FRONT KEDAULATAN MALUKU
FKM NEWS NETWORK
BERITA TERBARU DARI AMBON
Gerombolan Pengacau Keamanan/Gerakan Pengacau Keamanan
Beroperasi Di Maluku
Dalam sebulan terakhir ini di Maluku ("bumi seribu pulau"), terjadi berbagai
kekacauan berupa terror penyerangan terhadap pemukiman penduduk, pembantaian
dan terror bom serta intimidasi, yang semua sasarannya adalah komunitas asli
Maluku (penduduk pribumi).
Tanggal 15 September 2002, tepatnya hari Minggu, sekitar pukul 07.30 – 09.00
Waktu Maluku, terjadi penyerangan terhadap tiga buah negeri di Morotai Utara, yaitu
negeri Pengeo, Karago dan Losuwo, mengakibatkan tewasnya dua orang penduduk
dan ratusan orang lainnya mengalami luka-luka, serta tercatat tiga ratus lima unit
rumah penduduk mengalami rusak berat / terbakar dan lima unit gedung ibadah
terbakar. Menurut keterangan saksi korban, para penyerang adalah orang-orang dari
luar Morotai dan terindikasi mereka adalah orang-orang yang sangat terlatih dalam
strategi penyerangan dan mempunyai ketrampilan menggunakan senjata api standard
TNI.
Beberapa ciri phisik penyerang mirip orang dari Timur Tengah atau Asia Selatan, dan
orang Melayu / Jawa bertubuh tegap khas militer / TNI, memakai kostum khas Laskar
Jihad Mujahidin.
Tanggal 18 September 2002, di pulau Saparua (negeri Porto) tertangkap tiga orang
penyusup yang akan melakukan teror bom di Kota Saparua dan sekitarnya. Dari
keterangan ketiganya ketika diinterogasi, mereka yang disusupkan ke pulau Saparua
berjumlah sepuluh orang, dengan misi menciptakan konflik antar negeri dengan cara
mengadu domba, dan meledakan bom di kota Saparua pada tanggal 22 September
2002, ketika dilaksanakannya upacara pembukaan Pesta Paduan Suara Gerejawi
(Pesparawi) Tingkat Kecamatan Saparua. Dari tangan ketiganya ditemukan sketsa /
denah lokasi yang akan dijadikan sasaran peledakan, yaitu lapangan merdeka
Saparua (lokasi upacara).
Ketiga orang tersebut terindikasi, satu anggota Kopassus dan dua lainnya anak buah
Berty Loupatty (preman kaki tangan Kopassus).
Tanggal 21 September 2002, terjadi kekacauan di negeri Haruku (pulau Haruku), yang
dipicu oleh ulah anggota TNI dari Kesatuan Armed, yang bermarkas di negeri Sameth
± 500 meter dari negeri Haruku. Kronologisnya adalah : pada tanggal 20 September 2002 ada
acara pesta yang dilakukan oleh para pemuda Haruku untuk menjamu tamunya (pela)
dari negeri Noloth, pesta tersebut dimulai pukul 20.00 Waktu Maluku. Sekitar pukul
01.00 Waktu Maluku (tanggal 21 September 2002), beberapa anggota TNI (Armed)
masung ke ruang pesta dalam keadaan mabuk, dan cara masuknya sangat tidak
sopan yaitu dengan cara melompati dinding ruang pesta, salah satu anggota TNI
tersebut terjatuh dan mengalami cidera, kemudian digotong ke markasnya oleh
teman-temannya, beberapa saat kemudian, ± pukul 02.00 terdengar bunyi tembakan
senjata api dari arah negeri Sameth (markas TNI), disusul bunyi rentetan tembakan
senjata api, ternyata anggota TNI Armed yang berjumlah ± 15 orang telah merangsek
mengepung negeri Haruku sambil melepaskan tembakan dan memaki-maki serta
mengancam akan membantai orang-orang Maluku. Kutipan kata-kata mereka antara
lain : "Kamu orang-orang Maluku, harus dihabisin aja ….. " Akibat ulah anggota TNI
Armed tersebut, penduduk negeri Haruku lari menyelamatkan diri kearah hutan dan
sebagian lainnya terpaksa berenang di laut.
Keterangan yang kami peroleh dari salah seorang penduduk negeri Haruku, Bapak
Odang Lesimanuaya, mengatakan bahwa sampai pada pukul 09.00 pagi, pasukan TNI
Armed masih mengepung dan mengancam penduduk negeri Haruku.
Tanggal 20 September 2002, Sepuluh orang dari negeri Amahusu, dengan
menumpang speed boat 95 PK berangkat menuju Waiyasal di pulau Seram dengan
tujuan berburu babi hutan, setibanya di pantai Waiyasal secara mendadak muncul
sebuah speed boat yang tidak jelas dari mana datangnya dan melepaskan tembakan
serta melemparkan granat tangan kearah speed boat yang sementara diparkir. Dari
sepuluh orang yang bermaksud berburu tersebut lima orang sudah turun kedaratan,
yaitu: Bob Mainake, Sonny Dahoklory, Moritz da Costa, Ronald Mainake dan Cak
Lopies, sementara lima orang lainnya masih mempersiapkan perlengkapan
berburunya di atas speed boat, yaitu : Zeth Silooy, Jemmy Mainake, John Syauta,
Yus Tuamelly dan Simon Hehanussa.
