SINAR HARAPAN, Rabu, 25 September 2002
Menyikapi Isu Terorisme di Indonesia
Oleh Victor Silaen
Dalam beberapa hari terakhir ini, isu terorisme menjadi topik menarik yang banyak
disoroti oleh media massa di Indonesia. Isu tersebut dibawa masuk oleh laporan
Central Intelligence Agency (CIA) yang telah dimuat oleh mingguan Time dan telah
beredar ke mana-mana.
Laporan itu menyebutkan, Omar Al-Farouq yang tertangkap di Indonesia beberapa
bulan silam telah diserahkan kepada Amerika Serikat (AS). Dalam pemeriksaan yang
dilakukan oleh aparat keamanan dan intelijen AS, Al-Farouq mengatakan bahwa
dirinya adalah anggota terkemuka jaringan teroris Al-Qaeda.
Laporan Time yang belum lama beredar di Indonesia itu kemudian disusul dengan
berita tentang ditangkapnya seorang warga negara Jerman keturunan Arab bernama
Seyam Reda oleh aparat kepolisian Indonesia. Ketika diperiksa, Reda mengaku
sebagai wartawan televisi kabel Al-Jazeera—stasiun televisi yang selama ini diketahui
telah beberapa kali menyiarkan pidato Osama bin Laden, pe-mimpin tertinggi
Al-Qaeda.
Perihal apakah dia juga terkait, baik langsung maupun tidak langsung, dengan
Al-Qaeda, hingga kini masih harus ditunggu hasil pemeriksaan aparat keamanan dan
intelijen Indonesia.
Menurut laporan Time, Al-Farouq mengaku berencana akan membunuh Megawati
Soekarnoputri sebelum menjadi presiden. Ia bahkan mengaku pernah melakukan aksi
pengeboman di beberapa tempat di Indonesia, antara lain di pusat belanja Atrium
Senen, Jakarta, pada Agustus 2001.
Dalam peristiwa itu seorang bernama Dani alias Dodi, yang bernama asli Taufik Abdul
Halim, telah dijatuhi hukuman oleh pengadilan Indonesia.
Dani sendiri adalah seorang warga negara Malaysia, anggota Kelompok Mujahidin
Malaysia, yang setelah masuk ke Indonesia secara ilegal bersama 10 warga
Malaysia lainnya kemudian bergabung dengan Laskar Jihad Mujahidin di Maluku.
Pemuda yang diduga anggota teroris internasional ini pernah tinggal di Pakistan
selama tiga tahun dan mengaku benci kepada kaum Nasrani (lihat Tempo edisi 20-26
Agustus 2001). Dalam keterangannya yang lain, ia juga mengaku bahwa peledakan
bom di Gereja Santa Anna, Jakarta Timur, sepekan sebelumnya, merupakan hasil
kerja kelompoknya.
Itu baru sedikit contoh saja, belum lagi peristiwa-peristiwa lainnya. Tapi jelas,
ancaman terorisme itu sungguh mengerikan kita semua. Apalagi jika pengakuan
Al-Farouq benar, bahwa dia pernah berencana akan membu-nuh Megawati
Soekarnoputri.
Akan tetapi, apa reaksi gian masyarakat Indonesia? Alih-alih merasa takut atau
panik, yang lalu berpikir serius untuk mengantisipasi pelbagai hal yang berkait
dengan kemungkinan terorisme di sini, mereka malah menuduh AS cuma ingin
mengintervensi kebijakan politik dalam negeri Indonesia, dan ada juga yang
mengatakan AS ingin menjadikan Indonesia sebagai kaki-tangannya dalam
memerangi terorisme internasional.
Hal itu sungguh sebuah paradoks! Dan sayangnya, tak sedikit di antara orang-orang
yang berkomentar sumbang terhadap AS itu berlatar pendidikan tinggi. Paradoksnya
apa dan bagaimana?
Tak lama setelah serangan terorisme terhadap AS terjadi (yang kemudian disebut
"Peristiwa 911"), Pemerintah AS secara resmi mengumumkan hasil investigasinya
bahwa Al-Qaeda yang dipimpin oleh Osama bin Laden adalah pihak yang diduga kuat
sebagai pelaku utama tindakan biadab itu.
