As of 15 June 1998
Munas Luar Biasa Golkar akan diselenggarakan awal Juli mendatang.
Namun hendaknya, Munas tersebut dipakai oleh Golkar untuk "secara arif
dan bijaksana" membubarkan diri, dan sama sekali bukan untuk repot-repot
berganti baju menjadi 'pejuang reformasi'. Bahkan kalau memang ada
sekelumit saja niat dan aspirasi Golkar untuk mendukung dan
memperjuangkan reformasi guna menegakkan sistem politik yang demokratis
di tanah air tercinta ini, tindakan 'self-termination' akan jauh lebih
bernilai bagi bangsa ini. Golkar, yang spesialisasinya selama ini cuma
'ass-kissing' dan 'dirty politicking', tidak usah berlagak pahlawan
segala macam. Partai seperti itu (walaupun tiga kali sehari bercuap-cuap
bukan merupakan partai) pada akhirnya memang akan hancur sendiri,
seperti disinyalir oleh Amin Rais.
Orde Baru era Soeharto, yakni tatanan
politik dalam alam ketakutan
(climate of fear), bisa bertahan demikian lama antara lain karena
adanya
Golkar, dan tentunya ABRI. Golkar dan ABRI setali tiga uang
saja,
merupakan alat Soeharto, untuk memaksimalkan kekuasaan dan menjadikan
dirinya pusat kekuasaan. Golkar khususnya (soal ABRI dibahas
secara
terpisah) tidak memiliki harga diri. Tindakan politiknya licik
dan
machiavellianis, walaupun selalu bercuap-cuap mendahulukan
kepetingan
bangsa di atas kepentingan individu dan golongan. Golkar adalah
simbol
pendusta Orde Baru yang tidak tahu malu dan ajang bagi para
penjilat.
(Contoh terbaik adalah Harmoko! Tapi penjilat tentu saja petualang
yang
tidak setia!) Organisasi-organisasi massa di dalamnya pun sama
saja,
mulai dari MKGR, Kosgoro dan segala macam organisasi kempemudaannya.
Jelas sangat menjijikkan kalau sekarang, seperti Kosgoro, MKGR,
bahkan
Pemuda Pancasila (yang baru lalu hampir clash dengan mahasiswa),
bicara
sampai berbusa sebagai pendukung reformasi. (Pendukung reformasi
mbahmu!) Belum lama lalu, seiring seirama dengan host-nya, Golkar,
sibuk
menyatakan kebulatan tekad. Bahkan untuk seminar kecil sekalipun,
yang
semula berkesan ilmiah, begitu selesai, kesimpulannya adalah
"kebulatan
tekad mendukung dia dia lagi". Tanda tangan para peserta dicatut
dan
secara arbitrer dinyatakan pendukung tekad tersebut. Ini cuma
contoh
ringan (ringan banget!) Manipulasi pemilu, mulai dari praktek
kartu
kendali dalam birokrasi sampai pemalsuan lainnya, adalah contoh-contoh
yang sudah muak kita membacanya.
Golkar memang tidak layak menjadi
salah satu partai dalam orde
demokratis bangsa ini, sekalipun kalau golkar mencat diri habis-habisan.
Memang Golkar memiliki infrastruktur paling kuat di negara ini,
namun
semua itu dibangun bukan karena dukungan riil, melainkan kepalsuan.
Jadi
janganlah banyak berharap bahwa dukungan akan sama! Banyaknya
golongan/tokoh yang menyeberang ke golkar bukan karena aspirasi
murni
dan jujur, melainkan karena mereka menyadari bahwa dalam alam
Orde Baru
Soeharto yang baru saja runtuh, bermain diluar sama sekali tidak
menguntungkan, sekalipun untuk kepentingan masyarakat. Sudah
cerita kuno
bahwa untuk memperbaiki jalan desa pun, atau masuknya PLN, haruslah
dengan cara mendukung Golkar. Di masa sekarang ini, ketika Golkar
tidak
didukung langsung oleh kekuasan yang mencekam seperti sebelumnya,
adalah
wajar para pendukung semu tersebut, termasuk dalam birokrasi,
hengkang
dengan lapang dada, bahkan bersyukur.
Memang dalam tubuh yang buruk
sekalipun, pasti ada unsur baiknya,
walau sedikit. Dalam tubuh Golkar juga terdapat figur-figur
yang dengan
sadar masuk untuk mengubah partai itu dari dalam, mengurangi
tipu daya
dan kemunafikannya. Ekky Syachrudin termasuk? Melalui tulisan
ini, saya
menghimbau kepada para pro-reformasi yang jujur di dalam tubuh
Golkar
dan segala macam anak oraganisatorisnya untuk mendesak pembubaran
diri
partai ini. Momen Munas awal Juli ini dapat dipakai sebagai
peluang
untuk itu. Mengapa hal tersebut mendesak, tidak lain karena
secara ideal
kita menginginkan Indonesia yang baru, yang demokratis dan dibangun
dalam tatanan budaya politik yang 'benevolent', di mana Golkar
secara
historis tidak layak sama sekali ikut berperan di dalamnya.
Di samping
itu, seperti akhir-akhir ini banyak disinyalir bahwa 'invisible
hands'
Soeharto, yang menurut William Liddle akan balas dendam, melalui
Golkar,
akan memanfaatkan status dirinya selaku Ketua Dewan Pembina
untuk
mengkonsolidasi pengaruhnya dan mengembalikan tatanan masa keemasannya
yang lalu. Mungkin tidakan akan bisa sama, namun intinya Soeharto
memang
sudah bermain kembali, dan itu jelas. Strateginya yang biasa,
yang jago
pecah belah dan bermain diam-diam, sudah mulai terbaca kembali.
Sudah
banyak analisis yang mengatakan bahwa pendongkelan Harmoko adalah
bagian
dari paket balas dendam Soeharto melalui loyalisnya dalam Golkar.
Proses reformasi yang kita jalani
masih terlalu jauh dari sasaran
membangun sistem politik yang demokratis. Yang ada sekarang
cuma
bunga-bunga awal yang tiap waktu bisa berguguran kembali. Apa
yang kita
tangkap dari pergantian mendadak Jakgung Soedjono dengan perwira
militer, Mayjen TNI A.M. Ghalib, SH (yang tidak akan independen
dari
Wiranto, mantan ajudan Soeharto yang berulangkali menegaskan
sikap ABRI)
tidak lebih dari penayangan gaya politik lama, by proxy, yang
menegaskan
pengaruh Soeharto. Tampaknya set-back terjadi, prospek peninjauan
harta
Soeharto dan keluarga agar dialihkan ke negara sebagai dana
mengatasi
krisis (kalau mungkin, menggantikan bantuan IMF) bisa buyar
lagi. Apa
mungkin penggantian mendadak itu, yang terkesan sombong dan
a la Orde
Soeharto, akan membawa angin segar? Saya pesimis, namun moga-moga
saya
salah!
Sebagai penutup, jika benar ada para
pendukung reformasi yang
'genuine' dalam Golkar, segeralah dorong agar partai munafik
tersebut
membubarkan diri, bukan dengan memasang topeng lain Dewa Janus,
wajah
baiknya. Kalau dapat, sebelum bubar desak agar Golkar menyatakan
permintaan maaf terbuka kepada rakyat atas segala dosa politiknya
menopang 32 tahun rezim represif Soeharto. Bagi saudara-sadara
tersebut,
yang memang tulus mendukung perubahan positif bangsa ini, dapat
bergabung dengan yang lain atau membangun partai sendiri, dengan
tekad
untuk bermain 'fair' dan seutuhnya demi bangsa ini.