[INDONESIA-VIEW] Panjimas: Besar Berkat Koneksi Politik



http://www.panjimas.co.id

Panjimas: Besar Berkat Koneksi Politik
 
Bob Hasan: Bisnisnya menggurita karena tak lepas kedekatannya dengan mantan Presiden
Soeharto. Tapi kini sepak terjangnya di dunia bisnis mulai dipersoalkan. Bagaimana
sebenarnya cara berbisnis Bob selama ini?
 
Raja kayu Muhammad Hasan kini semakin banyak menghadapi tekanan. Setelah Asosiasi
Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) yang diketuainya dituding sebagai penyebab terjadinya
kebakaran hutan beberapa waktu lalu, kini dia disebut-sebut menilap dana iuran anggota
Apkindo (Asosiasi Panel Kayu Indonesia) sebesar US$800 juta. Karena itu, Jumat, 3 Juli,
Bob--begitu kerap disapa--selama tiga jam diperkisa tim Kejaksaan Agung setelah ada laporan
dari masyarakat menyangkut persoalan tersebut. Disebut-sebut laporan itu sendiri ada yang
datang dari anggota Apkindo.

Hanya saja Bob melakukan gerakan tutup mulut usai diperiksa. Wajahnya tetap tenang meski
berbagai pertanyaan cukup pedas dilontarkan kepadanya. Dia hanya tersenyum seolah tidak
ada beban dan persoalan serius. Padahal dia dituding telah menyelewengkan dana asosiasi
untuk kepentingan pribadi.

Pemanggilan Bob ke Gedung Bundar Kejagung, menurut Pelaksana Harian Humas Kejagung
Seohandoyo, hanya sebatas dimintai keterangan berkaitan dengan iuran anggota Apkindo.
"Sejauh ini belum ada keterkaitan ataupun dugaan lain yang menyatakan Bob Hasan terlibat
manipulasi," tandasnya kepada pers.

Dalam pengumpulan data dan informasi itu, lanjut Seohandoyo, Bob Hasan mengakui bahwa
pungutan itu memang ada. Tetapi itu sesuai dengan AD/ART Apkindo. Pungutan tersebut
dimanfaatkan untuk program reboisasi, transmigrasi, dan sumbangan sosial lainnya. Soal
besarnya dana yang terkumpul dan telah dimanfaatkan memang masih belum jelas.

Tapi Ketua Apkindo Abbas Adhar menegaskan, sebenarnya dana sebesar US$800 juta yang
dikumpulkan selama 1985-1997 itu sudah dikembalikan kepada anggota dalam bentuk insentif
sebesar US$600 juta. Sisanya yang masih tersisa antara lain untuk biaya operasional asosiasi
US$100 juta dan selebihnya akan dibagikan kepada anggota. "Dana ini dibagikan karena
Apkindo sudah tidak berfungsi lagi seperti dulu," ujarnya.

Benar, pemungutan iuran tersebut sesuai AD/ART. Tetapi menurut sumber Panji, semua
yang menentukan dan memutuskan adalah Bob Hasan. Intinya semua kendali Apkindo ada di
tangan Bob. Selama dia memimpin tak ada satu pun yang berani menentang apalagi menolak.
Bayangkan, mulai dari jumlah produksi, tujuan ekspor, pengapalan, sampai asuransinya pun
ditentukan oleh dia. Untuk pengapalan, misalnya, anggota Apkindo--sebelum praktek kartel di
asosiasi ini sesuai kesepakatan dengan IMF dihapuskan--harus menggunakan perusahaan
Bob yakni PT Karana Lines dan perusahaan asuransi PT Tugu Pratama.

Pokoknya tak sedikit yang bilang semua tunduk pada kemauan Bob. Pemerintah melalui
Departemen Perdagangan lebih banyak berperan sebagai lembaga yang melegitimasi berbagai
kebijakan yang disodorkan Apkindo. Bahkan, ketika Bob meminta mereka "iuran" buat
kegiatan di luar perkayuan pun, mereka menurut. Misalnya, untuk membiayai
kegiatan-kegiatan olahraga atau menyelamatkan perusahaan sakit--seperti yang dilakukan atas
Bank Bukopin.

Sumber Panji menyebutkan, sikap Bob yang selama ini terlalu memaksakan membuat semua
orang takut kepadanya, karena dia tidak segan-segan melaporkannya langsung pada
Soeharto. "Mana ada anggota asosiasi yang berani melawan. Menteri saja takut. Bahkan Liem
Sioe Liong pernah dia marahi," ujarnya. Memang, kata sumber tadi, dalam kasus kayu
gelondongan misalnya, asosiasi melarang pengusaha mengekspor dalam bentuk kayu utuh.
"Itu baik, tapi persoalannya kan semuanya harus lewat perusahaan dia."

