http://www.panjimas.co.id
Panjimas: Bob Menguras Brankas BUN
Rekayasa Fasilitas: Kredit BUN sebagian besar jatuh ke tangan pemiliknya,
Bob Hasan dan
Kaharuddin Ongko. Mereka sukses mengakali aturan pemerintah soal batas
maksimum
pemberian kredit.
Pemegang saham Bank Umum Nasional (BUN) pantas berduka. Pada tutup buku
Desember
silam, mereka bukannya mendapat untung, eh malah buntung. Bukan dividen
yang mereka
terima, malah harus menanggung rugi. Kalau dihitung, setiap lembar
saham yang mereka miliki,
kerugian yang harus mereka tanggung adalah Rp13.968. Jadi, kalau punya
satu lot saham (500
lembar), maka investor harus menutup kerugian hampir Rp7 juta. Nah,
Bob Hasan sendiri
sebagai pemegang saham 40,08% harus nomboki paling kurang Rp1,7 triliun!
Kalau sekadar nomboki sebesar itu, agaknya kecil bagi pengusaha sekaliber
Bob. Sebab,
sebelumnya, ia telah menyedot dana dari bank yang dimilikinya itu,
yang kalau dihitung
dengan kurs Rp10.000 nilainya tak kurang dari Rp4,8 triliun. Itu berasal
dari fasilitas dalam
rupiah sekitar Rp1,7 triliun dan dalam dolar US$319 juta. Ulah Bob
menguras bank untuk
kepentingan kelompok sendiri inilah justru yang membuat banknya kolaps.
Ia sukses
mengakali aturan bahwa bank hanya dibolehkan menyalurkan kredit paling
banyak 20%
kepada grupnya sendiri. Aturan ini lazim disebut BMPK (batas maksimum
pemberian kredit).
Langkah yang ditempuh Bob sebenarnya tidak luar biasa. Malah, boleh
dibilang biasa di
kalangan pemilik bank yang berniat curang, yakni lewat langkah yang
disebut back to back.
Jadi, Bob tidak mengambil dana secara langsung dari bank melainkan
melalui kongkalikong
dengan pihak ketiga, terutama perbankan dan fund management, yang ujung-ujungnya
dana
di brankas banknya juga yang tersedot.
Berita adanya pelanggaran BMPK di BUN telah mencuat sejak bank itu masuk
ke pelukan
BPPN, April silam. Ketika itu disebut-sebut duet pemilik BUN, Bob dan
Kaharuddin Ongko,
mendapat fasilitas pendanaan dari banknya sendiri secara berlebihan.
Mantan dirut BUN,
Leonard Tanubrata, ketika dikonfirmasi pers juga mengakui adanya pelanggaran
itu. Dan
angkanya menurut dia terus membengkak, sejalan dengan melemahnya rupiah.
Maklum,
sebagian besar dana yang mereka sedot berada dalam dolar AS. "Membengkaknya
pinjaman
pemilik ini karena depresiasi rupiah," ujarnya seperti dikutip Neraca.
Bob mengakali BUN melalui perusahaan yang ia miliki. Melalui sejumlah
perusahaan itu Bob
menerbitkan surat utang (promissory notes). Surat berharga itu kemudian
diaksep, untuk
mudahnya sebut saja dibeli, oleh sejumlah bank dan perusahaan fund
management. Mereka
tentu tak begitu saja mau membeli andai tanpa jaminan menguangkannya
kembali plus
menerima laba. Nah, yang menjadi jaminan justru datang dari BUN. Bank
milik Bob ini yang
menempatkan dananya kepada pihak ketiga itu. Dengan istilah lain, sama
saja dengan
perusahaan-perusahaan milik Bob itu mengutang ke BUN, cuma caranya
yang berputar-putar.
Kalau dibandingkan dengan proses pengajuan kredit bank, cara ini bahkan
lebih simpel. Lagi
pula, tanpa jaminan lain selain surat tanda berutang itu.
Tentu, tak semua surat utang itu diaksep pihak ketiga. Sebagian ada
juga yang langsung
diaksep BUN. Namun, transaksi itu jelas tak muncul di neraca karena
tak dicatat di rekening
administrasi. Maka, sukseslah Bob menjadikan BUN sebagai sapi perahan.
Raja kayu yang juga memiliki sejumlah bank ini--antara lain Bank Tugu
dan Bank Bukopin--tak
sendirian melakukan rekayasa tersebut. Pemilik saham BUN yang lain,
Kaharuddin Ongko,
juga melakukan hal yang sama. Caranya, ya sami mawon. Hanya saja, kalau
Bob lebih banyak
menguras bank melalui kredit topengan dari penerbitan surat utang fiktif,
Ongko lebih banyak
menguras dana bank lewat kredit dan penempatan bank. Seluruh fasilitas
yang diterima Ongko
dari BUN mencapai Rp3,9 triliun. Sekitar Rp1,1 triliun dalam bentuk
rupiah dan US$281 juta
dalam dolar AS. Akal-akalan yang dilakukan duet Bob-Ongko dan datanya
itu bisa dilihat
pada grafik.
