Castro, Tiarma dan Iwan di Biennial Havana
TEMPO, Budaya: Wednesday, 07/Jan/2004 16:13:25
By: riautari
Tiching: Biennial Havana ke-8 telah usai. Namun buntutnya panjang. Fidel Castro menahan sejumlah jurnalis dan aktivis. Mungkin ada untungnya dua seniman Indonesia batal hadir, meski karya mereka tetap tampil di sana.
Awal tahun ini, Presiden Kuba, Fidel Castro memenjarakan 26 jurnalis dan aktivis hak asasi manusia dengan tuduhan konspirasi dengan "pihak musuh". Sebagai respon, pihak Amerika menegaskan lagi pelarangan perdagangan dan kunjungan ke Kuba, dan Uni Eropa memotong kembali ikatan politik dan budaya.
Beberapa penyandang dana di Biennial Havana ke-8, termasuk Prince Claus Fund di Den Haag, menarik dukungan mereka terhadap acara itu. Organisasi Belanda lainnya, The International Humanist Institute for Co-operation, mencabut sponsor mereka ketika organisasi tersebut mengetahui bahwa panitia penyelenggara pameran tersebut, menyensor proposal-proposal para seniman.
"Semakin banyak kontrol untuk tahun ini," ujar salah seorang seniman Kuba yang ambil bagian dalam edisi kedelapan biennial tersebut, seraya menambahkan bahwa pemerintah tidak mengijinkan benda-benda pribadi ditampilkan seperti biennial sebelumnya.
Tapi dengan perjuangan pemerintahan Castro untuk mengelola acara tersebut di panggung dunia dan penderitan populasi negara tersebut di bawah sanksi yang diterapkan Amerika sejak 1961, penyelenggaraan sebuah biennial seni tersebut menjadi kesempatan penting bagi Kuba dan para senimannya untuk menjalin hubungan dalam enam minggu dengan pertukaran dan diskursus budaya.
Dan dengan seniman Kuba yang mendominasi pameran, fungsi acara tersebut juga bisa digunakan sebagai iklan untuk talenta para seniman lokal. "Ketiga biennial dunia yang kami selenggarakan merupakan sebuah strategi untuk mempromosikan kesenian lokal. Kuba bukanlah sebuah pengecualian," ujar seniman Kuba, Tania Bruguera.
Pameran yang berlangsung sampai dari 1 November sampai 15 Desember itu menampilkan sekitar 150 seniman dari Amerika Latin, Karibia, Afrika, Timur Tengah, Asia, Eropa, Australia, Kanada dan Amerika. Dari Kuba sendiri, tampil 18 seniman. Sementara dari Indonesia, tampil karya Tiarma Dame Ruth Sirait, 35 tahun, dan Iwan Wijono, 32 tahun.
Berbeda halnya dengan biennial lainnya, seperti di Venesia misalnya, kali ini dua seniman Indonesia ini hanya bisa mengirimkan contoh karyanya. Bandingkan dengan keikutsertaan secara fisik Arahmaiani, Made Wianta, Tisna Sanjaya dan Heri Dono di Biennial Venesia. Persoalan tiadanya sponsor dana baik dari dalam maupun luar negeri membuat Tiarma dan Iwan hanya bisa mengirimkan video dan foto karya mereka.
"Bahkan untuk mengirimkan total karyaku yang semuanya seberat 150 kg ke Havana tidak bisa, karena biayanya justru lebih mahal dari harga tiket penerbangan ke sana yang kira-kira sebesar 2700 dolar Amerika," ujar Tiarma sambil tertawa pahit.
Di biennial kedua yang diikutinya ini, Tiarma menampilkan dua karyanya. Pertama, karya instalasi berjudul Global vs Local yang terdiri dari 56 boks boneka perempuan mengenakan pakaian modern dan tradisional. Proporsinya, 28 berpakaian etnis lokal di Indonesia, 28 sisanya berpakaian modern. Karya kedua berisi aksi performance tiga setengah menit berjudul Local Meets Local, yang memperlihatkan gadis blasteran Belanda dan Batak ini mengenakan gaun pengantin Padang sembari mengisap cerutu Dos Hermanos dari Kuba.
Pilihan Tiarma ke busana Padang lebih dikarenakan alasan teknis. Ketika itu alumnus fakultas desain Institut Teknologi Bandung (ITB) ini ingin mengenakan baju pengantin Batak sesuai dengan darahnya. Namun tak dperolehnya di tempat persewaan. Satu-satunya yang lengkap adalah baju Padang. Untuk cerutu, ia memang sengaja memilih benda yang menjadi ciri khas Kuba, sebagai perwujudan dari pertemuan simbol lokal Kuba dan lokal Indonesia.
