check@bimamail.com
Wed, 10 Jun 1998
Peradilan Dagelan Dimulai, Siapa Kambing Hitam?
JAKARTA (MimbaR, Juni 1998)
"Peradilan Dagelan" Insiden penembakan mahasiswa Trisakti dimulai.
Juru
bicara ABRI, Brigjen Wahab Mokodongan kepada pers mengatakan,
peristiwa
penembakan empat mahasiswa Trisakti persidangannya digelar
Mahkamah
Militer, 6 Juni 1998. Sementara itu, diperoleh informasi,
beberapa
perguruan tinggi di Ibukota akan meggelar unjuk rasa di halaman
Mahkamah
Militer Jakarta. Mereka menuntut tokoh militer yang mendalangi
insiden
Trisakti juga dihadapkan ke Mahkamah Militer.
Walau pun Wahab serta Dan Puspom ABRI Jakarta Kolonel CPM Hendarji
menyebutkan ada 19 tersangka yang bakal dimahkamahmiliterkan,
namun
sejumlah tokoh mahasiswa dan pelaku politik di Jakarta pesimis
bahwa
kasus ini hanya sebuah dagelan untuk menyenangkan hati rakyat
dan
mahasiswa. Mereka yakin, tokoh yang berada di balik penembakan
tak akan
diungkapkan.
"Pelaku penembakan mahasiswa orangnya sama dengan pelaku yang
menculik
aktivis pro-demokrasi. Kegiatan ini satu rantai, termasuk rekayasa
huru-hara Jakarta, 14 Mei lalu," kata seorang pengajar politik
Universitas Trisakti. Dosen yang enggan namanya ditulis
ini mengatakan,
sejak awal ia tidak yakin dalang penembakan mahasiswa Trisakti
diungkapkan. "Kalau dalangnya diungkapkan, komunitas ABRI
geger,"
katanya.
Sementara itu beberapa mahasiswa yang dihubungi MimbaR
mengaku kecewa
dengan cara POM ABRI menangani kasus penembakan mahasiswa ini.
"Belum
apa-apa sudah dibilang salah prosedur dan tetek bengek. Kami
lihat POM
ABRI tidak serius. Mereka hanya mencari kroco-kroco untuk dijadikan
dikambinghitamkan," kata aktivis mahasiswa Universitas
Indonesia yang
minta namanya tidak diungkapkan.
Ketidakseriusan POM ABRI ini dikarenakan Komandan POM ABRI Jakarta
Kolonel CPM Hendarji adalah paman kandung Regita "Tata"
Cahyani (istri
Tommy Soeharto), dan dengan adanya hubungan kerabat ini
Mayjen Prabowo
Subianto (ipar Tommy) yang disebut-sebut berada di belakang
penembakan
mahasiswa itu tidak akan disentuh hukum. "Ada unsur nepotisme
dalam
pengusutan kasus Trisakti," kata sebuah sumber di Cilangkap.
Tidak hanya kambing hitam baru yang dilahirkan, juga sandiwara
baru yang
mengesankan bahwa penembakan itu adalah salah prosedur. Untuk
mendukung
rekayasa ini, buru-buru Kapolda Metrojaya Hamami Nata dicopot
dari
jabatannya dan sebelumnya Prabowo Subianto juga dicopot sebagai
Panglima
Kostrad.
"Opini yang ingin dimunculkan bahwa Hamami dan Prabowo adalah
orang
bersalah, orang yang bertanggungjawab terhadap insiden Trisakti.
Makanya
ia dikorbankan sebelum sidang militer dimulai. Maksudnya,
ya itu tadi,
agar opini terbentuk bahwa Hamami dan Prabowo dihukum karena
bersalah,"
kata sumber. Kabarnya, skenario ini diolah oleh "dapur
politik"
Wiranto.
Sudah menjadi rahasia umum, lembaga ABRI selama ini memang jarang
menunjukan sikap transparan kepada rakyat. Ini bisa dilihat
mulai dari
Kasus Aceh, Priok, Lampung, Santa Cruz, Timika atau Insiden
27 Juli
1996. Menurut sumber, dalam insiden Santa Cruz, Mayjen
Sintong dan
Brigen Warouw yang "dikorbankan" dan untuk Insiden Trisakti
Hamami Nata
dan Prabowo yang cocok jadi kambing hitam. "Dan untuk
kasus Priok, yang
jadi kambing hitam, ya cukup Dandim dan Kapolres Jakarta Utara."
Kalau memang betul Hamami dan Prabowo dikorbankan untuk kasus
Trisakti
kenapa Mayjen Sjafrie Syamsuddin tidak dicopot? Padahal Sjafri
sebagai
Pangdam Jaya, adalah orang yang paling bertanggungjawab terhadap
keamanan Ibukota. Menurut sumber, Sjafrie tidak dicopot karena
satu
kampung dengan Presiden BJ. Habibie, dan ia sudah minta maaf
pada Pangab
Wiranto. "Karena itu Wiranto memaafkan Sjafrie. Ini sekaligus
untuk
memecah klik Prabowo," kata sumber itu.
