satunet.com, Rabu, 09/10/2002, 15:18 WIB
Muhammadiyah-NU Perlu Rumuskan Program Alternatif
satunet.com - Pengamat sosial keagamaan Prof Azyumardi Azra MA mengatakan,
organisasi besar seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) perlu
merumuskan pemikiran dan program alternatif menghadapi gejala sosio-relijius yang
berkembang dewasa ini.
"Saya kira sudah waktunya Muhammadiyah, NU dan organisasi-organisasi
'mainstream' lainnya bersikap lebih pro-aktif untuk mengantisipasi perkembangan
tersebut," kata Azyumardi Azra yang juga Rektor Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah di Jakarta, Rabu.
Pernyataan tersebut disampaikan pada seminar bertema "Arab dan Islam di Indonesia
Dewasa Ini" yang diselenggarakan Majlis Tablich dan Dakwah Khusus Pengurus
Pusat Muhammadiyah berkaitan dengan munculnya kelompok gerakan Islam yang
dipimpin warga keturunan Arab di Indonesia.
Menurut dia, kelompok-kelompok seperti Lasykar Jihad, Front Pembela Islam (FPI)
dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) serta Jamaah Ikhwal Al-Muslim Indonesia
menjadi menonjol, terutama karena pemahaman keagamaan yang cenderung literal
dan aksi-aksi mereka yang cenderung radikal.
Lasykar Jihad yang dipimpin Ja'far Umar Thalib misalnya terkait dengan "jihad" di
Maluku dan Ambon, FPI dipimpin Habib Rizieq Shihab terkait dengan razia dan
perusakan kafe, diskotik dan klub malam serta MMI dipimpin Abu Bakar Baasyir
dianggap berkaitan dengan jaringan Al-Qaeda.
Mengamati pemahaman Islam, wacana dan praksis yang mereka kembangkan,
katanya, kelompok ini dapat dikategorisasikan sebagai kelompok "salafi radikal" yang
berorientasi kepada penegakan dan pengamalam "Islam yang murni", "Islam otentik"
yang dipraktekkan Nabi Muhammad SAW dan sahabatnya.
Disebut sebagai "salafi radikal" karena mereka cenderung menempuh pendekatan
dan cara-cara keras untuk mencapai tujuan, daripada dengan pendekatan dan
cara-cara damai dan persuasif. Sementara Muhammadiyah dan NU melakukan
pendekatan melalui dakwah dan persuasif, katanya.
Azyumardi pada acara yang menghadihadirkan Ahli Peneliti Utama pada Pusat
Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Riza Sihbudi itu
mengatakan, kemenonjolan warga keturunan Arab dalam kepemimpinan
kelompok-kelompok tersebut pada sisi tertentu tidak menghenrankan.
Hal disebabkan karena secara historis dan sosiologis terdapat warga keturunan Arab
yang memandang bahwa diri mereka --sebagai keturunan Arab-- memiliki tugas suci
untuk "memurnikan Islam Indonesia" dan membawanya menjadi "Islam murni", "Islam
otentik" seperti dipraktekkan di tanah Arab.
"Islam Indonesia dipandang sebagai 'Islam tidak murni' yang telah tercampur dengan
kepercayaan dan praktek keagamaan lokal. Berkaitan dengan masalah ini, sejatinya
kaum muslimin di mana pun berada tetap melaksanakan ajaran agama sesuai
dengan kepercayaannya," katanya.
Oleh karena itu, orang Islam yang baik ada di mana-mana, dan sebaliknya orang
Islam yang kurang baik juga terdapat di mana-mana. Kedua kategori ini bisa di
temukan di Indonesia, di Mesir, dan bahkan di Tanah Suci sendiri tidak tertutup
kemungkinan adanya yang baik dan kurang baik, tambahnya.[cpm]
Copyright © 1999-2001 satunet.com Hak Cipta dilindungi undang-undang.
|