Media Indonesia, Selasa, 15 Oktober 2002
Malapetaka Kesombongan
LEDAKAN bom di Bali yang menewaskan hampir 200 orang adalah sebuah tamparan
yang sangat memalukan. Tragedi bom dengan jumlah korban terbesar kedua setelah
11 September 2001 di World Trade Center, Amerika Serikat, adalah bukti bahwa
Indonesia bukan surga. Indonesia adalah bagian dari dunia yang tidak mungkin
bekerja sendiri dan memiliki kriteria sendiri tentang terorisme internasional.
Tragedi Bali akhir pekan lalu adalah tamparan terhadap kesombongan Indonesia.
Sebuah negeri yang lumpuh dalam kemampuan inteligensi, tetapi sok pintar. Sebuah
negeri yang sarat dengan semangat radikalisme, tapi sok suci. Sebuah negeri yang
mengaku demokratis, tetapi para politikusnya bersahabat dengan kaum radikal. Dan,
juga kesombongan karena radikalisme mendapat tempat sangat dan amat-amat
terhormat.
Ketika bom mengguncang Bali, wajah para pemimpin bertaburan di 'Bumi Dewata'.
Mereka adalah para pemimpin yang selama ini bertengkar satu sama lain tentang
keabsahan Indonesia dalam jaringan terorisme internasional. Mereka adalah
pemimpin-pemimpin yang ikut memperteguh keyakinan radikalisme di negeri ini.
Mereka adalah para pemimpin yang buta terhadap kenyataan. Mereka adalah
pemimpin yang dengan gampangnya mengatakan teroris di Indonesia tidak ada
selama negeri ini tidak memiliki undang-undang tentang terorisme.
Tentu, ini adalah argumen konyol. Teroris berseliweran di negeri ini. Mereka
mempertontonkan kebolehan di depan mata para petinggi dan aparat yang tidak
pernah mengakui ketidakmampuan. Korban berjatuhan, tetapi kita tetap berlindung di
balik ketiadaan undang-undang.
Kalau seseorang membunuh orang lain, apa pun alasannya, dengan atau tanpa
undang-undang yang mengatur tentang pembunuhan, tindakan itu adalah kejahatan
yang harus dilawan secara tegas. Tidak bisa pejabat terus-menerus berargumen
pemerintah tidak bisa bertindak terhadap kejahatan karena tidak ada undang-undang.
Alasan ini harus dianggap konyol karena di negeri ini tengah terjadi tragedi yang
sama dahsyatnya dengan terorisme. Yaitu, begitu banyak undang-undang yang
dihasilkan, tetapi tidak ada yang bisa dipatuhi. Ini adalah negeri para gangster.
Tragedi Bali adalah sebuah pembantaian kejam dan keji. Ini adalah kejahatan. Tidak
peduli itu dilakukan oleh jaringan Al-Qaeda atau tidak. Tidak peduli itu konspirasi
intelijen negara ini atau itu. Peristiwa itu adalah kejahatan yang terjadi di negeri ini,
negeri yang bernama Indonesia. Indonesia yang memiliki pemerintahan yang diberi
hak menggunakan kekerasan untuk menegakkan peraturan, ketertiban, dan
ketenteraman.
Indonesia sekarang adalah negeri yang aneh. Ketika bom mengguncang Bali, kita
tidak segera bersatu hati dan pikiran untuk mengejar pelakunya. Yang muncul ke
permukaan adalah kegaduhan. Bermunculan orang-orang yang secara tidak
proporsional berbicara tentang terorisme dan bom. Bermunculan orang-orang yang
berkhotbah tentang moralitas. Bermunculan orang-orang yang berteriak tentang
Amerika dan Al-Qaeda dengan keyakinan setinggi langit.
Terorisme, apalagi terorisme internasional, adalah perkara jaringan dan informasi.
Bagaimana mungkin kita bisa memerangi terorisme internasional kalau semua
informasi tentang teroris, lokal maupun internasional yang ada di Indonesia, dianggap
sebagai kebohongan?
Tragedi Bali, mudah-mudahan, menjadi pemicu keberanian aparat untuk bertindak
tegas terhadap terorisme dan radikalisme. Ketiadaan undang-undang tentang
terorisme tidak bisa dijadikan alasan terus-menerus untuk membiarkan radikalisme
meneror kehidupan publik.
Copyright © 1999-2002 Media Indonesia. All rights reserved.
|