Vonis Akbar Tandjung Dan Terbunuhnya Rasa Malu Serta Rasa
Bersalah
Hilversum, Kamis 05 September 2002 14:00 UTC
Intro: Menyusul vonis tiga tahun penjara Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, kini Akbar
Tandjung menghadapi tekanan dari dua front. Pertama dari fraksi-fraksi lain supaya ia
mundur dari jabatan Ketua DPRRI. Kedua dari dalam Partai Golkar sendiri mulai
terdengar bisik-bisik yang ingin supaya Akbar lengser saja dari jabatan ketua umum.
Mampukah Akbar menghadapi keduanya? Yang jelas, bagi Akbar Tandjung yang
mengaku orang politik, penjara dan istana seringkali tidak bisa dipisahkan.
Koresponden Syahrir mengirim laporan berikut dari Jakarta.
Di belahan dunia ini, mungkin hanya Indonesia yang lembaga tinggi negaranya
dipimpin oleh seorang yang secara hukum disebut koruptor. Sebut saja Ir. Akbar
Tandjung, ketua DPR RI, yang Rabu kemarin divonis hukuman tiga tahun penjara oleh
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pers luar negeri utamanya, televisi internasional
BBC memberitakannya hari Kamis pagi WIB.
Tampaknya dengan pernyataan bersalah dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas
kasus penyalahgunaan Dana Bulog tidak dengan otomatis jabatan Akbar Tandjung
sebagai ketua DPRRI dicopot. Karena resistensi di kalangan anggota Partai Golkar
untuk mempertahankan Akbar Tandjung mungkin sulit dilawan oleh partai-partai lain,
termasuk partai pemenang pemilu, PDIP. Bukan karena Partai Golkar hebat
melainkan karena partai Golkar sendiri boleh jadi memiliki kartu truf yang membuat
parta-partai itu enggan menerima konsekuensi politiknya. Simaklah apa yang
dikatakan Akil Mochtar dari Golkar yang ingin Akbar tetap sebagai Ketua DPR:
Akil Mochtar: Kalau soal bahwa Pak Akbar itu harus mundur dari jabatannya selaku
Ketua DPR, sebenarnya bukan sesuatu hal yang baru. Karena jauh sebelumnya pun
opini-opini sinis ini sudah ada. Tetapi kan Pak Akbarnya sendiri masih menyatakan
banding terhadap vonis itu. Jadi kekuatan hukumnya belum ada. Nah, namun
demikian ya sekali lagi kami ingin mengatakan bahwa terhadap wacana-wacana yang
berkembang karena secara formal itu belum ada usulannya di Dewan. Akan kami
terus pantau. Kemudian kita akan pelajari sindikasi politik yang dimainkan terutama
tentu dari teman-teman fraksi lain. Karena dalam posisi seperti itu tentu tidak ada hal
lain yang harus kami lakukan. Tentu Golkar akan siaplah untuk menghadapi
gempuran-gempuran yang akan datang.
Hal demikian pernah terjadi saat tokoh Golkar lain, Ginandjar Kartasasmita ditahan.
Ternyata jabatannya sebagai wakil ketua MPR tetap dipertahankan. Begitu juga
dengan orang Golkar yang lain Syahril Sabirin, kendati di tingkat pengadilan negeri
dinyatakan bersalah, Syahril tetap menjabat gubernur Bank Indonesia. Sekarang di
tingkat banding Syahril Sabirin dinyatakan tidak bersalah. Maka Akbar Tandjung
segera mengikuti jejak Syahril Sabirin, dengan alasan menunggu vonis yang lebih
berkekuatan tetap, akan tetap memimpin DPR. Kamis kemarin, seorang anggota
DPR yang lain, Probosutedjo juga diperiksa di pengadilan sebagai seorang tersangka.
Dan saudara tiri Soeharto ini pun tidak mau berhenti sementara dari keanggotaan
DPRRI.
Kasus-kasus korupsi tersebut sulit dibasmi, karena korupsi di Indonesia telah
berlangsung secara struktural dan bahkan menjadi sistem itu sendiri. Mangapa hal ini
terjadi, karena gerakan reformasi telah gagal dan tidak mampu memotongnya di
tengah jalan, sehingga dia tetap terus meskipun presiden Soeharto sudah diganti.
Selain sistem dan struktur, orang-orang yang dulu pro-reformasi kini telah masuk ke
dalam sistem yang korup itu. Utamanya orang-orang Gus Dur dan Megawati yang
menguasai komisi-komisi di DPR. Mereka sebenarnya sebagian besar dapat
dikategorikan berlatar belakang reformis namun kenyataannya mereka dikooptasi oleh
kekuatan-kekuatan Golkar. Hal ini terjadi karena maraknya praktek politik dagang
sapi di DPR. Dengan demikian yang terjadi adalah kompromi-kompromi politik yang
bertentangan dengan arah dan tujuan reformasi. Dengan kata lain gerakan reformasi
telah gagal mengganti sistem yang ada.
Sesungguhnya gerakan reformasi telah kalah sejak Soeharto menyerahkan
kekuasaannya pada Habibie. Sejak itu dibangun semacam tembok oleh kalangan
militer di bawah kepemimpinan Wiranto cs. Dan sekarang oleh Theo Syafei, Susilo
Bambang Yudhoyono, Hendroprijono dan Agum Gumelar tak tertembus lagi. Dalam
hal ini, Amir Husin Daulay, aktivis gerakan angkatan 80 yang menjadi penggerak
Indonesia Democracy Monitor (Indemo), sebuah lembaga yang didirikan oleh Hariman
Siregar dan Mulyana W. Kusumah, menyatakan bahwa di Indonesia korupsi sulit
dibasmi karena, ibarat kanker, telah menyebar.
Orde Baru selain melanggengkan sistem yang korup juga membunuh rasa malu dan
rasa bersalah. Pada tahun-tahun 1950an dan 1960an, politisi-politisi yang dituduh
korupsi atau terlibat korupsi merasa malu. Sekarang justru merasa sebagai pejuang.
Dalam hal ini Akbar Tandjung mengatakan kepada pers, bahwa kasusnya soal biasa.
"Di bidang politik, dihukum atau mengalami seperti ini adalah biasa," katanya.
Penjara dan istana bagi orang politik seringkali tidak bisa dipisahkan, tambahnya.
Akbar nampaknya mengkuti pandangan Tommy Soeharto yang juga putra tersayang
mantan bosnya. Tommy dalam suatu wawancara dengan harian Republika, sesaat
sebelum diberangkatkan ke Nusakambangan mengatakan bahwa ia tabah menjalani
nasibnya karena Mandela, Xanana dan Soekarno pun pernah dipenjara. Artinya,
Tommy menyamakan dirinya dengan tokoh-tokoh yang dipenjara karena
memperjuangkan cita-cita, bukan karena membunuh atau mencuri.
Hal ini mungkin hanya terjadi di NKRI yang dipertahankan mati-matian oleh Megawati
yang ternyata adalah Negara Koruptor Republik Indonesia.
© Hak cipta 2001 Radio Nederland Wereldomroep
|