Tetapi ada juga yang berpendapat, pembentukan Apkindo sendiri memiliki tujuan positif.
Sebagai kartel kayu lapis, menurut pengamat ekonomi Christianto Wibisono, asosiasi ini
mampu menghadapi pihak asing sehingga kayu lapis kita bisa menang di pasaran. Meski
belakangan tak mampu lagi bersaing dan kalah oleh produk Malaysia yang dijual lebih murah.

Entah di mana salahnya strategi yang diterapkan Apkindo sehingga akhirnya kayu lapis kita
babak belur di pasar luar negeri. Yang jelas, ketika ada tuntutan agar anggota asosiasi bebas
melakukan ekspor, tidak sedikit pengusaha kayu lapis anggota Apkindo yang mendukung
tuntutan tersebut. Alasannya, selama ini asosiasi dinilai sangat membatasi gerak usaha
mereka. Seperti yang terlihat pada keharusan anggota Apkindo untuk menggunakan
perusahaan milik Bob.

Bagi Bob, pembebasan anggota Apkindo itu tentu tak jadi persoalan. Maklum, mantan menteri
perindustrian dan perdagangan ini sudah memiliki dua pabrik kayu, yakni PT Kiani Sakti dan
PT Kiani Furnimetal yang cukup besar. Di luar itu masih ada seabrek perusahaan, baik yang di
bawah kontrol Grup Kalimanis, Grup Nusamba, maupun Grup Bob Hasan sendiri. Paling tidak,
jika ditotal mencapai ratusan lebih perusahaan yang bergerak antara lain di bidang
perdagangan, logam, kehutanan, pertambangan, makanan dan minuman, kayu, kertas, kimia,
konstruksi, transportasi, jasa, keuangan, energi, kimia, konstruksi, properti, sampai media.
Boleh dibilang tidak ada bidang yang tidak dirambah Bob.

Tapi bagaimana sesungguhnya Bob berbisnis dan memiliki seabrek perusahaan dan seberapa
besar kekayaannya? Bagaimana pula Bob bisa begitu dekat dengan keluarga Cendana? Ini
yang menarik. Ternyata tidak semua bisnis Bob Hasan diraih dengan jalan yang normal.
Artinya murni lewat usaha sendiri tanpa fasilitas. Justru karena kedekatannya dengan
Cendana, Bob yang punya nama asli The Kian Seng cepat melesat membengkakkan usaha.
Bukan saja usaha sendiri, juga usaha keluarga Cendana.

Meski bisnisnya sebagian dilandasi perkoneksian politik, menurut pengamat perusahaan
Wilson Nababan, hampir semua bisnis yang dia kelola berhasil. "Ini karena dia punya visi dan
jiwa bisnis yang bagus, sehingga mampu membesarkan usaha," tandasnya.

Berhasil seluruhnya? Tidak juga. Beberapa bisnis anak asuh Jenderal Gatot Soebroto ini
belakangan mengalami tekanan. Terutama sejak Soeharto lengser dari jabatannya, praktek
curang bisnis Bob pun mulai kelihatan. Tengok saja bagaimana dia dengan dalih membantu,
masuk ke bank milik gerakan koperasi itu. Atas nama Apkindo, nama Bob Hasan tercatat
menguasai 13,9% saham. Tetapi kini, bersamaan bergulirnya reformasi, kepemilikannya di
Bank Bukopin juga mendapat tekanan, terutama dari pihak koperasi. Pihak koperasi kini
meminta kembali Bukopin.

Permainan bisnis Bob kian terkuak di Bank Umum Nasional (BUN). Bersama mitranya, taipan
Kaharuddin Ongko, menguras dana-dana masyarakat yang berhasil dihimpun BUN. Aksi itu
dilakukannya secara langsung maupun melalui pihak ketiga berupa bank lain atau pengelola
dana (fund management). Jumlah dana yang berhasil dikuras Bob sekitar Rp1,7 triliun plus
US$319 juta. Mitranya tak mau ketinggalan, Ongko juga menguras dana BUN sebesar Rp1,1
triliun plus US$281 juta. Hebatnya lagi, pada awalnya tak terlacak oleh BI karena memang tidak
tercatat dalam pembukuan. Panji sudah mencoba mengkonfirmasi soal ini tetapi tidak
ditanggapi baik oleh Bob maupun Ongko.

Bisa dipahami mengapa Bob begitu berpengaruh, itu karena bila dilihat runtutan sejarahnya
dia sudah kenal dekat dengan Soeharto. Itu terjadi sejak tahun 1950-an ketika mantan Presiden
RI ke-2 ini masih menjabat panglima Teritorium IV/Diponegoro yang mengelola Yayasan
Teritorium Empat. Melalui yayasan ini, Soeharto mendirikan beberapa badan usaha. Di sinilah
Bob Hasan secara konsisten ikut membantu membesarkan usaha.

