Jawa Pos, Rabu, 25 Sept 2002
Cuma Debt Collector?
BOGOR - Siapa sebenarnya Abdul Aziz alias Aziz Zenin? Jati dirinya masih menjadi
teka-teki. Namun, menurut beberapa tetangganya di Perumahan Griya Bakti Jaya,
Gunung Putri, Bogor, Aziz adalah pengungsi Ambon.
Aziz, yang tewas dalam ledakan granat miliknya di dekat eks mes Kedubes AS,
datang ke Gunung Putri setelah daerahnya diterpa kerusuhan. Tetapi, apakah karena
itu dia menyimpan motif politik terkait ledakan tersebut?
Rupanya, belum ada tengara ke sana. Aktivitas laki-laki yang bernama lengkap
Massoud Abdul Aziz Lestaluhu ini hanyalah debt collector alias penagih utang.
"Menurut istrinya, dia bekerja sebagai debt collector. Tapi, nggak tahu di mana
kerjanya," ungkap Ny Rita, tetangga Aziz di Griya Bakti Jaya Blok S, kemarin.
Laki-laki yang lahir di Ambon pada 19 September 1975 ini tak punya saudara lagi di
Ambon. Semuanya sudah meninggal. Informasi ini disampaikan Johny Fentriana,
ketua RT 5 RW 24 Kompleks Gunung Putri.
Menurut Johny, di antara keluarga Aziz yang paling aktif bersosialisasi adalah Hasan.
Dia adik ipar Aziz yang mengontrak rumah di Blok S juga. Dia di sana bersama Yusuf
Hataul, sopir Kijang yang tertangkap setelah ledakan.
Johny juga mendapat cerita bahwa keluarga Aziz dan istrinya telah meninggal karena
kerusuhan di Ambon. "Katanya dibunuh oleh saudaranya sendiri," ungkapnya. Dari
Hasan pula, diketahui bahwa Aziz seorang debt collector.
Apakah sang istri juga aktif? "Nggak terlalu aktif. Hanya, dia pernah meminta
kegiatan pengajian dilakukan di rumahnya," ungkapnya. Johny menjelaskan bahwa
tamu Aziz sering datang pukul 22.00-03.00. "Jadi, saya nggak tahu secara jelas.
Yang pasti, mereka juga orang Ambon," imbuhnya.
Johny menduga bahwa Aziz pernah tinggal di tempat lain di Bogor. Dari data RT,
anak Aziz bernama Affiany Aulia alias Reni lahir di Bogor pada 27 Juni 1999. Kalau
benar pengungsi, dia tinggal di sana tak lama setelah meletus kerusuhan Ambon,
Januari 1999.
Namun, ketua RT itu tak tahu Aziz tinggal di mana sebelumnya. "Bahkan, ketika
saya mintai KTP (kartu tanda penduduk), dia mengaku tidak punya. Alasannya, KTP
tersebut hilang akibat kerusuhan. Saya pun memaklumi itu," ungkap Johny di
rumahnya di Blok S 12 No 1.
Baru sekitar Oktober 2001, Aziz bersama istrinya, Fahria (bukan Bahria, Red)
Nahumarury, 27, dan putrinya, Reni, 3, menghuni rumah di Blok S 14 No 2. Rumah
itu milik Sunaryo yang tinggal di Tangerang, Banten.
Aziz bisa mengontrak rumah Sunaryo karena mengaku masih saudara Rusdi, teman
akrab Sunaryo. Rusdi sendiri memiliki rumah di Blok S 14 No 3 (sebelah rumah
Sunaryo).
Namun, Johny jadi heran, karena Fahria ternyata memegang KTP yang alamatnya di
RT yang dia ketuai.
Awal Juli lalu, Hasan dan Yusuf mengontrak rumah Rusdi yang sudah kosong dengan
harga Rp 700 ribu per tahun. Baru seminggu lalu Aziz memboyong istrinya ke
perumahan yang sama di Blok N VIII nomor 17. Karena itu, dia dan keluarganya
belum banyak dikenal tetangganya di Blok N.