Akibat serangan mendadak tersebut lima orang yang di darat lari menyelamatkan diri
ke arah hutan, sementara yang di atas speed boat, dua orang sempat terjun ke laut
menyelamatkan diri dari terjangan timah panas, yaitu Jemmy Mainake dan Yus
Tuamelly, sementara Zeth Silooy, John Syauta dan Simon Hehanussa menjadi
sasaran empuk para penyerang. Simon Hehanussa tewas dengan batok kepala
berlubang dan kedua kakinya hampir putus, John Syauta kena tembak pada bagian
pinggangnya dan kini sementara dirawat di Rumah Sakit Dr. Latumeten Ambon, Zeth
Silooy juga mengalami luka tembak dan terkena serpihan granat, sementara dirawat
di Rumah Sakit Umum GPM.
Dari lima orang yang lari ke arah hutan, dua orang berhasil diselamatkan dan diantar
ke negeri Amahusu oleh penduduk dari negeri Asilulu (Muslim), yaitu : Bob Mainake
dan Sonny Dahoklory, sementara tiga orang lainnya belum diketahui nasibnya yaitu :
Moritz da Costa, Ronald Mainake dan Cak Lopies. Menurut keterangan saksi korban
para penyerang mengenakan pakaian hitam-hitam dengan penutup wajah ala ninja,
menggunakan senjata standar TNI (M16 dan SS1) dan granat tangan.
Kopassus Beraksi
Tanggal 16 September 2002, sekitar pukul 10.00 Waktu Maluku, empat orang
anggota Kopassus, yang bermarkas pada gedung kantor Pengadilan Negeri Ambon
(Jln. Sultan Hairun) melakukan intimidasi terhadap para terdakwa kasus pengibaran
bendera RMS tahun 2002, yang berasal dari Saparua, yang perkaranya sementara
disidangkan pada pengadilan negeri Ambon. Kutipan kalimat intimidasi dari anggota
Kopassus tersebut antara lain :
"ini bila di zaman Suharto, kamu sudah kami bantai dan mayatmu dibuang ke laut,
biar jadi santapan ikan hiu ….."
"kamu jangan macam - macam, kalau berikan kesaksian yang benar aja ……
jangan mentang-mentang kamu RMS, ….. nanti kamu ditembak….."
Berdasarkan keterangan beberapa orang masyarakat, bahwa anggota Kopassus yang
ada di gedung Pengadilan tersebut terkesan bersikap sangat arogan dan
mengada-ada terhadap para pengunjung yang ingin menyaksikan jalannya
persidangan.
Pasukan Kopassus yang tergabung dalam Satuan Gabungan Intelijen (SGI) TNI, yang
di komandani oleh Mayor Kopassus Imam Santoso, juga melakukan operasi intelijen
terhadap anggota dan simpatisan FKM serta komponen-komponen perjuangan yang
menginginkan pengembalian Kedaulatan Republik Maluku Selatan (RMS), misi
operasinya adalah memata-matai, mengintimidasi, merencanakan penculikan dan
pembunuhan.
Berdasarkan kenyataan bahwa insiden-insiden yang terjadi di seluruh wilayah Maluku
("bumi seribu pulau'), terindikasi adanya keterlibatan anggota TNI / POLRI (baik
organik, maupun BKO) dan yang sangat memalukan adalah keterlibatan "katanya...
pasukan elite TNI" yaitu Kopassus, padahal kemampuannya hanya menakut-nakuti
masyarakat sipil tak bersenjata, dengan operasi intelijennya yang dengan mudah
dilihat dan diketahui oleh masyarakat umum (seperti berpura-pura menjadi penjual
pakaian, sepatu, barang loakan, penjaja es krim, tukang bakso, tukang sol sepatu
keliling dll), dengan tujuan untuk dengan mudah berinteraksi diantara masyarakat
umum.
Dengan demikian kekacauan di Maluku ("bumi seribu pulau"), terjadi karena hadirnya
Pasukan TNI / POLRI yang tidak melaksanakan tugasnya sebagaimana yang
diharapkan oleh masyarakat, tetapi sebaliknya menjalankan perintah atasannya, yang
adalah konspirator kekacauan di Maluku.
Kenyataan ini menyebabkan kehadiran TNI / POLRI di Maluku ("bumi seribu pulau")
dikategorikan sebagai Gerombolan Pengacau Keamanan atau Gerakan Pengacau
Keamanan (GPK), yang setiap saat dapat menimbulkan kekacauan dan tidak pernah
terungkap siapa dalang kekacauan tersebut.
Hal inipun sudah terbukti dengan sangat jelas dan trasparan didepan mata kita
selama 4 tahun rekayasa kerusuhan Maluku.
Adalah suatu kemustahilan apabila pelaku kejahatan itu mengakui kejahatannya
sendiri, kecuali dalam keadaan terpaksa atau terdesak.
Pemerintah Indonesia adalah penjahat itu sendiri, oleh karena itu pemerintah
Indonesia tidak akan mau mengungkapkan siapa pelaku kekacauan dan kejahatan di
Maluku.
Demikian laporan kami.
Amboina, 22 September 2002.
|