Lalu, apa reaksi sebagian orang Indonesia? Alih-alih menyatakan simpati, mereka
malah menilai AS telah sembarang menuduh. Jika benar AS bersikap demikian, tentu
sangatlah baik jika orang-orang Indonesia yang menuduh AS seperti itu berupaya
keras mencari kebenaran yang sesungguhnya.
Tapi, alih-alih melakukan hal itu, sebagian di antara mereka malah mengelu-elukan
Osama bin Laden bak seorang pahlawan. Apa dan siapa Osama bin Laden itu
padahal mungkin mereka tak tahu sama sekali. Aneh bukan? Yang lebih aneh lagi, di
Lampung bahkan muncul sebuah forum "kagetan" bernama Front Osama, yang
diketahui ikut terlibat dalam aksi-aksi demo terhadap AS. Selanjutnya, mereka
melakukan aksi sweeping di sejumlah tempat yang dianggap ada kaitannya dengan
AS (termasuk terhadap sejumlah warga negara AS yang tengah berada di Indonesia).
Tindakan mereka jelas merugikan secara ekonomi, termasuk citra Indonesia di mata
orang asing. Puncaknya, mereka lalu merencanakan jihad untuk membela
Afghanistan yang tengah dibombardir AS dan sekutunya. Bersamaan dengan itu,
mereka lalu meminta Pemerintah RI untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan
AS.
Secara rasional, jihad yang bertujuan mulia itu padahal akan lebih bermakna jika
ditujukan untuk memerangi para penjahat sosial-politik-ekonomi di dalam negeri
sendiri. Bukankah di negeri ini banyak koruptor, banyak pengedar narkoba, banyak
pelanggar hak asasi manusia, dan yang sejenisnya? Jadi, mengapa harus repot-repot
berjihad ke negeri orang? Cara berpikir seperti apa, sebenarnya, yang mereka
gunakan?
Singkatnya, gerakan protes sebagian orang Indonesia terhadap AS pun berakhir juga.
Lalu, bencana alam (atau musibah yang diundang?) pun datang: banjir di berbagai
pelosok Indonesia, termasuk di Jakarta. Mereka yang sebelumnya giat berdemo
memprotes AS, entah di mana rimbanya waktu itu.
Yang jelas, AS termasuk di antara para dermawan yang berbelas kasihan
menyaksikan korban-korban bencana alam itu. Tanpa memandang bulu, mereka
bertindak konkret: memberi bantuan. Adakah aksi protes dari orang Indonesia
terhadap perbuatan AS yang terpuji itu? Tidak.
Tapi, itu tentu mudah dipahami. Bantuan, masakan diprotes? Tapi, di dalam hal itulah
sesungguhnya paradoks sebagian orang Indonesia tadi terlihat jelas. Jika apa yang
dilakukan AS memberi keuntungan bagi kita secara materil, bahkan juga non-materil,
kita berdiam diri saja (termasuk dalam kategori itu adalah sikap yang terkadang tak
tahu berterima kasih).
Sebutlah, misalnya, bantuan-bantuan kemanusiaan dan pendidikan yang selama ini
telah banyak diberikan AS. Bahkan yang tak jelas-jelas memberi keuntungan pun,
asalkan citradiri kita ikut terangkat karena AS, dijamin tak akan ada aksi protes yang
akan kita lakukan terhadap mereka. Sebutlah, misalnya, kesukaan menyantap
junkfood ala AS. Oh, betapa bangganya. Mengenakan pakaian atau benda-benda lain
produksi AS, nah itu baru trendy.
Sesungguhnya masih banyak contoh yang dapat dikemukakan untuk
menggambar-kan betapa paradoksnya sebagian orang Indonesia dalam bersikap
terhadap AS. Tuduhan mereka terhadap Osama bin Laden dan Al-Qaeda sebagai
pelaku utama "Peristiwa 911" itu, misalnya, sebenarnya apa yang merugikan kita
sehingga kita layak memprotes AS?
