KOMPAS, Senin, 9 September 2002
Pertemuan Akar Rumput Awal Rekonsiliasi Hakiki di Ambon
kompas/pepih nugraha
[Photo: Peluk Haru - Pertemuan antara Ibu Raja Passo yang berasal dari komunitas
Kristen dengan Bapak Raja Batu Merah dari komunitas Islam, Kamis (5/9) di Desa
Passo, menjadi pertanda baik terciptanya rekonsiliasi di Kota Ambon. Pertemuan itu
mengharukan, sebab baru dua pemimpin adat dari dua desa inilah yang pertama kali
mengadakan silaturahmi. Sambutan haru serupa terjadi di Desa Batu Merah yang
Muslim saat Ibu Raja Passo bersilaturahmi ke kawasan tersebut.]
ANGIN laut Teluk Ambon Baguala berembus kencang saat Ibu Raja Passo Ny
Maitimu berpelukan erat dengan Bapak Raja Batu Merah. Air mata mengalir dari
kedua tokoh masyarakat adat di Maluku, khususnya Kota Ambon, saat keduanya
bertemu di Desa Passo, Rabu (4/9) lalu.
Alat musik tiup dari kerang yang disebut tafuring yang dimainkan seniman lokal
Meles Laahua, memainkan nada rendah, menambah syahdu pertemuan antardua
komunitas yang selama tiga tahun terakhir pernah bertikai di Kota Ambon. Panas
terik saat Matahari tepat berada di ubun-ubun, tidak menjadikan suasana membara,
namun justru larut dalam kesejukan sebuah awal persahabatan yang permanen.
"Kami sudah sejak lama merindukan suasana seperti ini," tutur Ibu Raja Passo lirih.
Sementara Bapak Raja Batu Merah mengangguk perlahan. Lewat pengeras suara
pembawa acara berseru, "Kita sambut saudara-saudara Muslim kita dari Batu Merah
dengan keyakinan bahwa kita semua bersaudara!"
Dua jam sebelumnya, pertemuan serupa terjadi di Desa Batu Merah. Namun, di desa
ini, justru tokoh masyarakat Batu Merah yang menyambut kedatangan tokoh
masyarakat Desa Passo dengan tarian-tarian bernuansa Islam. Lantas tarian
persahabatan milik warga Kota Ambon, yang dulu sering dimainkan tanpa melihat
perbedaan agama dan suku, menyambung tarian Islami yang dibawakan remaja dan
belasan anak-anak Batu Merah. Tarian berhenti di Depan Masjid An Nur yang sudah
berdiri sejak tahun 700-an dan direnovasi terakhir tahun 1618.
Tidak aneh jika mantan duta besar untuk Kerajaan Inggris zaman Soeharto, Jusuf
Effendy Habibie-akrab disapa Fanny-yang hadir di Desa Passo, menitikkan air mata
haru. Tangis serupa mengalir dari tokoh masyarakat lainnya yang menyaksikan
pertemuan bersejarah tokoh adat yang sangat dihormati ini.
Desa Passo yang dihuni komunitas Kristen berbilang jarak 20 kilometer dari Desa
Batu Merah yang dihuni komunitas Islam. Kedua desa berada dalam wilayah Kota
Ambon. Wali Kota Ambon Jopie Papilaja menyempatkan hadir dalam pertemuan yang
menurut adat setempat masih belum bisa disebut sebagai pelagandong.
"Ini bukan pula pertemuan panaspela, sebab kalau panaspela mensyaratkan adanya
pertikaian sebelumnya. Kami warga Muslim tidak lagi bertikai dengan warga Kristen.
Ini pertemuan kekeluargaan, sebab pada dasarnya katong samua basudara," kata
Jusuf Eli, tokoh masyarakat Kota Ambon yang hadir dalam pertemuan itu.
APA pun namanya, panaspela, pelagandong atau yang disebut pertemuan
kekeluargaan adalah langkah awal dari rekonsiliasi sesungguhnya yang berasal dari
masyarakat. Apalagi kegiatan akan disusul dengan "pertukaran pemuda", yaitu
pemuda Passo akan membantu membangun masjid di Batu Merah.
Sebaliknya, pemuda Batu Merah membantu membangun gereja di Passo. Pertemuan
yang memang dikehendaki grassroot lebih efektif dibanding pertemuan "rekayasa"
yang biasa datang dari atas (pemerintah). Masuk akal kalau Panglima Komando
Operasi Pemulihan Keamanan (Pangkoopslihkam) merangkap Pangdam Pattimura
Mayjen TNI Djoko Santoso, mengingatkan Fanny di kantor gubernur sesaat sebelum
berangkat ke kedua desa itu.