Sebelumnya Menhankam/Pangab Jenderal Wiranto 25 Mei 1998 telah
menjelaskan Insiden Trisakti. Sama dengan yang diungkapkkan
Kolonel
Hendarji bahwa penembakan itu terjadi karena tidakan non prosedural
dan
indisipliner. Yang disayangkan masyarakat, dalam kerangka reformasi,
Wiranto masih menggunakan kata-kata klise termasuk ketika secara
mendadak mencopot Prabowo dan menunjuk Johhny Lumintang sebagai
Pangkostrad dan kemudian mengangkap Jamiri Chaniago sebagai
pejabat
defenitif.
"Wiranto itu sebenarnya pemain politik. Lihat gaya bahasanya
yang kayak
praktisi politik. Wiranto jelas beda dengan Subagio, Prabowo,
Satria
Tubagus, Arief Kusrihadi, apalagi Dibyo Widodo atau Sugiono
yang tidak
mengerti politik," kata sumber tadi. Dan ingat, katanya, Wiranto
masih
punya hubungan saudara dengan Presiden BJ. Habibie. Makanya
ia dengan
tegas mendukung Habibie jadi presiden," kata sumber tersebut.
Kembali ke Insiden Trisakti, secara faktual tayangan sejumlah
media
elektronik memperlihatkan dengan jelas bagaimana petugas keamanan
melepaskan rentetan senjata otomatis ke arah kerumunan mahasiswa.
Seolah-olah mahasiswa adalah musuh aparat yang harus dihabiskan
dan
dihancurkan. Namun fakta menunjukkan hanya empat mahasiswa
Trisakti
yang dinyatakan tewas dan kemudian diproklamasikan sebagai Pahlawan
Reformasi. Menurut ahli forensik Dr. Mun'im Idries bahwa
pada keempat
korban ditemukan peluru tunggal, masing-masing di punggung,
dada, kepala
dan leher yang merupakan tempat vital manusia dan tentu saja
mematikan.
Fakta ini memberi gambaran pada masyarakat bahwa korban merupakan
target
(sasaran) yang sengaja dibidik untuk dihilangkan nyawanya oleh
si
penembak (sniper) yang memang mempuyai kemampuan khusus dan
telah
menguasai medan di sekitar Universitas Trisakti dan tempat-tempat
yang
strategis untuk melakukan penembakan agar tidak dilihat orang.
Hendriawan salah satu korban, misalnya, adalah tokoh mahasiswa
Trisakti
yang paling keras mengkritik ABRI sebelum penembakan itu terjadi.
Sementara itu beberapa pakar komunikasi mengatakan, kalau tayangan
media
elektronik yang dijadikan acuan, tentunya korban akan mencapai
ratusan
orang. "Ini dengan asumsi satu petugas melepaskan satu tembakan
terhadap
satu orang mahasiswa. Tapi, nyatanya hanya empat mahasiswa yang
jadi
korban dengan luka pada tempat yang mematikan dengan sasaran
yang pas
dan mematikan," kata pakar tadi.
Sumber MimbaR di Puspom ABRI mengungkapkan, di Jalan S. Parman
yang
berhadapan dengan mahasiswa adalah pasukan Dalmas Polres/Polda
Metro
Jaya, PHH Brimob Polda Metro Jaya, PHH ABRI dan PHH Korp Brimob.
Sedangkan di jembatan layang (fly over) adalah pasukan URC Samapta
Polda
Metro, PHH Kodam Jaya dan PHH Brimob. Sementara itu di Mall
Citra Land
sejak tanggal 9 Mei telah ditempatkan pasukan pengamanan dari
Kostrad
bahkan menurut keterangan salah seorang staf Citra Land, pasukan
Kostrad
sudah ada di Citra Land sejak Februari 1998.
Dengan banyaknya jumlah personal keamanan dari berbagai satuan
ABRI yang
ditempatkan di sekitar Trisakti, kata sumber tadi, menyebabkan
sulitnya
Pangab menurunkan Tim Pencari Fakta untuk menentukan pelaku
dan
kesatuannyayang menembak empat mahasiswa Trisakti tadi karena
kesamaan
jenis senjata dan amunisi yang digunakan pelaku. Belum
lagi, pasukan
penyusup yang kemungkinan menggunakan pakaian PHH ABRI yang
sangat
diyakini sebagai penembak mahasiswa Trisakti.
Demikian pula dengan posisi penembak yang menurut berita media
cetak
berasal dari tempat ketinggian atau fly over/jalan layang juga
ada
tempat yang lebih tinggi dan strategis untuk melakukan penembakan
yakni
di lanti tujuh di atas Hotel Citra dan sejumlah bangunan yang
berada
dalam kampus Trisakti.
Apapun yang terjadi, nampaknya mahasiswa dan masyarakat pesimis
dengan
kasus penembakan ini. Mereka yakin sidang yang digelar di Mahkamah
Militer nanti adalah "Peradilan Dagelan" dengan menampilkan
kambing-kambing hitam yang sudah dicocok hidungnya. ***