KOMPAS, Jumat, 6 September 2002
Islam, Agama Populer atau Elitis?
Oleh Abdurrahman Wahid
PADA tahun 1950-an dan 1960-an, di Mesir terjadi perdebatan sengit tentang bahasa
dan sastra Arab, antara para eksponen modernisasi dan eksponen tradisionalisasi. Dr
Thoha Husein, salah seorang tunanetra yang pernah menjabat menteri pendidikan dan
pengajaran serta pelopor modernisasi, menganggap bahasa dan sastra Arab harus
mengalami modernisasi, jika diinginkan ia dapat menjadi wahana bagi
perubahan-perubahan sosial di zaman modern ini.
Ia menganggap bahasa dan sastra Arab yang digunakan secara klise oleh
sajak-sajak puja (al-madh) seperti bahasa yang digunakan dalam dziba'iyyah dan
al-barzanji sebagai dekadensi bahasa yang justru akan memperkuat tradisionalisme
dan menentang pembaruan. Dari pendapat ini dan dari tangan Dr Thoha Husein, lahir
para pembaru sastra dan bahasa arab yang kita kenal kini.
Nama-nama terkenal seperti Syauqi Dhaif dan Suhair Al-Qalamawi muncul sebagai
bintang-bintang gemerlap dalam perbincangan mengenai pembaruan bahasa dan
sastra Arab. Sejak masa itu, muncul mazhab baru bahasa Arab, yang dirasakan oleh
mereka sebagai pendorong dinamika dan perubahan sosial. Bahasa dan sastra Arab
dari masa lampau, yang lebih berbau agama dikesampingkan oleh kebangkitan
kembali bahasa dan sastra Arab masa pra-Islam ('asr al-jabiliyah).
Dalam pandangan ini, produk-produk dekaden harus dikesampingkan, guna memberi
jalan kepada proses modernisasi bahasa dan sastra Arab. Ini merupakan reaksi
terhadap faham serba agama yang merajai Timur Tengah sebelum itu, sejalan dengan
tumbuhnya nasionalisme Arab (al-qawmiyyah al-arabiyyah) yang kala itu menjadi
pikiran dominan di kalangan para pemikir Arab. Dengan demikian, tradisionalisme
yang dibawakan agama, dianggap sebagai penghalang munculnya kecenderungan
baru itu. Karena sifatnya yang intelektual, pandangan ini tidak langsung diikuti rakyat
kebanyakan, hanya menjadi pemikiran elitis kaum cendekiawan di negeri-negeri Arab
selama 25 tahun.
***
DI negeri kita juga berkembang kemunculan kelompok nasionalis, namun tidak
dengan sikap memandang rendah tradisionalisme yang dibawakan agama. Namun,
ada persamaan antara pandangan elitis antitradisionalisme bahasa dan sastra Arab di
kalangan bangsa-bangsa Arab, dan elitisme kaum cendekiawan yang tidak
menyentuh pikiran-pikiran rakyat awam di negeri itu. Dengan demikian, agama
dengan tradisionalismenya tidak dipersalahkan jika menghambat kemajuan. Mungkin
ini disebabkan kekuatan politik organisasi tradisional agama, seperti NU.
Tradisionalisme agama yang dibawakan justru menyatu dengan kaum nasionalis,
karena keduanya harus berhadapan dengan modernisme non-ideologis yang datang
dari Barat, dalam berbagai bentuk. Yang terpenting di antaranya adalah pragmatisme
yang dibawakan faham teknokrasi, yang di permukaan berarti penyerahan diri total
kepada sistem nilai yang dimiliki orang-orang Barat.
Modernisasi dianggap sebagai pengikisan tradisionalisme agama dan rasa
kebangsaan kaum nasionalis. Tidak heran, jika yang muncul di permukaan adalah
manifestasi tradisionalisme agama itu sendiri. Digabung dengan semangat
nasionalisme yang mengagungkan kejayaan masa lampau, kedua kecenderungan itu
menampilkan tradisionalismenya sendiri: anti-Barat, antipenuhnya rasionalisme dan
penghormatan berlebihan kepada masa lampau. Bila hal ini diingat benar, dengan
sendirinya kita melihat kedangkalan pendekatan tradisional itu, dan mengembalikan
pertimbangan-pertimbangan rasio ke tempatnya semula.
