Mungkinkah TNI Terlibat Dalam Kasus Penyelundupan Senjata
Ke Poso?
Hilversum, Jumat 04 Oktober 2002 07:30 WIB
Intro: Dua warga ditangkap polisi ketika baru turun dari KM Nggappulu, di Pelabuhan
Pantoloan, Palu. Fahrin Ibnu alias Jasir (37) dan Siswanto tertangkap basah
membawa sejumlah senjata api dan ribuan peluru, yang konon untuk dipasok ke
Poso. Menurut seorang juru bicara pemerintah di Palu, peluru itu buatan Pindad,
pabrik senjata milik TNI. Sampai di mana kemungkinan keterlibatan TNI dalam
kasus-kasus penyelundupan seperti ini? Radio Nederland menghubungi pakar militer
Indro Tjahjono.
Indro Tjahjono [IT]: Kalau kita cari fakta-fakta yang bisa kasat mata sih nggak ada ya,
tapi yang kita lihat adalah bahwa setelah terbongkar itu melibatkan oknum-oknum TNI
itu rata-rata. Jadi hampir 70 persen ya kasus amunisi ini memang didalangi oleh TNI
itu ya. Dan khususnya kalau bom itu memang ada desersi iktu di sana. Kelompok
desersi yang analisa saya memang desertir-desertir itu memang ada yang
mengorganisir dalam rangka sebenarnya untuk meningkatkan posisi tawar TNI atau
untuk tujuan-tujuan lain. Kelihatannya begitu sih.
Radio Nederland [RN]: Jadi Anda menduga masih ada dalam rangka untuk
mengeluarkan posisi tawar ya? Tidak lagi sekedar kepentingan bisnis
IT: Nggak, jadi posisi tawar itu satu yang bisa dihasilkan dari seluruh keterlibatan
dalam kerusuhan. Kedua, adalah bisnis yang muncul di daerah-daerah yang rusuh itu
sendiri. Jadi ada dua yang tingkat nasional kan anggaran militer ya dinaikkan ya,
sedang di tingkat micro adalah khususnya bukan anggaran militer tetapi pendapatan
dari oknum-oknum TNI di daerah itu juga bisa naik. Atau bisa diuntungkan oleh
adanya kerusuhan itu. Jadi memang ada dua hasil dari kalau orang-orang TNI ini tetap
mengakses pada munculnya kerusuhan-kerusuhan di daerah.
RN: Bicara soal bisnis itu ya, entah apakah yang resmi bisnis tentara ataupun yang
tadi bisnis-bisnis ilegal oleh oknum dan desetir-desertir, itu seberapa luas ya, bung
Indro ya?
IT: Bisnis semacam begitu itu, yang melibatkan TNI, atau yang melibatkan kekuatan
bersenjata, sampai sekarang itu belum bisa diatasi ya. Kalau mau mengatasi mereka
tentunya menggunakan polisi. Nah kalau polisi bertindak, seperti yang kita lihat,
kemudian muncul, sampai sekarang itu sudah hampir 20 konflik antara tentara dan
polisi. Artinya pada daerah-daerah tertentu, kalau polisi itu nekat ya, menghentikan
bisnis tentara ya, bisnis kriminal tentara itu ya terjadi konflik. Di beberapa daerah lain
justru pollisi bekerjasama dengan tentara. Kalau untuk pencurian kayu, untuk
mengawalan-pengawalan barang, itu dia bisa koperatif sebenarnya polisi. Tapi untuk
bisnis-bisnis tertentu di mana komandan polisi itu mencoba menegakkan keamanan
secara konsisten, ya di situ biasanya terjadi konflik.
Itulah petanya, di manapun begitu. Nah kalau di pusat itu backing itu kalau pencurian
kayu, ya kan, pencurian pasir, pencurian ikan, itu rata-rata kalau boleh kita
simpulkan, itu perwira-perwira tinggi terlibat di sana. Nah di daerah yang tentunya
merasa bahwa atasannya masih melakukan hal seperti itu ya iktu-ikutan. Mencoba
menjadi backing tapi dalam skala bisnis yang lebih kecil ya. Yaitu bisnis keamanan,
perdagangan narkoba, pengawalan balok curian, dan kayak begitu. Jadi sebenarnya
rata-rata backing ini belum selesai di tingkat pusat, dan akhirnya daerah meniru pusat
itu sendiri. Sehingga akhirnya muncul semacam pembangkangan, ketidakpatuhan
daerah terhadap perintah-perintah dari pusat.
RN: Contoh kongkritnya seperti di Binjei itu di Sumatra Utara itu ya? Itu contoh bahwa
kepentingan polisi dan tentara ini bertentangan. Kalau begitu polisi juga sebenarnya
dalam tanda petik tidak suci juga ya.
IT: O tidak. Polisipun banyak terlibat ya. Sama saja mereka. Di mana mereka tidak
ketemu di situlah terjadi konflik. Tapi untuk beberapa hal bisa mereka itu berjalan
bersama. Oleh karena itu mungkin saja, atau saya perkirakan, bahwa penahanan
orang-orang yang diback up tentara itu, barangkali bukan untuk mengjhentikan bisnis
tentara itu sendiri ya. Bisa jadi itu merupakan bagian dari polisi minta bagian dari
bisnis yang dilakukan tentara itu. Jadi ini yang kemudian tidak klop dan muncul
konflik ya. Barangkali dalam tahap tertentu justru bisa terjadi negosiasi antara polisi
dan tentara, bersama-sama menjalankan bisnis secara gelap.
Demikian Indro Tjahjono seorang pakar militer mengungkapkan kepada Radio
Nederland
© Hak cipta 2001 Radio Nederland Wereldomroep
|