Menurut M. Yusron, ketua RT 10 RW 27 di Blok N 8 No 17, sampai terjadinya
peledakan bom Senin dini hari itu, Aziz belum mengirimkan surat-surat identitas diri.
Dia berjanji akan mengirimkan surat identitas diri pada Senin (23/9). "Namun keburu
kejadian itu terjadi," kata Yusron.
Tetangganya di Blok S lebih mengenal keluarga Aziz daripada para tetangga yang
tinggal di Blok N. Menurut Ny Rita, istri Aziz adalah wanita yang baik. Karena
anaknya bersekolah di TK Nurul Iman, Fahria sering bersosialisasi dengan para
tetangganya. "Dia itu orang baik. Kadang juga datang ke pengajian dan arisan," tutur
Ny Rita sambil membopong anaknya.
Walaupun dikenal sebagai wanita yang baik, Fahria tidak pernah bercerita tentang jati
diri keluarganya. Apalagi latar belakang kehidupan keluarga Aziz. "Ya, kalau
ngumpul, paling cuma ngerumpi, kayak ibu-ibu rumah tanggalah," kata Ny Betty,
tetangga belakang rumah Aziz.
Baik Ny Betty maupun Ny Rita mengaku tidak pernah melihat sosok Aziz. Menurut
mereka, Aziz setiap hari berangkat pagi dan pulang malam. Kalau berangkat malam,
dia baru pulang pada pagi hari. "Kita tahu wajahnya saja pas di televisi," kata Ny
Betty.
Para tetangga tentu kaget ketika rumah yang dikontrak Aziz dan Hasan digerebek
polisi setelah ledakan Senin subuh di Menteng. Selain menangkap Hasan, polisi
mencokok Harun yang juga tinggal di sana.
Istrinya Bicara
Sementara itu, pukul 15.30 kemarin, jenazah Aziz dimakamkan di TPU Jeruk Purut,
Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur. Jenazah itu sebelumnya diambil dari RSCM
oleh istrinya sekitar pukul 14.30. Suasana haru mewarnai pemakaman itu. Sejak di
RSCM, Fahria menangis. Terlebih lagi ketika wanita 27 tahun itu melihat jasad
suaminya dimasukkan ke dalam liang lahad. Beberapa anggota keluarga berusaha
menenangkan Fahria.
Fahria memang telah "bebas" kemarin. Usai diperiksa semalam suntuk di Mapolres
Metro Jakarta Pusat, Fahria sekitar pukul 06.30 diperbolehkan pulang. Dia tidak
langsung pulang ke rumahnya di Gunung Putri, Bogor, tapi ke RSCM. Di sana, dia
mengurus segala macam keperluan untuk proses pemakaman suaminya.
Sejak diperiksa di kantor polisi, wanita berjilbab itu tak mampu menyembunyikan
kesedihannya. Setelah pemeriksaan dianggap cukup, polisi memperbolehkan Fahria
pulang.
Di RSCM, Fahria tidak sendiri. Dia ditemani sejumlah teman dan keluarganya.
Beberapa wartawan yang mencoba mendekati dihalangi kerabatnya.
Meski demikian, akhirnya, Fahria pun bisa diajak bicara. "Maaf ya Mas, saya nggak
bisa ngomong apa-apa. Anda tahu sendiri kan, suami saya baru meninggal. Tolong,
saya jangan diganggu dulu," ujarnya lirih.
Ketika ditanya tentang pekerjaan Aziz sebagai debt collector, Fahria mengiyakannya.
Benarkah Aziz teroris? "Suami saya bukan penjahat. Saya juga tidak tahu kenapa
ada granat di mobil yang ditumpanginya. Juga peluru yang ada di rumah kami. Tapi,
sungguh, dia adalah bapak yang sangat pengertian terhadap keluarga. Terutama
kepada anaknya," lanjut Fahria yang matanya bengkak itu.