Manifestasi budaya dari munculnya kembali tradisionalisme agama itu, seperti
terlihat dalam belantika musik kita dewasa ini. Musik Arab tradisional dengan enam
belas birama (bahr, pluralnya bubur) seperti ada dalam sajak-sajak Arab tradisional
yang hampir seluruhnya didominasi sajak-sajak keagamaan, muncul sebagai "wakil
agama" dalam belantika musik kita dewasa ini. Pembaruan bahasa dan sastra
nasional, yang dirintis Sutan Takdir Ali Syahbana tidak sampai menyentuh akar
tradisionalisme agama itu dan sebagai akibatnya kita melihat sebuah penampilan
yang lucu: bahasa dan sastra nasional yang diperbarui dan berwatak kontemporer
dan-pada saat yang sama, menampilkan tradisionalisme agama.
***
DENGAN memperhatikan kenyataan itu, kita sampai pada sebuah pertanyaan
fundamental: haruskah kehidupan beragama kita semata-semata berwatak tradisional
dan adakah penggunaan rasio dalam menyegarkan kembali tradisionalisme agama itu
dianggap sebagai "bahasa"? Pertanyaan ini patut dipikirkan jawabannya secara
mendalam, karena percampuran antara semangat kebangsaan kaum nasionalis dan
tradisionalisme agama hanya membawa hasil positif di bidang politik belaka, bukan di
bidang budaya dan bahasa. Tradisionalisme agama tidak menyukai ideologi-agama
dalam kehidupan bernegara, seperti terbukti dari penolakan atas Piagam Jakarta.
Kehidupan beragama kita, yang dengan sendirinya membawakan aspek kebudayaan
dalam kebudayaan kita, bagaimanapun juga harus berwatak rasional. Apa yang
dikemukakan AA Navis dalam cerpen Robohnya Surau Kami adalah rasionalitas
kehidupan beragama yang kita perlukan, bukannya sesuatu yang harus ditakuti. Ini
tidak berarti memandang rendah tradisionalisme agama, karena elemen-elemen
positif dan rasional dari tradisionalisme itu sendiri harus kita teruskan. Tetapi,
unsur-unsur irasional yang akan menghambat pem-fungsi-an tradisionalisme itu
sendiri harus diganti dengan nilai-nilai rasional yang akan menjamin kelangsungan
tradisionalisme agama itu sendiri. Sama halnya dengan kontrareformasi yang dijalani
gereja Katolik Roma, yang diperlukan untuk menjamin kelangsungan hidup
tradisionalisme agamanya. Penggunaan gamelan di satu sisi-misalnya, dan musik
hardrock serta rap di sisi lain, sama-sama rasionalnya dalam penyampaian
pesan-pesan gerejawi melalui misa dan sebagainya.
Dengan demikian, revitalisasi tradisionalisme agama amat diperlukan, dalam bentuk
memasukkan unsur-unsur rasional ke dalamnya, hingga tradisionalisme agama itu
sendiri dapat dirasakan sebagai kebutuhan baik di kalangan elitis yang diwakili para
cendekiawan, maupun rakyat jelata yang mengembangkan tradisionalisme agama
populis. Di sinilah terletak tantangan yang dihadapi Islam di negeri kita, dengan
penduduk Muslimnya yang berjumlah lebih dari 170 juta jiwa. Masalahnya kini,
bagaimana mengembangkan modernisme agama dan tradisionalisme agama yang
serba rasional, dan menghindarkan agar keduanya tidak bertabrakan secara praktis.
Dapatkah kaum Muslimin di negeri ini mencapai hal itu?
Abdurrahman Wahid Ketua Dewan Syura DPP PKB
Copyright © 2002 PT. Kompas Cyber Media
|