Pranata Adat Diharapkan Dapat Membantu Mengatasi Konflik
Maluku
Hilversum, Sabtu 12 Oktober 2002 04:00 WIB
Pendekatan adat yang lebih menonjol diharapkan dapat membantu mengatasi konflik
Maluku yang sudah menelan sekitar 8 ribu korban jiwa. Pendapat tersebut
dikemukakan oleh Jeffeson Tasik, Koordinator Umum Sekretariat LSM Baileo di
Ambon, salah seorang pembicara dalam konperensi mengenai Pencegahan Konflik di
Maluku yang berlangsung di kota Utrecht, Belanda Tengah. Ia menilai warga Maluku
nampaknya masih ragu dalam mengedepankan peran adat dalam menghadapi konflik
yang terjadi.
Jefferson Tasik [JT]: Pemahaman orang terhadap kondisi yang terjadi itu memang
menggambarkan bahwa orang sedikit ragu dengan itu. Tapi realitas yang terjadi di
lapangan, hubungan-hubungan interaksi antara kelompok-kelompok masyarakat
walaupun di tengah konflik itu masih menunjukkan kuatnya hubungan-hubungan itu.
Salah satu contoh, misalnya menurut adat, jika membangun mesjid saudara-saudara
Kristen harusnya menyumbang misalnya memberi tiang atau bahan-bahan lain. Ini
masih terjadi, sekalipun di tengah konflik. Hubungan-hubungan itu masih sangat kuat,
dan ada. Jadi kalau orang bilang lemah, itu sebenarnya itu tidak benar. Cuma konflik
itu kalau kita pakai ukuran di Ambon, sebagai titik awal konflik, itu memang agak
susah karena ada berbagai macam kepentingan yang yang bermain di sana dan
dinamika konflik sudah mencapai kompleksitas yang tinggi sekali. Satu masalah
belum selesai, sudah muncul masalah yang lain. Seperti sekarang ada isu separatis
yang sengaja dimainkan, atau kelompok sipil yang bersenjata. Jadi mulai dengan isu
lain dan kemudian meningkat. Kalau kita lihat, ada kepentingan apa sebenarnya di
balik itu? Nah, adat tidak dipakai untuk menyelesaikan itu, kalau pun ada hanya
dipakai sebagai simbol dan itu dikotori dengan pendekatan-pendekatan birokratis atau
militer. Ini sebenarnya tidak sambung dengan adat. Nah, bagaimana itu bisa diterima.
Radio Nederland [RN]: Jadi sebetulnya harus diakui bahwa adat tidak mampu untuk
membendung kekuatan yang lebih dasyat yaitu kompleksitas yang begitu rumit.
JT: Maksud saya dalam konteks Ambon, sebagai kota, kita kan bicara lain jika kita
bicara diluar Ambon. Di Ambon ada berbagai macam suku bangsa, jadi bukan hanya
orang Ambon sendiri. Ada berbagai kepentingan di situ dan konsentrasi kontrol pusat
pemerintahan di tingkat propinsi maupun Kodya Ambon. Ada kelompok-kelompok
politik yang bermain. Jadi adat bukanya tidak bisa lagi dipakai di situ, tapi
orang-orang ini memainkan sesuai dengan kepentingannya, baik militer, orang
pemerintahan, politisi atau kelompok agama. Maksud saya adalah pendekatannya.
RN: Menurut anda bagaimana cara terbaik katakanlah pendekatan adat harus
ditingkatkan. Bagaiman caranya ini?
JT: Saya, dari kelompok LSM lebih percaya kepada keputusan masyarakat.
RN: Sedangkan masyarakatnya sudah mengalami trauma ...
JT: Maksud saya bagaimana masyarakat dilibatkan dalam penyelesaian konflik itu.
Dalam berbagai kesempatan kita selalu menuntut apapun kebijakan yang diambil
dalam penanganan konflik itu mestinya melibatkan partisipasi masyarakat atau harus
menulis konsultasi publik yang harus dilakukan oleh pemerintah.
RN: Apakah itu sudah dilakukan?
JT: Saya kira sudah dilakukan menurut tradisi yang lama itu, mewakilkan gitu.
RN: Jadi tidak akar rumput gitu?
JT: Iya, kita pernah melakukan konsultasi dalam isu perempuan, kita melakukan
berkali-kali diskusi di tingkat lokal, dan kemudian menggabungkan mereka menjadi
satu. Dan membawa perempuan ke DPR dan itu kemudian kuat sekali. Umumnya,
mereka ingin ini diselesaikan secara adat, kita masih bersaudara bagaimana konflik
ini dihentikan tapi ini kemudian tidak dipakai.
Demikianlah Jefferson Tasik di Utrecht.
© Hak cipta 2001 Radio Nederland Wereldomroep
|