Aksi militer yang dilakukan AS terhadap Afghanistan, contoh lain, sebenarnya apa
kaitannya dengan kita sehingga kita lalu tergerak untuk berjihad membela
Afghanistan? Kalaulah alasannya ada-lah rasa kemanusiaan, boleh jadi ini sikap yang
terpuji—meski harus dicermati secara rasional bahwa aksi militer AS terhadap
Afghanistan itu sendiri sebenarnya dilandasi rasa kemanusiaan: untuk membebaskan
rakyat Afghanistan dari penindasan rezim Taliban.
Itu jelas bukan alasan di balik aksi jihad sebagian orang Indonesia tadi. Karena
sesungguhnya, yang menjadi alasan adalah kesamaan agama semata. Hal ini pun
sesungguhnya harus dicermati secara rasional: agama sebagai pedoman hidup atau
agama sebagai identitas belaka?
Kalaulah agama sebagai pedoman hidup yang menjadi alasan, sesungguhnya kita
justru harus prihatin terhadap nasib jutaan rakyat di bawah pemerintahan rezim
Taliban itu. Sebagian besar mereka hidup di dalam ketidakbebasan dan
kesengsaraan.
Bukankah itu justru merupakan hal-hal yang harus diperangi oleh agama—agama
manapun? Sedangkan jika agama sebagai identitas yang dijadikan alasan, maka di
dalam hal inilah kita perlu belajar secara kritis untuk memilah-milah identitas mana
yang boleh dikedepankan dan di dalam konteks apa.
Mengapa dua orang Ambon yang beragama Kristen dan Islam mudah berkonflik di
Maluku, sedangkan jika mereka sedang studi di AS justru berteman akrab? Karena di
Maluku mereka mengedepankan agama sebagai identitas, sementara di AS justru
identitas kebangsaanlah yang diaktifkan.
Itulah yang dimaksud dengan kritis memilah identitas mana yang boleh dikedepankan
dan di dalam konteks apa. Di tengah kehidupan yang kian modern dan majemuk ini,
harus disadari bahwa agama sebagai identitas seyogianya lebih sering dan lebih
banyak dikebelakangkan atau dinonaktifkan saja.
Alasannya, karena ia selalu siap memicu konflik di tengah proses-proses interaksi
antarindividu maupun kelompok yang beraneka ragam. Dan jika konflik berdasar
perbedaan agama itu sudah terjadi, ia merupakan sejenis konflik yang terbesar,
terpanjang, dan tersulit untuk diselesaikan di sepanjang sejarah dunia ini.
Kembali pada isu terorisme yang diekspor AS ke Indonesia selama beberapa hari
terakhir ini, lalu bagaimana sepatutnya kita bersikap? Pertama, jaringan terorisme
internasional dewasa ini, apakah ia direpresentasikan oleh Al-Qaeda yang dipimpin
oleh Osama bin Laden atau oleh organisasi apa saja dengan pimpinan siapa saja,
sesungguhnya ia harus membuat kita waspada.
Dengan sikap seperti itu, aka selanjutnya kita bertindak proaktif dan antisipatif.
Bahwa dugaan AS tentang adanya sel-sel jaringan terorisme itu di Indonesia tidak
benar, walahuallam. Tapi, berdasarkan fakta bahwa bom demi bom sudah berulang
kali meledak di negeri ini, tidakkah kita lebih baik bagi kita untuk mempersiapkan
segala sesuatu yang berorientasi preventif?
Kedua, secara jujur harus diakui bahwa selama ini kita telah menerima banyak
keuntungan dan mengambil manfaat dari upaya menjalin hubungan yang baik dengan
AS.
Karena itu, dengan tidak mengurangi sikap kritis, mengapa kita tidak bersikap
kooperatif terhadap AS dalam upayanya memerangi terorisme global itu?
Ingatlah, AS sudah pernah melontarkan pertanyaan besar bagi negara-negara di
dunia:"You are either with us or againts us?" Beberapa negara, seperti Pakistan,
Filipina, Malaysia, dan Singapura, telah menjawabnya.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Bisakah kita sekarang menjawabnya secara
tegas, dan lalu menin-dak-lanjutinya secara konkret? Ataukah memang Indonesia
sejenis bangsa ambigu, yang di dalam banyak hal tak pernah jelas pendiriannya?
Penulis adalah Dosen Fisipol UKI dan kandidat Doktor Ilmu Politik UI.
Copyright © Sinar Harapan 2002
|