Partai SARA, Harap Minggir
UU Politik: Rancangan undang-undang bidang politik versi
pemerintah selesai dibahas. Partai mesti terbuka, dan pemilu
memakai gabungan sistem distrik-proporsional.
Undang-undang politik memang dibuat untuk menguntungkan
Golkar. Tak heran jika dalam enam pemilu partai penguasa ini
selalu menang mutlak, dan menempatkan partai-partai lainnya
pada posisi paria. Tapi supremasi itu mungkin akan menjadi
kenangan jika tiga rancangan undang-undang politik yang
dibuat tim pengkajian disetujui DPR. Ketiga RUU itu memang
menempatkan partai-partai berdiri sama tinggi, duduk sama
rendah.
Draf pertama rumusan tim yang diketuai Prof. Ryaas Rasyid itu
sudah diserahkan ke Departemen Dalam Negeri. "Kami
targetkan selesai bulan Juli ini. Sedangkan Agustus, menteri
dalam negeri menyerahkan hasil final kepada Presiden B.J.
Habibie," ujar Ryaas, yang juga rektor Institut Ilmu
Pemerintahan (IIP), Jakarta. Draf yang terdiri dari tiga
rancangan itu mencakup bidang pemilu, kepartaian, dan
susunan serta kedudukan anggota DPR/MPR.
Ada sejumlah perbedaan mendasar dari UU politik lama. Di
bidang pemilu, misalnya. Selama ini penyelenggaranya adalah
presiden yang membentuk Lembaga Pemilihan Umum (LPU)
yang diketuai menteri dalam negeri. Kelak, LPU akan
dijadikan lembaga yang independen dengan menyertakan
unsur partai politik dan wakil masyarakat. Meski dalam
pengelolaannya lembaga ini didominasi pegawai negeri,
mereka tidak boleh berafiliasi atau menjadi pengurus partai
tertentu. Jika mereka jadi pengurus partai, maka harus
mengundurkan diri sebagai pegawai negeri. "Kita
menginginkan pemilu yang betul-betul terwarnai semua
golongan sehingga bersih dan tidak muncul tuduhan-tuduhan,"
ujar Dunidja, dirjen Sosial Politik Departemen Dalam Negeri,
yang menjadi ketua tim pengkaji di departemen itu. Tim ini
akan menjadi penyelaras dari hasil "Tim Ryas". Tapi, rumusan
bidang ini masih diberi catatan Zarkasih Noer, ketua FPP
DPR. "Kami menghendaki organisasi peserta pemilu yang
menjadi penyelenggara, sedangkan pemerintah hanya sebagai
fasilitator," ujarnya.
Yang lebih penting lagi, asas pemilu yang dipakai tidak hanya
"luber" (langsung, umum, bebas, rahasia) tetapi juga ditambah
dengan "jurdil" (jujur dan adil). Sistem yang akan dipakai pun
tidak lagi proporsional, tetapi gabungan antara sistem lama
dengan sistem distrik. Rumusan ini, seaspirasi dengan iklim
yang berkembang. FPP dan FPDI pun bisa menyetujuinya.
"Jadi, yang dipilih tidak lagi tanda gambar, tetapi orang," kata
Ketua FPDI Budi Hardjono.
Rancangan di bidang kepartaian memang memberikan
kebebasan untuk membentuk partai-partai baru. Hanya saja,
ada pembatasan. Umpamanya, selain harus terdaftar,
berasaskan Pancasila, sifat keanggotaannya terbuka untuk
semua WNI dan tanpa membedakan suku, agama, ras, dan
antargolongan (SARA). Bila rancangan ini disetujui,
tampaknya menjadi pukulan berat bagi partai-partai yang
sekarang baru terbentuk. Setidaknya, ada 32 partai baru dan
tidak sedikit yang punya garis politik berdasarkan agama.
Bahkan, ada dua partai yang khusus untuk warga keturunan
Tionghoa. "Bila berbau SARA, dikhawatirkan akan terjadi
disintegrasi. Itu saya kira yang menonjol," kata Dunidja.
Rancangan ini sangat berbeda dengan Malaysia yang
membolehkan partai yang khusus untuk warga keturunan Cina,
India, atau bahkan ras Dayak di Serawak. Buktinya,
perkembangan demokrasi di negeri jiran itu banyak mendapat
pujian, dan tidak ada ancaman disintegrasi.
Syarat lainnya, partai politik minimal harus memiliki 14
pengurus di tingkat provinsi dan setengahnya di tingkat
kabupaten yang ada di suatu provinsi. Tampaknya, ini untuk
menghindari partai "papan nama", yakni kekuatan politik yang
sekadar nama saja tapi tidak ada keanggotaan. PDI dan PPP
menambahkan, bila tidak mendapat jumlah minimal (FPDI
mengusulkan 2,5% dan FPP 10% dari kursi di DPR), partai
tersebut harus bergabung dengan partai lainnya. "Biarlah nanti
akan terseleksi secara alami," ujar Dunidja. "Bisa jadi karena
tidak mendapat suara, mereka koalisi," ujar Menteri Dalam
Negeri Syarwan Hamid.
Di bidang susunan dan kedudukan anggota MPR/DPR, ada
beberapa perubahan. Jumlah anggota DPR tetap 500, tetap
450 yang dipilih sedangkan 50 diangkat mewakili ABRI. PDI
setuju. Tapi PPP keberatan: mereka mengusulkan 27 orang
untuk menggambarkan perwakilan jumlah provinsi. ABRI pun
agaknya akan menyepakati dengan pengurangan 25
anggotanya di DPR. Selain itu, jumlah anggota MPR pun tak
sebanyak sekarang, hanya 750 anggota. Utusan daerah selain
dipilih DPRD (bukan ditunjuk presiden) lima orang, jumlahnya
sama setiap provinsi. Jumlah total 115 anggota. Selebihnya,
akan diisi oleh wakil golongan yang berasal dari kelompok
masyarakat yang tidak terwakili di dalam DPR. Antara lain,
pegawai negeri sipil, kelompok perempuan, dan beberapa
kelompok lain. Batasan golongan ini mungkin akan menjadi
perdebatan. "Tentu nanti ada tanggapan-tanggapan," kata
Dunidja.
Menurut Syarwan Hamid, konsep ini direncanakan disetujui
DPR pada Desember nanti. Dengan ketiga undang-undang
yang baru ini, pemilu akan diselenggarakan pada Mei 1999.
Siapa yang bakal menang? Mungkin tidak terlalu penting bagi
kita. Sebab, bukankah yang utama pemilu harus berlangsung
luber dan jurdil, tidak curang, dan bebas dari intimidasi?
Pracoyo Wiryoutomo
Laporan: Rifwan Hendri dan Agung Y. Achmad