Pengadilan Lipstik
Tanggapan-tanggapan Joshua Lainnya
Salam Sejahtera!
Saudara-saudara semua,
Tertarik dengan judul tayangan Media Indonesia, "Pemerintahan Lipstik", saya lalu
memberi judul tulisan saya kali ini, "Pengadilan Lispstik". Setelah melihat contoh
Pengadilan Lipstik dalam kasus Pengrusakkan Kantor Gubernur Maluku di Ambon,
sekarang kita lihat contoh Pengadilan Lipstik lain yang terjadi di Ambon dan Jakarta.
Menurut Jaksa Penuntut Umum (JPU), Stef Pattiasina, SH, di dalam tuntutan
5-halamannya, Sdr. Yunus Markus dapat diancam dengan hukuman kurungan
seumur hidup, karena mengibarkan Bendera RMS di pantai desa Noloth, Saparua,
dengan balon gas. JPU ini lalu mengeluarkan sejumlah pasal dari KUHP, UU Darurat
No.23/1959, dan Peraturan PDSD-Maluku, untuk mendukung tuntutannya.
Kalau Joshua Latupatti dituduh "mencuri", maka JPU harus membuktikan bahwa
"barang yang ada pada Joshua Latupatti adalah barang yang dimiliki dengan tidak
sah, menurut hukum dan keadilan." Dengan kiasan sederhana itu, JPU Stef
Pattiasina, SH, harus membuktikan bahwa RMS adalah "negara yang tidak sah,
menurut hukum dan keadilan", bukan menurut kata-kata Soekarno atau pernyataan
Pemerintah NKRI. Setelah itu, barulah JPU Stef Pattiasina, SH, dapat menuduh
seseorang melakukan usaha separatis atau "makar tak bersenjata", ketika dia
menaikkan Bendera RMS dengan bantuan balon gas. Kalau mengatakan bahwa
"RMS adalah pemberontak, TANPA dasar hukum dan bukti sejarah", orang tidak
perlu susah-susah sekolah hukum untuk dapat gelar SH atau jadi JPU. Penjual koran
dan tukang becak juga bisa.
Tetapi, karena Pengadilan Ambon harus sejenis dengan Pengadilan Jakarta sebagai
"Pengadilan Lispstik", maka JPU model Stef Pattiasina, SH, dkk. harus menghukum
seumur hidup seorang yang menaikkan bendera RMS YANG SAH dengan balon gas.
Tetapi kawan dan handai tolan Laskar Jihad yang mengakibatkan nyawa ribuan orang
melayang, ratusan ribu orang sengsara, dan ribuan janda serta yatim-piatu, harus
dibenarkan demi pernyataan rasa setia kepada NKRI, sebagai milik Hamzah Haz,
Habib Rizieq, Jaffar Umar Thalib, dkk.
Lisptik di Ambon, Lisptik pula di Jakarta. Menurut Liputan6.com, 03/09/02, JPU
Herman Koedoeboen menolak eksepsi Ketua FKM Alex Manuputty dan Pempinan
Yudikatif FKM Samuel Waelaruni. Kata JPU Herman Koedoeboen, penolakan itu
dikeluarkan dengan "persetujuan Menkeh dan HAM." Pertanyaannya, "Apakah
Menkeh dan HAM itu sama dengan peraturan dan UU?" Menkeh dan HAM mau
setuju atau mau tidak setuju, bukankah seorang JPU harus tetap berpijak pada
peraturan dan UU?
Ketua Front Kedaulatan Maluku (FKM) Alexander Hermanus Manuputty dan Pimpinan
Yudikatif FKM Samuel Waelaruni, meminta agar persidangan kasus ini digelar di luar
Jakarta dan oleh Mahkamah Internasional. Tetapi, permintaan ini dapat disebutkan
sebagai "butir-butir kesimpulan dari keseluruhan eksepsi mereka!" Sebelum mereka
sampai pada kesimpulan tersebut, ada banyak TONGGAK-TONGGAK SEJARAH
MALUKU, NIT, RIS, RI DAN RMS YANG DICABUT NKRI, mereka pancangkan
kembali. Tonggak-tonggak sejarah itu mengatakan bahwa "RMS itu negara yang
SAH", sementara "keabsahan NKRI-lah yang perlu dipertanyakan"!
Penolakaan JPU Herman Koedoeboen, haruslah menyinggung tonggak-tonggak
sejarah dan hukum terebut, dan didasarkan atas hukum pula. Tetapi karena JPU
Herman Koedoeboen, harus "melayani NKRI di dalam kesetiaan", maka sidang ini
juga harus berbibir merah, dengan meminjam lipstik punya Menkjeh dan HAM, Prof.