Mahyadi, salah satu teman Aziz, juga mengakui bahwa selama ini Aziz dikenal
sebagai debt collector. "Setahu saya, Aziz memang suka menagih utang ke orang.
Hanya itu yang saya tahu. Soal lainnya, saya nggak bisa ngomong. Sebab, saya
cuma teman dan tak pantas membicarakan orang yang sudah meninggal," elak
Mahyadi.
Tak Libatkan Intelijen
Lalu, apa kata polisi? Hingga kemarin, Kapolri Jenderal Pol Da'i Bachtiar mengaku
belum mengetahui otak dan motif peledakan. Menurut Da'i, ledakan granat itu murni
dilakukan komplotan sipil, tidak melibatkan instansi lain, termasuk intelijen.
Saat menjawab wartawan, Da'i memang membantah rumor keterlibatan intelijen
dalam ledakan yang menewaskan Aziz itu. Kapolri menyebut, Aziz tidak memiliki
kaitan apa-apa ataupun binaan institusi tertentu.
Kapolri juga membenarkan dugaan sementara bahwa Aziz adalah seorang debt
collector. Keterangan itu diperoleh dari pengakuan istri Aziz, Fahria Nahumanury.
Yang mengaitkan Aziz dengan institusi tertentu adalah pertanyaan mengapa dia bisa
mempunyai granat dan 19 butir peluru FN standar militer? Da'i menolak memberikan
komentar soal ini. Mantan Kapolda Jatim itu meminta agar polisi diberi kesempatan
untuk menyelidiki kasus tersebut sampai tuntas.
Hal senada dikemukakan Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Makbul Padmanegara.
Perwira dengan dua bintang di pundaknya itu menegaskan, sampai saat ini, tidak ada
instansi tertentu. "Anda dapat informasi itu dari mana?" ujar Makbul, balik bertanya.
Mantan Kapolresta Malang, Jatim, itu menyatakan bahwa penyelidikan masih
difokuskan pada Yusuf Hataul, sopir mobil kijang kapsul yang digunakan pelakunya.
Namun, Yusuf mengaku tidak tahu apa pun soal granat yang meledak di mobil
bernopol B 8602 SD yang disopirinya tersebut.
Karena itu, Makbul menyatakan, untuk jawaban pasti apakah ledakan tersebut
disengaja atau tidak, pihaknya menunggu tertangkapnya dua pelaku lainnya, Faita
dan Lilik, yang kini masih buron. "Kalau mereka sudah tertangkap, mungkin ada
pengakuan baru. Bahkan, mungkin bisa dikembangkan siapa orang lain di belakang
mereka."
Karena itu, lanjut Makbul, jangan cepat-cepat mengambil kesimpulan dulu.
Semuanya masih dalam penyelidikan kita," tandasnya.
Dari hasil pemeriksaan terhadap Yusuf, diketahui bahwa granat nanas buatan Korea
itu meledak ketika sedang dipegang Aziz. Sebelumnya, saat berada dalam
kendaraan, Yusuf sempat mendengar Aziz berkata kepada dua temannya bahwa dia
membawa granat tangan.
"Granat tangan itu tiba-tiba meledak saat dipegang Aziz," jelas Makbul, menirukan
pengakuan Yusuf.
Keterangan paling gres Yusuf itu berbeda dengan pengakuan sebelumnya. Saat
pertama diamankan polisi, dia mengaku tidak tahu apa pun soal granat tersebut.
Bahkan, dia mengaku tidak mengetahui bahwa Aziz cs membawa granat tangan di
dalam mobil.
Yusuf mencla-mencle? "Kami maklum. Mungkin saat itu dia sedang panik. Jadi, dia
mengaku tidak tahu apa-apa agar tidak banyak ditanya polisi. Tapi, setelah
kondisinya agak tenang, Yusuf bisa bercerita agak banyak. Soal teknis tidak bisa
saya jelaskan, tunggu perkembangan selanjutnya," tegas Makbul. (dja/riz)
All Rights Reserved © Jawa Pos 2002 , Design by Jawa Pos DotCom
|