SINAR HARAPAN, Senin, 30 September 2002
Penyelesaian Konflik Ambon Melalui Pendekatan Budaya Akar
Rumput
Oleh Alex Dinuth
Konflik adalah fenomena yang serba hadir (omni present), baik itu konflik
orang-perorang maupun konflik masyarakat. Sesungguhnya konflik itu eksis didalam
kehidupan mikro dan makro sosiologis masyarakat. Selama konflik tidak berpotensi
kekerasan hal tersebut merupakan fenomena yang lumrah, namun apabila berpotensi
terjadinya kekerasan akan berdampak negatif terhadap bangsa dan negara. Konflik
juga dipahami sebagai suatu mekanisme untuk menyempurnakan proses integrasi
nasional. Kini berbagai gelombang konflik baru tengah melanda komunitas
internasional, regional, nasional dan lokal, termasuk Indonesia. Sejalan dengan itu
muncul pula teori-teori tentang penyelesaian konflik yang berasal dari luar dan dalam
negeri yang tidak jarang selalu digunakan sebagai bahan referensi pada berbagai
diskusi, seminar dan analis konflik. Namun mengimplementasikannya tidaklah mudah
karena variabel faktor-faktor lain sulit diprediksi.
Konflik-konflik yang tengah berlangsung di wilayah nusantara baik konflik vertikal
maupun konflik horizontal telah menimbulkan gangguan terhadap ketahanan bangsa
dan negara karena cenderung melebar ke aspek-aspek kehidupan nasional yang lain,
diantaranya gejala pudarnya rasa persatuan dan kesatuan bangsa pada sebagian
warga bangsa Indonesia.
Memang, ciri kemajemukan bangsa dan wilayah negara kita yang berbentuk
kepulauan harus diterima sebagai kenyataan obyektif yang mengandung potensi
konflik.
Sumber-sumber konflik didalam suatu negara antara lain adalah: konflik separatis,
perebutan sumber daya alam, persoalan SARA/etnisitas, kesenjangan ekonomi,
kriminalitas, pengangguran, perang saudara, pemberontakan bersenjata, politik dan
sebagainya.
Indonesia juga memiliki potensi konflik lain yang dapat menimbulkan integrasi
nasional, yaitu pontensi konflik antar: suku, agama, ras, golongan, pusat-daerah,
sipil-militer, lembaga-lembag pemerintah/negara, Jawa-non Jawa,
penguasa-masyarakat, dan lain-lain. Selain itu terdapat potensi konflik yang mewarnai
implementasi-otonomi daerah seperti: konflik antar pemerintah lokal (saling
berbatasan), konflik-konflik antar kekuatan rakyat berbasis lokal melawan aparat
pemerintah, konflik antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat, dan sebagainya.
Umumnya konflik tentang identitas didalam suatu negara cenderung lebih rumit,
bertahan lama serta sulit dikelola, sedangkan konflik yang berciri primordial sulit
dipecahkan karena sangat emosional.
Untuk mengatasi itu semua, tidak ada rersep ”sekali jadi”, karena selalu muncul
interaksi rumit antar kekuatan-kekuatan berbeda di samping variabel kondisi sosial
wilayah tanah air. Pola penyelesaian konflik di suatu daerah tak mungkin diterapkan
di daerah lain.
Maka dalam menentukan langkah-langkah penyelesaian berbagai peristiwa konflik
perlu dicermati dan dianalisa tidak saja berdasarkan teori-teori konflik universal tetapi
perlu juga menggunakan paradigma nasional agar objektivitas tetap berada dalam
bingkai kondisi, nilai dan tatanan kehidupan bangsa kita.
Faktor-faktor sebagai pendukung analisis pemecahan konflik tersebut antara lain:
aktornya, isu, faktor penyebab, lingkupnya, usaha lain yang pernah ada, jenis konflik,
arah/potensi, sifat kekerasan, wilayah, fase dan intensitas, kapasitas dan sumbernya,
alatnya, keadaan hubungan yang bertikai dan sebagainya.
Akar Rumput Kemudian cara penyelesaian konflik hendaknya menggunakan
model-model penyelesaian yang disesuaikan dengan kondisi wilayah serta budaya
setempat. Adalah ideal apabila penyelesaian tersebut dilakukan atas inisiatif penuh
dari masyarakat bawah (akar rumput) yang masih memegang teguh adat lokal serta
sadar akan rekayasa tangan-tangan kotor yang merusak keharmonisan persaudaraan
lintas agama, suku, ras antar golongan selama ini.
