KOMPAS, Rabu, 16 Oktober 2002
Poso Setelah Ledakan Bom
dok kompas/sidik pramono
PELEDAKAN bom terjadi lagi di pusat Kota Poso, 26 September 2002. Meski tidak
menelan korban jiwa, yang bikin miris, peledakan ini terjadi di kawasan Pasar Sentral
yang tidak jauh dari Kantor Polres Poso. Targetnya adalah sebuah angkutan kota
dengan modus si pembawa bom menitipkan bungkusan kepada sopir angkutan, yang
muatannya penuh penumpang yang siap berangkat. Benarkah aparat keamanan
kembali kecolongan?
Padahal, sekitar satu jam sebelumnya helikopter yang antara lain ditumpangi Kepala
Polda Sulawesi Tengah (Sulteng) Brigjen (Pol) Zainal Abidin Ishak baru saja
meninggalkan Poso. Dari Palu, Zainal Abidin turut mengantarkan rombongan
penceramah yang terdiri dari KH Abdullah Gymnastiar dari Pondok Pesantren Daarut
Tauhiid, Bandung, dan Pendeta IP Lambe dari Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia
(PGI). Tim pembinaan mental-spiritual yang difasilitasi Kantor Menteri Koordinator
Bidang Kesejahteraan Rakyat ini sengaja didatangkan dari Jakarta untuk memberikan
siraman rohani kepada warga Poso. Pengamanan saat itu sebenarnya sudah lebih
ketimbang hari biasa.
Pada Rabu, 25 September sore, di Poso Kota, ribuan orang memadati Lapangan
Kasintuvu, Desa Lawanga untuk mengikuti ceramah Abdullah Gymnastiar-yang biasa
disapa dengan Aa Gym-yang segar dan menyejukkan. Bahkan, sambutan tidak kalah
meriah diterima Aa Gym di Tentena, basis masyarakat Nasrani di Kabupaten Poso.
Bahasa universal yang disampaikan Aa Gym mengena di hati lebih dari 500 jemaat
Gereja Moria. Ceramah IP Lambe pun pastilah tidak kalah menyejukkan. Seperti
dijanjikannya ketika ditemui Kompas di Poso Kota sebelum beranjak ke Tentena,
Lambe menyebutkan, yang perlu diketuk hanyalah kesadaran sesama umat untuk
menyadari bahwa pertikaian yang ada telah meninggalkan kesia-siaan panjang.
Mengetuk kembali kesadaran bahwa mereka lahir dan hidup bersaudara tanpa melihat
beda, seperti yang pernah terjadi di Poso sebelum konflik berlangsung, merupakan
bagian penting dari misi pembinaan mental-spiritual ini.
Sebelum pelaksanaan acara sekalipun, tokoh deklarator dalam Perjanjian Malino I,
Daeng Raja dan Pdt Ny Lies Sigilipu Saino, berharap forum seperti itu bisa
menjembatani kerinduan akan perdamaian dengan kemarahan dan kekecewaan
akibat konflik yang tidak kunjung usai. Kenyataannya, antusiasme masyarakat pun
persis seperti yang diharapkan. Kerumunan massa yang begitu santun selama
ceramah berlangsung menerbitkan harapan bahwa mereka sudah jenuh bertikai.
Mereka mau memperbaiki puing-
puing kerusuhan. "Siapa, to, yang mau terus-terusan ribut, Mas," kata Lasimun (39)
asal Gebangrejo, tukang ojek yang membawa Kompas memutari Poso Kota. Lasimun
sebelumnya tinggal di kawasan Kilometer 9, di dekat bekas Pesantren Walisongo
yang dibakar saat kerusuhan berlangsung.
***
JADI, ketika ledakan bom itu terjadi lagi, ada apa ini? Sengajakah ledakan bom ini
"dirancang" untuk menakut-nakuti masyarakat? Atau, ada "tim penguji" masyarakat
Poso untuk mengetahui seberapa cepat mereka terpancing "provokasi" untuk
kemudian saling menyerang kembali seperti ketika kerusuhan Poso baru muncul?
Sengajakah bom tersebut diledakkan untuk tetap menjaga kesan bahwa Poso
bukanlah daerah yang aman? Pasalnya, inilah ledakan ketiga yang terjadi di angkutan
umum dalam tiga bulan terakhir. Ledakan pertama terjadi pada 5 Juni di atas bus
Antariksa jurusan Palu-Tentena yang sedang melintas di Desa Toini, Kecamatan
Poso Pesisir. Dua ledakan sebelumnya itu terjadi di atas bus dan menelan korban
jiwa.
Sekali lagi, sengajakah ini dilakukan untuk beragam kepentingan tersembunyi?
Lantas, oleh siapa? Seperti biasa, polisi langsung menyelidiki kasus ini. Bahkan,
sweeping besar-besaran dilakukan sampai tiga hari setelah kejadian. Hambatan polisi
adalah kurangnya barang bukti yang diperoleh di lapangan, selain masalah klasik
berupa kesulitan untuk mengorek keterangan dari para saksi.
Kepala Polda Sulteng Zainal Abidin Ishak menyebutkan, kemungkinan pelaku
peledakan berasal dari luar Poso. Sopir angkutan kota mengenalinya dari wajah tidak
dikenal berusia sekitar 20-30 tahun yang menitipkan bungkusan yang diduga sebagai
sumber ledakan. Raut mukanya, seperti disebutkan Zainal Abidin, tidak seperti muka
orang asli Poso.
