FRONT KEDAULATAN MALUKU (FKM)
Maluku Menjadi Daerah Operasi Militer (DOM) Terselubung
Selama lebih dari tiga tahun / sampai menjelang tahun keempat konflik bernuansa
SARA merebak di ("Bumi Seribu Pulau") Maluku, tanpa ada tanda-tanda bahwa
dalang dan perancang konflik tersebut dapat diungkap oleh Pemerintah Indonesia,
atau sedapat-dapatnya mereka-mereka yang bertanggung jawab terhadap
keselamatan jiwa anak bangsa Maluku, menyatakan secara terus terang kepada
semua pihak, baik di Maluku, Indonesia maupun dunia Internasional bahwa siapa
sebenarnya "penjahat kemanusiaan" yang tega mengorbankan jiwa anak bangsa
Maluku secara sia-sia.
Sejak pecah konflik tanggal 19 Januari 1999, sampai dengan bulan September 2002,
sudah ada ± 22 (dua puluh dua) Batalion TNI dan POLRI dari luar Maluku yang
ditugaskan ke Maluku, dengan jumlah personil ± 20.000 (dua pulu ribu), yang dikirim
secara bergilir dan ditempatkan pada seluruh wilayah Maluku dari bagian paling Utara
di Pulau Morotai sampai kebagian paling Selatan di Pulau Moa (walaupun diantaranya
ada wilayah yang tidak termasuk wilayah konflik).
Gambaran singkat ini, mengindikasikan bahwa kepulauan Maluku "Bumi Seribu
Pulau" sepenuhnya sudah dikuasai oleh TNI.
Beberapa fakta yang mengindikasikan TNI melaksanakan Operasi Militer di Maluku
adalah :
1. Dipulau Morotai, yang bertugas disana adalah pasukan TNI dari kesatuan Marinir /
TNI AL.
Dalam praktek kehidupan sehari-hari, segala sesuatu yang dilakukan oleh
masyarakat harus seizin TNI, seperti aktifitas ke kebun, ke hutan atau ke laut, atau
melakukan kegiatan sosial apa saja, termasuk kegiatan beribadah pun harus
sepengetahuan atau izin dari TNI / Marinir.
2. Di Pulau Buru (Buru Selatan) pasukan TNI dari Kesatuan Armed Kostrad
menguasai semua jaringan perdagangan rakyat, seperti jual beli hasil pertanian,
perkebunan, hasil hutan, minyak kayu putih dan lain-lain. Para pedagang kecil yang
selama ini mengembangkan usaha kecilnya terpaksa hanya bisa gigit jari, karena
tidak mungkin menentang pasukan TNI yang sangat arogan dan anarkhis, tidak
sedikit anak bangsa Maluku / Alif’uru / Ina di Buru Selatan yang telah menikmati
popor senapan dan tendangan sepatu boot TNI.
3. Di Pulau Ambon / kota Amboina, masyarakat dan pedagang kecil di negeri
Wayame, Hatu, Lilibooi, Rutong, Leahari, setiap hari harus menghadapi kenyataan
sikap arogansi dan anarkhis dari pasukan TNI dan POLRI yang ditempatkan di
masing-masing negeri, tidak ada seorang masyarakatpun yang boleh menentang
perintah TNI.
- Masyarakat jazirah Nusaniwe, setiap hari menyaksikan sikap arogansi dan anarkhis
dari pasukan TNI yang bertugas pada jalur jalan Air Salobar / Pohon Mangga, karena
pada ruas jalan raya propinsi ini dipasang portal dan pos TNI, dan setiap kendaraan
yang melewati jalur jalan ini harus perlahan-lahan dan harus memberi hormat kepada
TNI yang bertugas disitu, dan sering TNI meminta biaya pengamanan dari para sopir.
Sudah puluhan sopir dan pengendara motor yang mendapat hadiah tendangan sepatu
boot dan bogem mentah atau sundulan popor bedil dari pasukan TNI dari kesatuan
infantry 741 Udayana yang ditempatkan disitu.
- Pada jalur jalan Sudirman / Galunggung, yang juga merupakan ruas jalan propinsi,
terdapat pos-pos pasukan TNI dari kesatuan Armed yang selalu menagih biaya
pengamanan dari setiap pengendara melewati jalur jalan tersebut.