Semestinya performance yang juga berisi adegan Tiarma menyantap makanan Kuba itu berdurasi satu jam. Namun dari konsultasinya dengan kurator biennial tersebut, ia memangkasnya menjadi tiga menit dengan terus diulang-ulang. "Karena menurutnya video satu jam tidak efektif dan akan membosankan penonton. Mereka (penonton) biasa bertahan kira-kira 5 menit untuk menonton video," ujar lajang kelahiran Bandung, 14 Oktober 1968 ini.
Tema Local Meets Local dan Global vs Local bagi Tiarma mewakili kegelisahannya sebagai seniman sekaligus pengusaha fashion. Beberapa kali ia merancang dan mencoba melemparkan produk yang mengangkat tema-tema lokal, seperti batik, namun semuanya terlibas dengan produk-produk global.
"Kalau masyarakat kita ngga betul-betul mencintai produk sendiri, dan ngga kebawa dengan gaya global, kita akan kuat secara ekonomi, contohnya India. Mereka semua masih suka mengenakan sari sampai sekarang. Sementara kita, budaya lokalnya makin mentah dan total hampir semuanya menerima budaya luar," ujar Tiarma.
Sementara Iwan Wijono, alumnus Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, mengirimkan video performance berdurasi kira-kira 10 menit berjudul The Rootless Man. Di video itu, tampil seorang aktor yang berjalan bolak balik di antara kendaraan militer dan truk. Lantas aktor tersebut berpidato soal modernitas yang diakhiri dengan majunya para penonton meludahi tubuh dan memulas parasnya dengan tanah.
Kedua tema yang diangkat Tiarma dan Iwan itu kiranya sesuai dengan tema biennial yang kali ini mengangkat Arte con la vida (kebersamaan seni dengan kehidupan sehari-hari). "Kami tertarik dengan kehidupan jutaan pria dan wanita di bumi, dan sebagai kurator, kami akn melakukan apapun dengan kekuatan kami untuk memberikan kontribusi terhadap perbaikan kehidupan," demikian ditulis pihak penyelenggara dalam pernyataan resmi.
Menghabiskan dana sekitar USD 200.000, biennial Havana mengambil tempat utama di benteng batu abad ke-18 yang terletak di mulut pelabuhan Havana. Selain itu di Morro-Cabaóa Historical-Military Park, the National Museum of Fine Arts, Casa de las Américas, Pabellón Cuba dan Wilfredo Lam Contemporary Art Center yang dikelola pemerintah.
Galeri-galeri yang dikelola negara (Amerika?) menjual karya-karya terseleksi kepada turis dan membayar sejumlah persentase kepada senimannya. Namun sejumlah seniman sukses seperti Sandra Ramos dan The Carpinteros (terdiri dari Dagoberto Rodriques dan Marco Castillo) lebih menyukai untuk bertransaksi langsung dengan para kolektor, mengundang mereka ke rumah dan studio mereka di mana meraka melakukan bisnis dalam dolar sehingga bisa membiayai seluruh keluarga. Di minggu pertama biennial menjadi sebuah masa hiruk pikuk dengan pembelian dari luar negeri. Sejumlah kolektor asing tiba dengan sebuah tur yang diorganisir oleh museum-museum dari Amerika atau agen-agen travel dari Eropa. Hal ini karena Amerika mengijinkan pemasukan khusus untuk materi seni dan pendidikan dari Kuba.
Kondisi ini mendorong pihak negara dengan cepat menyadari potensi pasar ini. Terbukti sebuah pelelangan seni di biennial ini berhasil mengeruk lebih dari USD100.000 untuk membiayao sebuah rumah sakit kanker anak-anak. Lantas seorang kolektor tak dikenal dari Monaco membayar USD11.000 untuk sebuah lukisan karya Kycho, seorang seniman yang pernah melukis latar belakang tempat untuk pidato Castro dan menempati sebuah rumah besar dari pemerintah.
Sementara seni di Kuba menyimpan potensi perubahan budaya dan politik, Helmo Hernandez, presiden selama sembilan tahun untuk Ludwig Foundation, sebuah organisasi dana dari Jerman untuk Kuba (satu-satunya yayasan dana dari luar di Kuba), melihat bahwa banyak seniman yang mengulang formula untuk kesuksesan komersial ketimbang membuat sebuah terobosan baru untuk menciptakan dialog dengan penonton domestik mereka.
Hernandez sedang merencanakan untuk memberi tekanan kepada media baru kepada karya-karya yang tengah dia danai, tapi daya tarik dolar di Kuba tetap besar. Seorang seniman Kuba mendukung pendapat Hernandez ini. "Menjadi seorang seniman merupakan sebuah kedudukan istimewa di sini. Aku memiliki sebuah rumah indah dan keluarga yang bahagia. Tapi hal itu tak terjadi dengan masyarakat lainnya di Kuba. Bahkan seorang doktor pun tidak mendapatkan kebebasan ekonomi atau politik seperti kami karena mereka mendapatkan gaji yang ditetapkan institusi pemerintah."
f dewi ria utari
Back to :: Tiarma Goes To Cuba! ::