Meski demikian, polisi terus mengembangkan penyelidikan dan tidak mau
berspekulasi dengan menudingkan tuduhan kepada kelompok tertentu. Hal yang
sama juga diharapkan dari masyarakat untuk tidak menyikapi setiap insiden dengan
emosional. Yang pasti, kelompok inilah yang jelas-jelas menginginkan Poso tetap
tidak aman. Soal indikasi apakah kelompok ini merupakan "pemain" lama atau baru,
Zainal belum menanggapi pertanyaan tersebut.
Bukan kebetulan jika malam harinya terjadi ledakan di depan Kantor Pengadilan
Negeri Poso. Meski demikian, menurut Zainal Abidin Ishak, ledakan ini tidak merusak
inventaris kantor ataupun menelan korban jiwa. Kejadian lain, mengutip keterangan
Kepala Dinas Penerangan Polda Sulteng Ajun Komisaris Besar Agus Sugianto,
adalah adanya insiden penembakan antarwarga di Desa Pandiri, Kecamatan Lage.
"Tapi, ini mungkin hanya orang rebutan wilayah mencari kayu bakar saja," kata Agus.
Berbeda dengan pada awal insiden, masyarakat terlihat lebih tenang menyikapinya.
Tidak ada gejolak massa yang berlebihan. Selepas ledakan di dekat Pasar Sentral
dan Polres Poso tersebut, sekitar 1.000 orang yang terkonsentrasi di sekitar lokasi
tidak memperlihatkan emosi yang berlebihan. Pun ketika isu insiden di Pandiri
tersebut.
Arus transportasi masih berjalan lancar. Abdul Kadir Sidik dari Satuan Tugas Sosial
Pemulangan Pengungsi (Satgasos PP) saat kejadian masih berada di Pendolo,
Pamona Selatan, dan harus kembali ke Poso Kota. Sempat orang-orang khawatir
dengan kemungkinan pencegatan di jalan sebagai imbas insiden tersebut. "Toh, kita
aman-aman saja," kata Kadir Sidik.
***
MERUNUT akar persoalan konflik di Poso, kerusuhan pertama dimulai malam hari, 24
Desember 1998, saat terjadi keributan antarpemuda di Desa Sayo, Kecamatan Poso
Kota. Seorang pemuda yang sedang menunggu waktu sahur dibacok pemuda mabuk
yang kebetulan berasal dari komunitas berbeda. Rentetannya adalah perusakan toko
yang menjual minuman keras yang dibarengi bentrok fisik dengan warga lain yang
ingin tetap mempertahankannya. Bentrok fisik meluas sampai ke pusat Poso Kota.
Komnas HAM (hak asasi manusia) pada awal Januari 1999 menyebutkan bahwa
kasus awal bukanlah dipicu isu suku, agama, ras, dan anatargolongan (SARA)
namun lebih karena miskomunikasi.
Sampai menjelang Pertemuan Malino untuk Poso akhir Desember 2001, kerusuhan
antara lain ditandai dengan serangan ke wilayah Poso Pesisir pada akhir November
2001. Serangan beruntun mulai pagi hari itu dimulai dari Desa Betalemba, Patiwunga,
Tangkura, Dewua, dan Sangginora. Salah satu insiden yang menonjol terjadi pada 1
Desember 2001 dini hari ketika enam warga sipil Desa Toyado, Kecamatan Lage
yang sedang menunggu waktu sahur diculik. Empat di antaranya kemudian
ditemukan tewas dan dua orang lainnya bisa meloloskan diri dan memberikan
keterangan. Perkembangan terakhir, sepuluh aparat keamanan dikenai sangkaan
terlibat dalam insiden tersebut.
Dalam rangkaian peristiwa itu, pada awal kerusuhan, sempat menyembul isu
mengenai perebutan kekuasaan di Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Poso sebagai
akar persoalan. Ketika isu agama dinaikkan, konflik besar pun semakin tidak
terbendung. Namun, ketika Deklarasi Malino menawarkan penghentian konflik, di saat
itulah masyarakat Poso bisa sedikit berharap.
Apalagi, jelas-jelas Menko Kesra Jusuf Kalla yang menjadi fasilitator dalam
pertemuan tersebut menyatakan bahwa Poso harus damai karena memang tidak ada
pilihan lain lagi untuk mengecap kemajuan. Berbeda dengan pertemuan "rekonsiliasi"
sebelumnya, konsep dalam Deklarasi Malino diakui lebih mengena. Perjanjian terebut
berangkat dari kebutuhan bersama dan lahir langsung oleh kelompok yang bertikai
langsung di lapangan.
Selama enam bulan pelaksanaan deklarasi, Poso relatif tenang. Nyaris tidak ada
insiden menonjol yang melibatkan langsung dua komunitas yang sebelumnya terlibat
konflik. Operasi Pemulihan Keamanan Sintuwu Maroso yang merupakan operasi
terpusat antara TNI dan Polri berhasil mengesankan Poso yang kondusif. Namun,
pada akhir operasi ini, muncullah kemudian berbagai insiden, seperti peledakan bom
dan penembakan gelap.
Ketika ekskalasi makin meningkat, keinginan menggantikan operasi terpusat itu
dengan operasi mandiri kewilayahan pun terpaksa direvisi. Operasi Sintuwu Maroso I
yang dilakukan terpusat harus digelar kembali. Keamanan Poso ternyata masih
sangat bergantung pada ada-tidaknya aparat keamanan yang ditugaskan di sana.
Ketika ledakan kembali terjadi di Poso, siapakah yang harus disalahkan? Masyarakat
dari dua komunitas tidak bereaksi berlebihan, isu yang diangkat pun sudah bergeser
ketimbang awal kerusuhan terjadi. Jadi, apakah warga Poso yang (konon) sudah
jenuh dengan pertikaian itu harus kembali dijadikan bahan tudingan? (Sidik Pramono)
Copyright © 2002 PT. Kompas Cyber Media
|