4. Di pulau Seram (Seram Utara, Seram Timur dan Seram Barat).
- Di negeri Liliama, kecamatan Werinama, pasukan TNI AD dari kesatuan Armed 11
dengan komandan kompinya Kapten TNI Suparta, melakukan pemerasan terhadap
penduduk setempat, dan memaksa penduduk untuk menjual hasil usaha pertanian
dan perkebunan ataupun hasil usaha nelayan hanya kepada cukong TNI (aparat TNI
sendiri), salah seorang penduduk Bpk. Abraham Hakapaa, dihajar sampai babak belur
oleh anak buahnya Kapten Suparta, hanya karena tidak menuruti kemauan TNI.
- Di negeri Waipo, kecamatan Amahai, para pengungsi yang menempati barak-barak
pengungsi di sekitar markas TNI AD dari kesatuan Infantri 731 Kabaressy, dipaksa
untuk membersihkan daerah sekitar markas, dan tanpa kompromi / tidak memandang
tua atau muda, sehat atau sakit, semua dipaksa dengan ancaman kekerasan dan
bahkan ada pengungsi yang baraknya dibongkar, karena tidak ikut kerja.
Aparat TNI 731 yang melakukan penganiayaan adalah Kopral dua TNI David
Lamberburu dan prajurit satu TNI Rusdy Hukuwatu.
- Di negeri Jerili / Waipia, kecamatan TNS, masyarakat dilarang oleh aparat TNI dari
kesatuan Zipur Siliwangi, agar tidak melakukan kegiatan apapun di hutan sekitar
negeri Jerili, yang adalah petuanan negeri Makariki, karena areal hutan tersebut
katanya sudah dibeli oleh dr. Abdul Gafur (mantan Menteri pemuda dan Olah raga,
pada era orde baru / rezim Suharto).
- Di negeri Laimu, kecamatan Tehoru, masyarakat dilarang oleh aparat TNI AD dari
kesatuan Armed 11 dengan Komandannya Mayor TNI Budi Santoso, agar tidak boleh
mengambil tanah, pasir maupun batu di petuanan negeri Laimu sendiri, karena aparat
TNI telah menguasai daerah tersebut, dan akan dijual kepada perusahan semen yang
berkantor pusat di pulau Jawa.
Bapak Ais Hakapaa dihajar sampai babak belur dan tangannya dibakar oleh TNI,
karena mengambil batu dan pasir untuk membangun rumahnya sendiri.
Bukankah perlakuan ini lebih biadab dari perlakuan penjajah "Belanda" jaman dulu.
- Di Piru, Kecamatan Seram Barat I, masyarakat dipaksa untuk menjual hasil
usahanya seperti getah damar, cokelat dan Kopra kepada aparat TNI AD dari
kesatuan infantry 731 Kabaressy dengan harga yang tidak wajar (murah), dan apabila
ketahuan ada orang yang menjual kepada pedagang lain, maka dihajar dan dianiaya
oleh oknum aparat TNI AD tersebut, komandan kompinya adalah Letnan satu TNI
Hutahuruk.
Yang menjadi korban (pernah merasakan bogem dan tendangan sepatu boot TNI),
adalah anak bangsa Maluku/Alifuru/Ina dari negeri Luhu, Kawa, Ariate, Kaibobu, Piru
dan lain-lain.
Dari beberapa fakta tersebut diatas, maka dapat diindikasikan bahwa sebenarnya
secara terselubung di Maluku sudah diberlakukan Daerah Operasi Militer (DOM) /
Darurat Militer, karena setiap tindakan oknum TNI dan POLRI yang dilaporkan kepada
pihak yang berwenang tidak pernah ada tindakan penyelesaiannya.
Indikasi lain adalah dibentuknya Daerah Komando Operasi Pemulihan Keamanan
(Koopslihkam), yang dikomandani oleh Pangdam XVI Pattimura, Mayor Jenderal TNI
Joko Santoso dan dalam operasionalnya tidak berkoordinasi dengan Penguasa
Darurat Sipil Daerah Maluku (PDSDM), dengan kata lain sebenarnya posisi Pangdam
selaku Pangkoopslihkam tidak berada dibawah PDSDM / Gubernur, tetapi langsung
dibawah Mabes TNI / Presiden.
Dengan demikian nyatalah sudah, bahwa Maluku saat ini sudah berada dalam kendali
Militer dan secara terselubung sudah diberlakukan DOM / Darurat Militer.
Ambon, 27 September 2002.
|