Ledakan Di Jakarta: Peringatan Buat AS?
Hilversum, Senin 23 September 2002 12:10 UTC
Sebuah granat meledak dalam minibus dekat mess kedubes Amerika Serikat di
Jakarta, Senin dinihari. Seorang pelaku tewas, seorang lagi harus diamputasi kakinya
dan dua pelaku lainnya melarikan diri. Kepala polisi Indonesia Dai Bachtiar menyebut
granat sebenarnya akan dilemparkan ke arah penginapan warga AS tersebut
sedangkan Kepala Polisi Jakarta Makbul Padmanagara menjelaskan keterangan yang
bertolak belakang dari pimpinannya itu. Dalam penyelidikan lanjutan polisi
menemukan bahan peledak TNT dan beberapa peluru di tempat tinggal pelaku. Radio
Nederland menghubungi Priyatmoko, pengamat politik dari Universitas Airlangga,
Surabaya. Ia mengakui aksi itu sulit dikategorikan dalam terorisme, namun bisa jadi
sebagai reaksi kelompok tertentu terhadap sikap AS yang hendak menyerang Irak.
Priyatmoko [P]: Saya itu sulit mengatakan terorisme atau bukan, karena sekarang
berita-berita tentang teror dalam satu tahun terakhir ini memang terutama yang
terbaru berita tentang keinginan Amerika untuk menyerang Irak, itu menimbulkan
reaksi di sebagian masyarakat Indonesia khususnya di kalangan Islam. Dan kalau itu
betul terjadi saya kira juga yang repot orang Indonesia sendiri. Konflik-konflik itu akan
makin menajam.
Radio Nederland [RN]: Bagaimana kondisi peta politik terbaru, artinya bagaimana
sikap pemerintah Indonesia dan juga posisi TNI dalam hal ini ?
P: Saya kira kalau pemerintah dan posisi TNI sangat jelas. Pemerintah dan TNI
sendiri juga tidak suka dengan adanya kelompok-kelompok keras di dalam negeri,
karena yang mengekspresikan situasi bebas akibat reformasi dengan serba ekstrim
dengan bangkitnya fundamentalism itu akan merepotkan bagi konsolidasi Indonesia
itu sendiri.
RN: Di satu sisikan mereka-mereka yang punya alat peledak, senjata dan lain
sebagainya adalah militer, apakah anda tidak menduga adanya permainan militer
dibelakang peristiwa-peristiwa ini?
P: Juga harus dicatat perubahan-perubahan politik terakhir ini juga sebenarnya
berimbas pada kalangan tentara yang saya tidak melihat tentara sekarang itu
sepenuhnya betul-betul solid. Karena betapapun pengelompokan-pengelompokan,
friksi-friksi politik di luar ini juga sedikit banyak berimbas dan ada juga
simpatisan-simpatisannya dalam tubuh tentara. Kalau dalam kaitan itu, sangat
mungkin.
RN: Jadi anda menduga bisa jadi kelompok-kelompok yang melakukan aksi
kekerasan ini disupport oleh sebagian dari kalangan tentara?
P: Mungkin saja, tapi bukan dalam garis komando yang resmi tentu.
RN: Kabar terakhir juga laporan CIA menyebut ada operator Al Qaida, Omar Al Faruk
yang ditangkap di Indonesia, dan ini membuat reaksi pemerintah Indonesia begitu
keras juga hari ini Komisi I DPR juga mengumpulkan tanda tangan untuk mengecam
Amerika dan meminta pemerintah mengambil garis keras terhadap Amerika Serikat.
Nah, bagaimana pengamatan Anda sejauh ini?
P: Saya kira agak sulit untuk menekan pemerintah Indonesia untuk bersikap keras
terhadap Amerika. Memang ini justru akan menimbulkan problem hubungan antara
presiden, khususnya pemerintah dengan DPR . Terus terang memang ada opini yang
cukup kuat di kalangan kelompok-kelompok masyarakat Indonesia khususnya yang
Islam, terkesan Amerika itu sangat arogan dan memusuhi Islam. Sentimen ini mudah
sekali menyebar di Indonesia
RN: Nah, kalau begitu bagaimana Anda melihat Megawati dalam kepemimpinannya
apakah artinya dia begitu lemah sehingga tidak bisa mengendalikan ?
P: Memang sekarang sangat sulit berharap dari seorang pemimpin apalagi Megawati
untuk serba mengambil inisiatif mengendalikan semuanya. Kita lihat kabinetnya
sendiri warnanya sangat banyak sehingga harus melakukan kompromi-kompromi.
Jangan lupa bahwa wakil presiden itu partainya menolak presiden perempuan.
Keputusan muktamar resmi Partai Persatuan itu resmi menolak kepemimpinan
presiden perempuan , partainya wakil presiden itu.
RN: Maksud Anda?
P: Jadi situasi-situasi ini kan pasti menyulitkan Presiden untuk serba bisa bertindak
tegas.
Demikianlah Priyatmoko di Surabaya
© Hak cipta 2001 Radio Nederland Wereldomroep
|