The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

Seputar Kasus Penembakan Di Desa Kulur


Seputar Kasus Penembakan Di Desa Kulur
Tanggapan-tanggapan Joshua Lainnya

Salam Sejahtera!

Saudara-saudara semuanya,

Penembakan misterius terhadap tiga wanita Muslim terjadi di desa Muslim Kulur, Pulau Saparua, Maluku Tengah, sekitar Sabtu Malam, 7/09/02 hingga Minggu Pagi, 8/09/02. Ketiga wanita malang tersebut adalah Miftatul Ulumi (23), seorang guru yang sedang hamil 7 bulan, Fitria Litiloli (12), dan Fatimatu Tuhulele (11). Saya turut bersedih, untuk keluarga korban khususnya dan untuk Maluku umumnya.

Peristiwa menyedihkan ini tentulah disusuli oleh berbagai isu dan berita yang cukup simpang-siur dan membingungkan, sebagai langkah kedua di dalam usaha untuk merusuhkan Maluku. Beberapa media massa berikut ini sengaja saya kutip, sebagai contoh kesimpang-siuran yang bisa menyesatkan orang yang tidak hati-hati.

CCDA 9/09/02 : 1. VICTIMS ON SAPARUA ISLAND AND IN AMBON – In the early morning of Sunday, September 08, 2002, three young muslims – a girl aged 12, a girl aged 13 and a pregnant woman teacher aged 27 – were mysteriously killed by gunfire, while they were looking for edible shells on the shore near their village of Kulur, island of Saparua.

MANADO POST 9/09/02: Sedangkan informasi yang berhasil dihimpun JPNN dari warga Desa Kulur menyebutkan kalau insiden penembakan itu terjadi ketika korban Fatimah dan Fitria bersama Miftahul yang merupakan guru mengajinya tengah berada di pantai untuk mencari siput. Menurut warga, ketiga korban diberondong pengacau bersama senjata organik hanya berjarak 50 meter dari pos aparat keamanan yang berada di perbatasan desa itu. Ironisnya, pelaku penembakan tidak dikejar malah aparat melakukan barikade terhadap warga setempat yang berusaha untuk mengejar pelaku penembakan itu.

TEMPO 8/09/02: Ketiga korban tewas tertembus peluru di kepala. Nyonya Miftahul Ulum (23) adalah guru mengaji yang sedang hamil 7 bulan. MH Tuhulele, keluarga diantara korban, menjelaskan semula korban hendak pergi buang air ke pantai. Tapi, lama tidak kembali. Sejumlah warga pun mencari. Ternyata, Fitria dan Fatima telah ditemukan tidak bernyawa.

DETIKCOM 8/09/02: Miftatul Ulumi (23) adalah seorang guru yang sedang hamil 7 bulan. Penembakan itu terjadi saat Miftatul Ulumi sedang mengajar kepada anak-anak tersebut di tepi pantai. Menurut informasi yang berkembang di masyarakat sekitar lokasi, korban ditembak dari sebuah speed boat. Kapal kecil itu melaju dari arah Pulau Haruku menuju Saparua. Ketiganya meninggal dunia, setelah tertembak di bagian kepala.

MEDIA INDONESIA 8/09/02: Penembakan gelap terjadi Sabtu malam sekitar pukul 19.00 WIB. Sementara itu, menurut keterangan warga setempat bahwa ketiga korban bersama sejumlah warga lainnya sedang berada di pinggir pantai Kulur Saparua saat tiba-tiba terdengar suara tembakan dari arah laut. Aparat keamanan dari Kepolisian kini sedang mengejar pelaku penembakan itu.