Adalah menarik untuk kita catat sebagai suatu contoh model penyelesaian konflik
melalui jalur adat lokal yaitu peredaan konflik antara Desa Passo (komunitas Kristen)
dan Desa Batu Merah (komunitas Islam) di Ambon. Dengan semangat dan kesadaran
yang tinggi masyarakat kedua desa telah bergotong royong secara adat memperbaiki
rumah ibadah masjid dan gereja yang rusak, sedangkan peresmiannya telah
dikukuhkan secara adat pula pada 4 September 2002 yang lalu. Peristiwa itu
merupakan usaha awal perdamaian yang menyeluruh tidak muncul begitu saja tanpa
persiapan yang matang, ulet dan pantang menyerah dari berbagai pihak terkait.
Konsepsi pendekatan yang jitu melalui model penyelesaian budaya akar rumput yang
dilakukan oleh Fanny Habibie, Peter Hehamahua, Jhon P., dan kawan-kawan
bersama para raja, tetua, kawan-kawan di Desa Passo dan Desa Batu Merah dengan
restu dari pejabat pemerintah/aparat keamanan setempat. Persiapan sampai dengan
pelaksanaannya memakan waktu sekitar lima bulan lebih.
Sangat disayangkan adanya pelontaran ”isu oleh sementara kelompok” yang
menuduh Fanny (sudah lama diangkat sebagai warga Maluku) dan kawan-kawannya
berambisi merebut kursi Gubernur Maluku. Padahal peristiwa rukun adat tersebut
sedikit banyak merupakan hasil pemikiran murni dari segelintir putera-putera Maluku
tanpa pamrih apapun tetapi berjiwa nasionalis. Dan tentu kesempatan ini terbuka bagi
siapa saja yang cinta damai.
Setelah upacara adat di atas tanpa diperkirakan sebelumnya muncullah reaksi
spontan dari raja-raja pulau Ambon yang mewakili komunitas Islam dan Kristen serta
rektor dan staf Unpatti yang memutuskan untuk membentuk forum diskusi antar
raja-raja pulau Ambon dan Latupati (Saparua, Haruku, Nusa Laut) dalam rangka
penyelesaian masalah konflik Maluku secara adat. Reaksi positif berikutnya terjadi
lagi pada hari Sabtu, 7 September 2002 dimana para raja dari Galala, Halong, Latta,
Lateri, Hatiwe Kecil bersama komunitas warganya sekitar seratus orang mengunjungi
desa Hitu Meseng (komunitas Islam, pela dari kelima negeri Kristen di atas) untuk
tujuan silaturahmi.
Bukankah fenomena ini merupakan awal dari itikad suci arus bawah yang semakin
kuat mendambakan perdamaian abadi di tanah Ambon Manise? Mengingat
karekateristik dan stadium konflik di Ambon, hendaknya model penyelesaian konflik
dengan sentuhan budaya akar rumput ini bukanlah modal penyelesaian seremonial
sesaat tetapi akan berkembang secara lebih mantap lagi.
Semangat perdamaian juga tercermin dari hasil diskusi para mahasiswa bersama
rektor dan staf Unpatti, yang bertekad bahwa dalam waktu yang tidak terlalu lama
Unpati harus dibangun kembali secara gotong royong karena dari sinilah akan muncul
manusia-manusia intelektual yang berkualitas serta berahlak guna mensejahterakan
daerah seribu pulau itu.
Penulis yakin bahwa penyelesaian, konflik melalui pendekatan budaya akar rumput di
Ambon pasti berhasil. Syaratnya sederhana, para ”pemrakarsa perdamaian” harus
memahami benar budaya lokal, jujur, tanpa pamrih, dikenal dan dipercaya oleh akar
rumput. Dan yang terpenting dalam membangun kembali budaya pela gandung ialah
segera merestrukturisasi desa yang ada sekarang dengan tatanan adat negeri.
Pengalaman di Timor Timur jangan terulang kembali.
Tentu maksud dan harapan masyarakat akar rumput Maluku/Ambon ini, harus
ditunjang pula oleh upaya serta tindakan hukum yang nyata dan tegas, karena sangat
penting untuk mengembalikan keamanan, kepercayaan, ketertiban masyarakat
terhadap anasir-anasir yang tidak ingin melihat Ambon tenang dan damai.
Penulis adalah Ketua Consortium For the Study of Intelligence.
Copyright © Sinar Harapan 2002
|