Pada 1958, Bob Hasan bersama Sudjono Humardani membentuk perusahaan pelayaran PT
Pangeran Lines yang pada 1960 berganti nama menjadi PT Wasesa Line. Pada saat yang sama
Bob-Humardani membentuk holding company PT Dwi Bhakti yang bergerak di bidang
perdagangan umum.

Pada 1967 Dwi Bhakti bersama dengan mitra lainnya membentuk perusahaan pelayaran
samudera PT Karana Lines. Di luar Dwi Bhakti, Bob bersama dengan Ibnu Hardoyo, salah
seorang keluarga dekat Alm. Ibu Tien Soeharto, mendirikan PT Pasopati. Perusahaan ini juga
tercatat sebagai pemegang saham PT Karana Lines. Memasuki dekade 1970-an, Bob Hasan
mulai berani mengibarkan bisnis pribadinya. Ketika itu dia mendirikan PT Lifetime Industries,
PT United Indo Survey (tidak beroperasi lagi), dan PT Georgia Pacific Indonesia yang
kemudian berganti nama menjadi PT Kiani Lestari.

Bisnis Bob kian melesat begitu Soeharto menjadi presiden. Bob antara lain dipercaya
mengelola berbagai usaha dan yayasan yang didirikan Soeharto. Salah satunya melalui
bendera Nusantara Ampera Bhakti (Nusamba). Nusamba merupakan kelompok bisnis yang
didirikan Bob bersama Sigit Hardjojudanto (putra tertua mantan Presiden Soeharto), Arjo
Darmoko, Hedijanto, dan Zahid Husein. Tiga orang terakhir mewakili Yayasan Supersemar,
Dharmais, dan Dakab yang diketuai Soeharto.

Sejak itu langkah Bob kian berani. Tahun 1980-an Bob mendirikan 14 perusahaan baru dan
mengambil alih lima unit usaha. Perusahaan-perusahaan baru yang didirikan antara lain empat
perkebunan dan pengolahan teh di Jawa Barat. Sementara perusahaan yang diambil alih Bob
antara lain PT Aspex Paper (perusahaan yang menguasai produksi dan pemasaran kertas
koran di Indonesia). Soal yang satu ini juga pernah diributkan karena harga kertas melambung
gila-gilaan menyebabkan tidak sedikit perusahaan persuratkabaran terpaksa berhenti
beroperasi.

Manuver Bob Hasan tidak hanya sampai di situ. Melalui kelompok Nusamba menguasai 18,36
% saham Astra, produsen otomotif terbesar di Indonesia. Penguasaan Astra ini kabarnya
untuk memperkuat program mobil nasional Timor yang dipimpin Hutomo (Tommy) Mandala
Putera. Dan lebih menghebohkan lagi ketika Bob tiba-tiba masuk ke proyek penambangan
emas Busang dengan menguasai separo saham Syakerani di PT Askatindo Karya Mineral,
mitra Bre-X (perusahaan Kanada yang menemukan deposit emas di Busang II). Tetapi di sini
akhirnya Bob kecele. Tambang emas Busang ternyata tak ada apa-apanya.

Namun bukan Bob jika jera. Dia masih terus memburu perusahaan lain. Dia mengambil alih
mayoritas saham PT Indocopper Investama Corporation (IIC) dari PT Bakrie Brothers. IIC
merupakan satu-satunya mitra lokal atau pemegang 9,36% saham PT Freeport Indonesia.
Manuver bisnis Bob memang luar biasa, apa pun yang diinginkan pasti didapat. Entah dengan
metode apa.

Menurut sumber Panji, dia memang kerap mengatasnamakan Pak Harto, melalui yayasan ini
untuk memperluas bisnisnya. Tapi sesungguhnya sudah tidak jelas lagi apakah itu benar
untuk bisnis keluarga Cendana atau kepentingan sendiri. Kedekatan Bob dengan keluarga
Cendana memang banyak dimanfaatkan perusahaan asing karena dia bisa mendapat perlakuan
khusus. Tak jarang dalam perusahaan baru Bob dapat 40% saham yang dia sendiri hanya
bayar 10%, bahkan nol persen. Begitulah cara dia mendapatkan bisnis.

Entah sudah berapa banyak kekayaan Bob saat ini. Majalah Forbes yang suka mendaftar
orang-orang terkaya dunia, pernah memuat tulisan soal kekayaan Bob. Diperkirakan
kekayaannya mencapai Rp2,3 triliun. Tapi ada yang mengatakan lebih dari itu. Entah mana
yang benar. Tapi Bob dalam suatu wawancara dengan wartawan The Asian Wallstreet
Journal pernah mengatakan ketidaksenangannya pada orang-orang yang terlalu banyak
memburu uang. "Mau apa lagi. Anda kan tidak akan makan lebih dari tiga kali sehari." ###

 

Puji Irwanto

Laporan: Johansyah, Iqbal Setyarso, Yuyuk Andriati Iskak, dan Mursyid D. Sukmawan