MEDIA INDONESIA 9/09/02: Tiga wanita yang kemarin pagi sedang melakukan pengajian di pantai desa itu ditembak orang tak dikenal yang datang dari arah Desa Porto dan Desa Haria, yang juga tetangga Desa Kulur, Pulau Saparua. Muftahul Ulum, 23, seorang guru ngaji di desa itu. Muftahul sedang hamil tujuh bulan. Lokasi penembakan oleh orang tidak dikenal itu terjadi sekitar 50 meter dari pos Brimob Polda Nusa Tenggara Barat (TTB), yang bertugas mengamankan desa itu dari desa-desa tetangganya di Pulau Saparua, Maluku Tengah. Yusuf Litiloli, ayah Fitria, mengatakan sebelum peristiwa itu terjadi terdengar bunyi speed boat yang datang dari arah Desa Porto mendarat di pesisir pantai Desa Kulur. "Setelah terjadi penembakan, speed boat itu kabur dari pantai itu," kata Yusuf di sela-sela autopsi anaknya di RS Al-fatah, Ambon.

REPUBLIKA 8/09/02: Tiga wanita muslim, dua di antaranya anak-anak dan seorang dewasa, Minggu pagi (8/9) tewas tertembak orang tak dikenal di pantai Kulur Saparua, Ambon, dibawa ke Masjid Al Fatah Ambon. Sementara itu, menurut keterangan warga setempat bahwa ketiga korban bersama sejumlah warga lainnya sedang berada di pinggir pantai Kulur Saparua saat tiba-tiba terdengar suara tembakan dari arah laut.

SATUNET 8/09/02: Tiga wanita, dua di antaranya anak-anak, yang tewas tertembak orang tak dikenal di pantai Kulur Saparua, Ambon, dibawa ke Masjid Al-Fatah Ambon, Minggu Pagi. Menurut keterangan warga setempat, ketiga korban bersama sejumlah warga lainnya sedang berada di pinggir pantai Kulur Saparua ketika terdengar suara tembakan dari arah laut.

TKP: Peristiwa terjadi di pantai atau di daerah pantai desa Muslim Kulur, Pulau Saparua. Menurut Media Indonesia, TKP berada 50 meter dari pos Brimob Polda Nusa Tenggara Barat (TTB). Dengan kata lain, para korban harus berada di bawah pengawasan petugas Brimob tersebut, dan peristiwa penembakan haruslah disaksikan oleh mereka, atau paling sedikit didengar oleh mereka. Pertanyaannya, "Mengapa tidak satupun anggota Brimob dari pos tersebut yang muncul sebagai saksi atau pemberi keterangan?" Saksi malah menjelaskan bahwa aparat tersebut bukannya menambak balik atau mengejar penembak, tetapi menghalangi warga yang akan melakukan pengejaran.

SETTING: Saksi mengatakan bahwa korban ke pantai untuk buang air, tetapi orang desa (apalagi wanita) biasanya buang air ke pantai ketika hari gelap (Sabtu Malam atau Minggu Subuh). Saksi lain mengatakan bahwa korban sedang mengajar kedua muridnya di pantai, sementara saksi lain mengatakan mereka sedang belajar mengaji di pantai. Dua media memuat pengakuan saksi bahwa korban sedang berada di pantai untuk mencari siput (Maluku: bia), sambil belajar mengaji dan kegiatan ini sudah merupakan rutinitas tiap hari Minggu pagi. Saksi lain mengaku bahwa korban tidak sendirian, tetapi bersama sejumlah warga yang juga berada di pantai. Artinya, sedang belajar dan bersama warga lain menghapus kemungkinan bahwa korban sedang buang air, atau tertembak pada saat gelap. Masalah pertama, "Mengapa hanya dua murid, dan mengapa harus di pantai?" (''Biasanya pada minggu-minggu lalu ada sekitar belasan anak yang ikut pengajian di lokasi tersebut, tetapi minggu kemarin korban hanya bertiga saja,'' ujar Ny Maryam.) Masalah kedua, "Menapa hanya mereka yang dijadikan sasaran jika sejumlah warga juga ada bersama mereka?"