"Terus terang terhadap kegiatan rekonsiliasi ini saya sangat hati-hati, meski secara
prinsip saya setuju. Tetapi saya juga tidak bisa cegah kegiatan rekonsiliasi. Kalau
saya larang, nanti saya dikatakan 'orang mau damai kok dilarang'. Kalau yang
menyangkut pertemuan budaya seperti ini saya serahkan kepada Pak Gubernur,"
kata Djoko Santoso yang didampingi Kapolda Maluku Brigjen (Pol) Soenarko DA.
Kemudian perwira berbintang dua itu menyarankan agar proses kegiatan itu tidak
terlalu banyak memakan waktu ritual dan pidato yang berkepanjangan. Gubernur
Maluku M Saleh Latuconsina yang juga hadir dalam briefing singkat itu membenarkan
apa yang dikatakan Pangdam. Menurut dia, kekuatan dari persahabatan
antarkomunitas di Ambon tidak hanya pelagandong, sebab tidak semua orang tahu
istilah tersebut.
"Kami memang selalu hati-hati apabila berlangsung seremonial besar," katanya.
Mungkin gubernur masih terikat "pawai perdamaian" awal Maret 2002 lalu, yang
berubah menjadi kerusuhan dan sempat menghilangkan kembali rasa percaya
antarwarga dan antarkomunitas.
Dalam silaturahmi itu adik mantan Presiden BJ Habibie ikut hadir, karena mendapat
titipan sumbangan masyarakat Maluku di Belanda. Fanny sendiri mengaku tidak
punya uang untuk kegiatan semacam itu. "Beta seng punya uang, maar beta hanya
dititipi uang sama katong punya saudara-saudara di Belanda," kata Fanny Habibie
dalam dialek Ambon yang fasih saat menjelaskan kehadiran dirinya.
TIDAK dapat dipungkiri, keamanan Kota Ambon pada Awal September ini sudah
semakin kondusif. Atau dalam istilah Wali Kota Ambon Jopie Papilaja, "Ambon sudah
semakin aman dan manusiawi."
"Sekarang memang sudah waktunya membangun ekonomi, bukan zamannya lagi
terlibat konflik, masyarakat sudah muak dan lelah," kata John Sugiono, warga Kota
Ambon.
Bagi Luki Alfons (23), seorang penarik becak dari Batu Gajah (Kristen) yang biasa
mangkal di depan Pasar Netral, dirinya mengaku sudah tidak bakal lagi terprovokasi
oleh pihak-pihak yang memang ingin memelihara konflik. "Yang beta mau, beta
tenang cari uang," kata lajang yang mengaku berpenghasilan Rp 50.000 sehari.
Indikasi sudah penatnya masyarakat Maluku, khususnya Kota Ambon terlibat dalam
pertikaian, semakin tampak dari tidak mudahnya kedua komunitas untuk
terprovokasi.
Padahal, sejumlah peristiwa "besar" dalam tahun 2002 ini pernah menghantui warga.
Sebut misal, "pawai perdamaian" yang berubah menjadi kerusuhan pada awal Maret
2002. Disusul terbakarnya kantor gubernur pada 3 April, lalu pelepasan balon gas
berisi bendera republik maluku selatan (RMS) 25 April. Kemudian peristiwa ledakan
bom di belakang Pasar Citra akhir Juli lalu, dan terakhir ledakan bom di Lapangan
Merdeka yang menewaskan tiga atlet pelajar, Kamis (5/9).
Semua peristiwa itu sebetulnya bisa memantik api kerusuhan yang meluas. Tetapi,
oleh sebagian warga Ambon, ternyata dianggap angin lalu, meski sempat mengusik
rasa saling percaya antarwarga. "Kita samua seng terpancing lai," imbau John
Sugiono.
Wali Kota Jopie Papilaja menekankan bahwa suasana aman dan tenteram dengan
sendirinya akan datang bila kegiatan ekonomi pulih seperti sediakala.
Apa yang dilakukan dua komunitas Desa Passo dan Desa Batu Merah di atas tentu
tidak ada kaitannya dengan kegiatan ekonomi. Tetapi paling tidak, pertemuan itu
akan semakin mempertebal keyakinan warga Ambon dan umumnya warga Maluku,
bahwa sesungguhnya katong samua basudara (kita semua bersaudara). (PEP)
Copyright © 2002 PT. Kompas Cyber Media
|