Dr. Yusril Ihza Mahendra, setelah mencoba menghindar dengan mengatakan eksepsi
kedua tokoh FKM keluar dari KUHP.
Jika penolakan JPU Herman Koedoeboen yang harus berdasarkan hukum, mendapat
persetujuan dari Menkjeh dan HAM, Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, "Apakah
persetujuan terebut juga didasarkan atas hukum?" Menurut JPU Herman
Koedoeboen, alasan persetujuan Menkeh dan HAM adalah "faktor keamanan". Faktor
keamanan siapa dan terhadap siapa?
Melihat permintaan kedua tokoh FKM untuk diadili oleh Mahkamah Internasional,
maka tidak pelak lagi, yang dimaksud dengan "faktor keamanan" adalah "keamanan
dalam negeri", sebab YANG PUNYA NKRI seperti yang saya sebutkan di atas akan
mengamuk kesetanan. Sebagai Ketua Partai Bulan Bintang (PBB), tentulah Prof. Dr.
Yusril Ihza Mahendra tahu persis tabiat dan mental konco-konco seperjuangannya.
Akan ada para pengail di air keruh yang memanaskan massa untuk membantu
menyediakan "persembunyian" bagi Pemerintah NKRI, dari suara-suara yang
meneriakkan kebenaran tentang RMS dan ketidakbenaran tentang NKRI.
Liputan6.com kemudian mencoba mengingatkan pembaca bahwa, "Alex dan Semuel
didakwa makar karena mengibarkan bendera RMS pada HUT organisasi itu pada 25
April 2002. Padahal, pemerintah sudah melarang keras tindakan tersebut."
Saya ingin sampaikan khusus kepada Liputan6.com yang berbasis SCTV bahwa,
RMS itu bukan sebuah organisasi, tetapi SEBUAH NEGARA YANG SAH! Jika kalian
mampu, bantulah Pemerintah NKRI untuk membantah pernyataan saya, dan
hentikanlah ocehan yang tidak punya dasar penalaran seperti ini. Pemerintah NKRI
yang kalian bela itu, tidak punya dasar Hukum untuk melarang kegiatan FKM. Karena
itu, Pemerintah NKRI selalu memilih bungkam dan berlindung di balik
Pengadilan-Pengadilan Lisptik seperti ini.
Beginilah caranya Jakarta mengadu anjing. Setelah anjing Maluku yang Salam diadu
dengan anjing Maluku yang Sarani, sekarang anjing Sarani diadu dengan anjing
Sarani. Pattiasina lawan Markus dan Koedooboen lawan Manuputty. Nanti kalau
kedua anjing ini sudah mandi darah dan mati salah satunya, maka anjing Jakarta
tinggal menggondol tulangnya sambil ditatap oleh anjing Maluku yang sudah payah
karena BODOH dan DUNGU!
Dasar persetujuan Menkeh dan Ham, Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, "faktor
keamanan", telah memperlihatkan apa dan siapa itu NKRI saat ini. Negara yang
menjadi tak aman ketika keadilan akan ditegakkan adalah negara yang berdasarkan
ketidakadilan. Negara ini bukan lagi "berdiri di atas hukum", tetapi "menginjak-injak
hukum". Karena itu, walau tidak punya dasar hukum, Pemerintah NKRI melarang
kegiatan FKM, tetapi walau punya dasar hukum, Pemerintah NKRI tidak melarang
kegiatan FPI dan Laskar Jihad. Lihatlah bagaimana Polisi dan Pengadilan NKRI
ber-lipstik ria dengan Jaffar Umar Thalib dan konco-konconya, supaya tahu negara
macam apa ini. Betul tidak, Pak Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra?
Kita harus banyak berdoa untuk Negara ini. Saya katakan negara kalau memang
masih layak disebut sebagai sebuah Negara. Saya sudah tak yakin, sebab negara
biasanya melindungi rakyatnya dan bukan malah menyengsarakan rakyatnya. Saya
juga sudah tidak yakin dengan istilah bangsa, ketika kita saling bunuh dan ada yang
mengundang orang asing untuk ikut membunuh yang disebut bangsa sendiri.
Pantaslah, Malaysia dan Singapura menganggap kita ini remeh. Sebab kedaulatan,
kebangsaan dan keabsahan kita juga cuma sekedar Lipstik.
Salam Sejahtera!
JL.
|