PENEMBAK: Menurut sejumlah warga yang ada bersama korban, tembakan berasal dari arah laut. Yang lain memberikan pengakuan yang lebih terarah, bahwa penembak berada di atas Speedboat yang melaju dari pulau Haruku ke arah pulau Saparua. Saksi lain membawa berita bahwa penembak datang dari desa Kristen Porto dan Haria. Ayah korban, Yusuf Litiloy malah mendengar penembak datang dengan speedboat dari arah desa Kristen Porto, mendarat di pantai desa Kulur, menembak korban, lalu pergi segera. Kita tentu tidak bisa berpegang pada kesaksian Yusuf Litiloy yang hanya berdasarkan "telinga awam". Keadaan pantai dengan sejumah warga dan pos Brimob NTB sejauh 50m, juga tidak mendukung kesaksian Yusuf Litiloy. Jika penembak itu berada di dalam speedboat, tentulah kedatangan speedboat asing akan lebih menarik perhatian. Sayangnya, kesaksian lebih memberi kesan tembakan tiba-tiba dari speedboat yang tidak diperhatikan sebelumnya. Jika speedboat menembak, tentulah warga akan panik dan berlarian, sementara aparat Brimob di pos tersebut akan balas menembak ke arah laut. "Mengapa desa Muslim Kulur dan pantainya tetap aman dan damai tanpa gejolak?" Selain itu, dibutuhkan seorang "super sniper" untuk menembak dari speddboat yang sedang melaju, untuk tepat mengenai kepala ketiga korban yang jauh di pantai. Di dalam skenario "super sniper ini", barulah anggota TNI/Polri bisa dicurigai. Lalu mengapa beberapa orang mulai "menunjuk TNI" sebagai pelaku penembakan?

SEBAB KEMATIAN: Tiga peluru bersarang di tiga kepala oleh tiga tembakan jitu. Tembakan jarak jauh? Mungkin, tetapi peryaratan untuk itu cukup berat. Kesimpulan yang paling mudah adalah "penembakan jarak dekat!" Yang perlu dicari adalah kemungkinan latar-belakangnya, atau yang sering disebut sebagai "motivasi"-nya.

Sebelum sampai ke sana, saya harus mohon perhatian pembaca bahwa saya sedang mencoba mencari sebab peristiwa ini, dan bukan hendak menghina atau merusak nama baik siapa-siapa, apalagi para korban tersebut. Begitupun, saya mohon maaf yang dalam, apalagi jika analisa saya ternyata jauh dari sasaran. Saya juga mohon ampun pada Tuhan Yesus jika saya salah menilai situasi.

KEMUNGKINAN-KEMUNGKINAN : Miftatul Ulumi (23) adalah seorang guru yang sedang hamil 7 bulan. Ada satu atau dua sumber berita yang menyebut "nyonya Miftatul Ulumi", tetapi tidak satu mediapun juga yang mau menyebutkan apa-apa tentang "suaminya"; apa katanya, atau apa yang dirasakannya. Maryam Litiloli diberikan kesempatan untuk mengomentari anaknya yang semata-wayang, sementara suaminya diambil sebagai saksi, tetapi "suami" Miftatul Ulumi tidak sedikitpun digubris media. Dapatkah dibayangkan betapa menderitanya seorang "suami" dan "calon ayah" yang harus kehilangan isteri dan anaknya? Lalu mengapa perasaan "suami" dan "calon ayah" ini sepertinya tidak dihargai oleh media massa? Kalaupun peristiwa penembakan ini akan digunakan sebagai "pembakar massa", bukankah penderitaan "suami" dari iateri yang hamil 7 bulan dan dan "calon ayah" dari janin berumur 7 bulan ini adalah "bahan bakar" yang cukup efektif? Mengapa tidak dimanfaatkan juga? Keadaan ini memaksa saya sampai pada pertanyaan yang cukup serius, "Apakah Miftatul Ulumi sudah menikah secara sah?" Apakah "status" Miftatul Ulumi ini yang menghalangi media untuk mencapai "suaminya"? Sepertinya, masalah "status" Miftatul Ulumi harus dijauhi, dan karena itu peristiwa ini lalu dibumbui dengan berbagai macam kesaksian yang tidak masuk akal, mulai dari setting keadaan di pantai desa Kulur, asal penembak yang "didengar" berasal dari desa Kristen Porto dan/atau Haria, hingga ke penembak tepat yang super-sniper tersebut. Semua ini memaksa saya untuk melihat kemungkinan yang melatar-belakangi peristiwa ini justeru bisa berasal dari "kecemburuan atau ketakutan/kejengkelan terhadap tuntutan pertanggungan jawab (harus menikah)." Jika suaminya atau calon suaminya orang sipil dan tidak terlalu memiliki kekuasaan/pengaruh sosial-ekonomi, persoalan ini mungkin akan bisa diungkapkan. Tetapi, jika suaminya atau calon suaminya adalah anggota Militer/Polisi, maka kemungkinan besar adalah bahwa peristiwa ini akan dipeti-eskan.

