ini. Di tangan
                        mereka terpegang ekonomi Indonesia ini dengan bekerja sama dengan
                        para kapitalis luar negeri dan dengan penguasa tunggal di negeri ini
                        beserta para kroninya.

                        Dan ini hanya mungkin karena adanya trilogi kekuasaan itu. Jika trilogi
                        ini tidak lagi dikehendaki, mengubahnya tidak lain adalah dengan
                        melenyapkannya. Lenyapkan feodalisme, militerisme, dan kapitalisme --
                        yang saling berkawan dan tunjang menunjang itu, dan ganti dengan
                        yang serasi dengan tuntutan konstitusional, UUD 1945. Ke sinilah
                        mestinya arah dari perjuangan Orde Reformasi sekarang ini: Bukan
                        feodalisme, tetapi demokrasi. Bukan militerisme, tetapi civil society.
                        Bukan kapitalisme, tetapi ekonomi koperasi -- untuk sebesar-besarnya
                        kepentingan dan kemakmuran rakyat banyak. ?