The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

Poso Terkapar karena Maaf yang Parsial


SUARA PEMBARUAN DAILY, 17/9/2002

Poso Terkapar karena Maaf yang Parsial

Oleh Pdt Rinaldy Damanik
Ditulis dalam ruang tahanan Mabes Polri, Jakarta

Solusi saling memaafkan dalam konteks lahirnya Deklarasi Malino untuk Poso terseok-seok dalam perjalanan sosialisasi dan implementasi rekonsiliasi. Ironisnya, pelanggaran butir-butir deklarasi, pengeboman, penembakan, pembunuhan, penganiayaan, penyerangan, fitnah, dan lainnya tak kunjung terungkap. Mengapa?

Karena working vision-nya tidak jelas, sifat saling memaafkan menjadi superfisial, hanya di permukaan. Sebab, secara empiris, religius, kultural, bahkan dari segi dimensi hukum; bagaimana mungkin seseorang atau sekelompok orang dapat memaafkan dengan tulus jika ia tidak mengetahui secara pasti siapa dan tindakan apa yang dimaafkan.

Dalam kasus Poso, otoritarianisme dan kerahasiaan telah menyembunyikan siapa dan tindakan apa yang harus dimaafkan. Rekaman peristiwa dan pelaku tidak dapat dengan mudah diakses.

Dalam berbagai kasus ada bukti yang dianggap tidak memadai, ada bukti yang dipengaruhi oleh keterbatasan dan kelalaian menerapkan undang-undang, ada hasil investigasi yang dilindas oleh penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), bahkan ada tindakan yang "dihalalkan" oleh kelompok-kelompok ideologis fundamentalistis.

Suporter

Saling memaafkan ternyata cenderung melahirkan kenyataan pahit yang memicu kecurigaan, membekas dan membuat trauma bagi mereka yang diserang, yang bertahan hidup, yang mengungsi dan tereksploitasi. Mereka adalah kelompok masyarakat korban yang tidak berdaya menerjemahkan penderitaannya menjadi bukti objektif.

Dalam alur yang parsial, di Malino, proses saling memaafkan hanya dibebankan kepada komunitas masyarakat yang "dicap" bertikai, celakanya "cap" itu dilekatkan dalam dikotomi keagamaan. Unsur pemerintahan, aparat keamanan, wakil rakyat daerah Sulawesi Tengah, Poso dan Morowali hanya menjadi suporter dari suatu festival saling memaafkan, seolah-olah mereka berada di luar konflik. Bahkan wakil-wakil dari mereka yang terpidana, dipenjarakan akibat kerusuhan Poso pun tidak dihadirkan dan suara nurani mereka diabaikan.

Akibatnya, terciptalah arena saling memaafkan yang parsial, yang menegaskan urgensi "siapa dan tindakan apa'' yang telah atau akan dimaafkan. Poso tersebut cepat atau lambat akan mengarah ke "program pengkambinghitaman'' dan exploitation de l'homme par l'homme. Saling memaafkan bukan sekadar mementingkan diri sendiri, tetapi wujud terbaik dari kepentingan orang lain. Sosialisasi dan implementasi maaf seharusnya secara substansial diwujudkan dalam komitmen: "Apa yang tidak memanusiakan-ku''. Jika itu terjadi, maka proses saling memaafkan telah memperbarui pemahaman manusia dari ortodoksi ke ortopraksi. Meminjam analis C Smith, saling memaafkan merupakan proses menjalin relasi kemanusiaan yang semula I and It menjadi I and You, dan berkembang dalam wujud We all.

Pertentangan konsep yang berlatar-belakang suku, agama, ideologi, lebur ke dalam bentuk perpaduan; yang tersarikan hanya prinsip kesatuan, kesederajatan yang menolak segala bentuk strukturalisasi kesenjangan, yang menolak segala model klarifikasi masyarakat yang menaklukkan (subjugated) yang ditaklukkan (surrendered) dan pendatang (outsider).

Relasi kemanusiaan yang we all dalam proses saling memaafkan menuju kehidupan damai membutuhkan pengakuan. Unsur-unsur pemerintah, aparat keamanan, wakil rakyat, masyarakat, tokoh-tokoh agama dan lain-lain, belum terlambat untuk tulus, jujur, berjiwa kesatria menyatakan siapa dan tindakan apa yang membuat Poso terkapar, meskipun siapa itu adalah dirinya sendiri dan tindakan apa itu adalah kebijakan dan kelakuannya sendiri.

Safari Terpadu

Pada satu sisi program repatriasi, relokasi, rehabilitasi, khotbah-khotbah dan lain-lain, patut disyukuri, termasuk penempatan aparat keamanan secara besar-besaran untuk alasan keamanan, meskipun indikasi dari suatu daerah yang aman dan damai antara lain; aparat keamanan dapat berkumpul dengan keluarganya, dan tak perlu sibuk dan lelah memikul senjata. Di sisi lain program tersebut patut dicermati agar tidak terjerumus ke program "ular berganti kulit''.

Seekor ular meskipun berganti kulit seribu kali, sikap dan perilakunya tetap ular, sebab hati nurani kemanusiaannya yang we all dan diaktualisasikan oleh seluruh komponen masyarakat, pemerintah, wakil rakyat, aparat keamanan dan lain-lain, untuk tulus, jujur dan berani mengungkapkan siapa dan tindakan apa yang membuat Poso terkapar.

Jika tidak ada yang berani memulainya, sudah saatnya para tokoh agama bersafari secara terpadu ke seluruh wilayah menyatakan dengan tulus ikhlas bahwa siapa itu adalah diri tokoh agama itu sendiri. Sebab, bukankah masyarakat yang gampang terprovokasi itu, pemerintah, wakil rakyat, aparat keamanan dan lain-lain adalah orang-orang yang lahir dan dibentuk dalam komunitas agama tertentu? Hal ini telah berulangkali diserukan, tetapi hingga kini belum ada respons yang memadai.

Solusi damai akan tercapai jika langkah itu diikuti oleh semua pihak, sekaligus agar terhindar dari maaf yang parsial yang menghalalkan budaya pengkambinghitaman yang menutup-nutupi kegagalan pihak tertentu. Selamat datang "budaya rasa malu'', selamat jumpa "budaya rasa bersalah'', damailah negeri kita; Tana Poso.*

----------
Last modified: 17/9/2002
 


Copyright © 1999-2001 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/soija2002
Send your comments to
alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044