Kemungkian lain. Menurut Maryam Litiloy, ibu dari Fitria Litiloy, ''Kami kecewa cara-cara pengamanan yang dilakukan aparat keamanan seperti itu. Padahal saat itu pelaku penembakan bisa diringkus kalau saja aparat keamanan mau mengejarnya.'' Tidak jelas apakah ibu ini melihat sendiri peristiwa tersebut, atau memperoleh keterangan dari orang lain, yang jelas adalah bahwa penembakan itu terjadi dari jarak yang cukup dekat. Kesaksian ini menghilangkan kemungkinan tembakan dari laut/speedboat. Jika penyerang itu adalah warga sipil, maka istilah "memberondong" dapat digunakan, tetapi sasaran orang awam akan selalu ke arah target yang lebih besar/luas, seperti badan. Jika penyerangnya adalah warga sipil bersenjata, maka aparat yang ada di pos tidak akan segan-segan untuk melawan dan mengejar mereka. Situasi hanya memberikan dua kemungkinan, bahwa penyerangnya adalah aparat seangkatan (Brimob) atau anggota TNI. Tembakan tepat hanya di kepala juga menggugurkan istilah "berondongan" dan kemungkinan tindakan sipil bersenjata. Kemungkinan seperti yang dituduhkan saksi Ulu Tuhulele, (40) yang juga adalah bibi kandung korban Fatimah, bahwa di pos penjagaan tersebut sebagian besar adalah aparat dari komunitas tertentu (tentunya Kristen), tidak dapat digunakan di sini. Sebab "sebagian kecil" aparat yang bukan Kristen akan menjadi hambatan besar dan saksi yang mematikan. Sementara itu, tidak ada "hukum rimba" yang berlaku untuk menentukan jenis aparat yang berkuasa karena jumlahnya. Ibu korban juga kuatir bahwa "aparat yang selama ini bertugas di tempat tersebut yang telah memberitahukan kepada pelaku penyerang bahwa di pantai sering diadakan pengajian di tempat tersebut. Karena tidak mungkin para penyerang ini bisa mengetahui lokasi korban berada." Hal ini mungkin terjadi, tetapi bagaimana dengan saksi-saksi dan sejumlah warga yang katanya juga berada di pantai? Jika aparat pos bekerjasama dengan penyerang, mengapa mereka begitu bodoh untuk membuka kedok mereka dengan melarang warga mengejar penyerang? Kemungkinan yang paling sesuai adalah bahwa "penyerangnya adalah orang biasa yang mengenal baik daerah sekitar desa Kulur dan kegiatan rutin Miftatul Ulumi dan murid-muridnya (alm), dan dikenal serta disegani aparat jaga di pos tersebut. Siapa lagi yang dikenal baik dan disegani kalau bukan anggota TNI di sekitar situ? Warga yang mengejar dicegat aparat, selain karena tak ada gunanya (mereka akan mati konyol) dan masalah akan lebih membesar dan menarik perhatian, sehingga mereka lebih mungkin berada di dalam kesulitan (korban para pengejar sipil ini tidak mungkin dihindari aparat tersebut). Penyerang dibiarkan mendekati korban dan sangat mungkin malah bisa berdialog dengan korban, sehingga semua harus mati (saksi hilang) dengan tembakan jarak dekat ("warga juga berhasil menemukan sejumlah selongsong amunisi dari senjata SSI. Bekas-bekas amunisi itu, kata Ulu, berhamburan tak jauh dari ketiga korban itu") di kepala. Walau motivasi yang paling tepat di balik kemungkinan ini adalah "keinginan untuk mengacau Maluku", kerahasiaan "suami" Miftatul Ulumi yang hamil 7 bulan muncul sebagai titik yang tidak terhubungkan.