Dengan demikian, duit yang digondol Bob-Ongko dari BUN mencapai Rp8,7
triliun, atau
setara dengan 79% dari total kredit yang disalurkan BUN yang nilainya
mencapai Rp11 triliun.
Padahal, keduanya hanya memiliki saham dengan nilai total Rp284,4 miliar.
Yakni, melalui
saham yang dimiliki Bob (40,08%) dan saham yang dikuasai Ongko melalui
PT Kedjajaan Budi
(45,75%) dan PT Aryaputra (4,88%).
Ulah pengusaha itu ternyata benar-benar menempatkan BUN pada posisi
amat sulit. Maka,
terpaksa bank yang didirikan pada 2 September 1952 itu mengemis pada
Bank Indonesia.
Bantuan pun segera mengucur. Jika per akhir Oktober tahun silam angkanya
baru Rp500 miliar,
pada April lalu telah melejit mencapai Rp6,6 triliun.
Akal-akalan ini makin terkuak, manakala BUN diambil alih BPPN. Lewat
audit yang dilakukan
dengan standar internasional terungkap bahwa kredit yang disalurkan
BUN berada dalam
kondisi amat bermasalah. Dalam penjelasan Tim BPPN terungkap bahwa
semula 96% kredit
BUN dikatagorikan lancar. Setelah ditinjau ulang, yang layak masuk
kategori lancar ternyata
sekitar 10%. Selebihnya ada yang tergolong dalam perhatian khusus,
kurang lancar,
diragukan, dan macet. Porsi terbesar justru pada posisi macet yakni
30%. Dengan demikian,
nilai kredit BUN secara riil cuma Rp5 triliun. Maka akibatnya aset
BUN yang semula Rp15,5
triliun, setelah dihitung ulang hanya Rp11,2 triliun.
Sementara itu, di pos kewajiban juga terjadi peningkatan pada pos lain-lain
sekitar Rp6 triliun,
dengan demikian kewajiban BUN yang semula Rp15 triliun membubung menjadi
Rp21 triliun,
jauh melebihi nilai aktivanya. Maka yang harus disesuaikan adalah modal
yang kini berada
pada posisi negatif. Jadi pada kenyataannya, pemilik bukan punya modal
di bank melainkan
punya utang ke bank. Dengan kondisi demikian, wajar kalau BUN berada
dalam posisi mati
suri. Apalagi kepercayaan masyarakat dari hari ke hari terus melorot.
Ini bisa dilihat dari terus
menurunnya simpanan dana pihak ketiga selama dua bulan terakhir. Pada
awal April simpanan
masyarakat mencapai Rp3,8 triliun yang berasal dari 291.000 nasabah,
per 5 Juni jumlahnya
tinggal Rp1,6 triliun dari 246.000 nasabah. "Sebagian nasabah besar
mulai hengkang dari
BUN," ungkap Tengku Alwin Aziz, dirut BUN. Untuk menutup semua itu
BUN terpaksa
meminta tambahan dana ke BI. Sementara demi menjaga kepercayaan masyarakat
pada
perbankan nasional, bank sentral terpaksa kembali mengucurkan dana.
Alhasil, per 5 Juni,
dana dantuan BI telah mencapai Rp9,2 triliun. Namun, pada periode yang
sama, lanjut Aziz,
pemegang saham telah membayar utangnya senilai Rp800 miliar. "Komposisinya,
Rp500 miliar
tunai dan sisanya konversi deposito," ujarnya dalam RUPS BUN akhir
bulan silam.
Kendati demikian, agar BUN bisa pulih, paling kurang, pemilik saham
harus menyuntik dana
segar Rp10 triliun. Persoalannya, maukah Bob berbagi dengan Ongko menutup
lubang itu
agar BUN bisa beroperasi normal? Dalam logika bisnis, terlalu sayang
mengeluarkan uang
sebanyak itu untuk hal yang belum jelas. Pasalnya, akan jauh lebih
mudah mendirikan bank
baru dengan modal satu triliun rupiah ketimbang menomboki bank rusak,
kecuali mereka
bertanggung jawab dan berbudi luhur.
Maka, keputusan yang mungkin dilakukan kini adalah self liquidation.
Pengamat perbankan I
Nyoman Moena melihat langah itu mungkin saja dilakukan "Sebenarnya
sama saja dengan
menyatakan diri bangkrut," ujarnya. Dalam kasus demikian, menurut Moena,
BPPN akan
berperan hingga proses likuidasi selesai. "Termasuk grup sendiri yang
harus mengembalikan
dana yang diperoleh dari bank." ###
Akhmad Supriyatna
Laporan: Johansyah