Apapun jawabannya, situasi Maluku di mana para penjahat dan perusuh bisa leluasa meledakkan dan menembak warga sipil, tanpa berhasil ditangkap dan diadili (kasus bom RM. Nelayan-Hotel Amboina, Penyerangan desa Soya, dsb) adalah tanggung jawab Pemerintah NKRI. Sayangnya, Pemerintah NKRI lewat Wapres Hamzah Haz hanya mampu meneriaki aparat dan aparat, lalu aparat lagi, tanpa mau membersihkan Maluku dari pihak ke-3 dan pihak yang mensyukuri dan menjala keuntungan dengan adanya peristiwa-peristiwa pengeboman dan penembakan misterius tersebut. Saya tidak percaya bahwa pembakaran mobil dan sopir yang Kristen itu dilakukan oleh "warga asli Muslim desa Batumerah" yang berpela-gandong dengan desa Kristen Passo. Penyebaran isu-isu bohong tentang pembantaian 12 orang Muslim di desa Kristen Passo adalah bukti permainan jahat dari pihak-pihak tersebut, yang tidak sejahtera dan tidak akan memperoleh keuntungan dengan dipulihkannya keakraban persaudaraan kedua desa (batumerah-Passo) yang kembali terjalin.

Lebih menyedihkan lagi, Wapres Hamzah Haz malah menghubungkan peristiwa pengeboman dan penembakan misterius tersebut dengan kehadiran pasukan asing di Maluku yang sudah tertutup tersebut (ASSOCIATED PRESS, Friday September 6, 2002 5:19 AM ET). Kata Hamzah Haz, "My conclusion is that (the perpetrators of the violence) aren't just from inside the country, but there are also external forces that don't like a stable Indonesia." "They want to see Indonesia in continual crisis." Sangat dikuatirkan bahwa tuduhan Wapres yang menyedihkan ini akan memberikan alasan kuat yang baru bagi Mabes TNI di Jakarta sana, untuk menjejali Maluku dengan satuan-satuan TNI Penyengsara rakyat seperti pasukan siluman/gelap Kopasus di Maluku dan di Poso.

Maluku harus segera sadar dan bertobat, supaya Tuhan mau melepaskan kita dari permainan politik kotor yang tidak menghargai nyawa umat manusia dan menghalalkan segala cara demi pencapain tujuan yaitu keinginan akan kekuasaan dan uang. Berdoalah supaya bangsa dan negara ini tidak semakin terperosok ke dalam Lumpur kebinasaan dan semoga Tuhan Yesus mengampuni Pemerintah NKRI, TNI dan POLRI, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat atau berpura-pura tidak tahu apa yang mereka perbuat. Tuhan Yesus juga kiranya menguatkan keluarga-keluarga dan kerabat yang ditimpa kesususahan dan kesedihan karena peristiwa-peristiwa ini. Mereka ditimpa kemalangan karena kesalahan dan dosa kita juga dan karena itu, berdoalah juga supaya Tuhan Yesus Kristus mau mengampuni kesalahan dan dosa kita semua.

Salam Sejahtera!

JL.
 


Copyright © 1999-2001 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/unpatti67
Send your comments to
alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044