Pembuangan
ENDEH, sebuah kampung nelajan
telah dipilih sebagai pendjara terbuka untukku jang ditentukan oleh
Gubernur Djendral sebagai tempat dimana aku akan menghabiskan sisa
umurku. Kampung ini mempunjai penduduk sebanjak 5.000 kepala. Keadaannja
masih terbelakang. Mereka djadi nelajan. Petani kelapa. Petani biasa.
Hingga sekarangpun kota itu masih ketinggalan,
ia baru dapat ditjapai dengan djip selama delapan djam perdjalanan dari
kota jang terdekat. Djalan rajanja adalah sebuah djalanan jang tidak
diaspal jang ditebas melalui hutan. Dimusim hudjan lumpurnja mendjadi
bungkah-bungkah. Dan apabila matahari jang menghanguskan memantjar
dengan terik, maka bungkah-bungkah itu mendjadi keras dan terdjadilah
lobang dan aluran baru. Endeh dapat didjalani dari udjung keudjung dalam
beberapa djam sadja. Ia tidak mempunjai telpon, tidak punja telegrap.
Satu-satunja hubungan jang ada dengan dunia luar dilakukan dengan dua
buah kapal pos jang keluar-masuk sekali sebulan. Djadi, dua kali dalam
sebulan kami menerima surat-surat dan surat kabar dari luar.
Didalam kota Endeh terdapat sebuah kampung jang
lebih ketjil lagi, terdiri dari pondok-pondok beratap ilalang, bernama
Ambugaga. Djalanan Ambugaga itu sangat sederhana, sehingga daerah
rambahan dimana terletak rumahku tidak bernama. Tidak ada listrik, tidak
ada air-leding. Kalau hendak mandi aku membawa sabun ke Wola Wona,
sebuah sungai dengan airnja jang dingin dan ditengah-tengahnja
berbingkah - bingkah batu. Disekeliling dan sebelah-menjebelah rumah ini
hanja terdapat kebun pisang, kelapa dan djagung. Diseluruh pulau itu
tidak ada bioskop, tidak ada perpustakaan ataupun matjam hiburan lain.
Dalam segala hal maka Endeh, di Pulau Bunga
jang terpentjil itu, bagiku mendjadi udjung dunia.
,,Kenapa, ja ? Kenapa disini ?" Inggit
bertanja.
,,Pulau Muting, Banda atau tempat jang djelek
seperti itu, ketempat-tempat mana rakjat kita diasingkan, tidak akan
lebih baik daripada ini," keluhku dengan berat ketika kami
memeriksa rumah jang gelap dan kosong dimalam hari kami sampai disana.
,,Diwaktu Belanda mendapat akal untuk mengadakan pembuangan, mula-mula
orang kita dibuang keluar Indonesia. Tapi, kemudian mereka menjadari,
biar kemanapun kita dieksternir, kita dapat menjusun kekuatan untuk
melawan mereka. Belanda achirnja memutuskan untuk mengasingkan para
pemberontak didalam negeri sadja, dimana mereka langsung dapat mengawasi
kita.
,,Kenapa dipilih Flores ?" Inggit
mengulangi ketika membuka kerandjang buku, satu-satunja kekajaan
pribadiku jang kami bawa. ,,Kebanjakan para pemimpin diasingkan ke
Digul."
,,Itu makanja," kuterangkan sambil
mengeluarkan buku-buku sekolah jang kubawa, sehingga setiap pagi dan
malam aku dapat mengadjar Ratna Djuami dirumah. ,,Di Digul ada 2.600
orang jang dibuang. Tentu aku akan memperoleh kehidupan jang enak
disana. Dapatkah kaubajangkan, apa jang akan diperbuat Sukarno dengan
2.600 pradjurit jang sudah disiapkan itu ? Aku akan merobah muka Negeri
Belanda dari New Guinea jang terpentjil itu."
Inggit tidak pernah mengeluh. Sudah mendjadi
nasibnja dalam kehidupan ini untuk memberiku ketenangan pikiran dan
memberikan bantuan dengan kasih mesra, bukan menambah persoalan. Akan
tetapi aku djuga dapat merasakan, bahwa dia susah. Bukan mengenai
dirinja sendiri. Dia susah mengenai diriku. Memang terasa lebih berat
untuk memandang seseorang jang ditjintai kena siksa daripada mengalami
sendiri siksaan itu. Sungguh pedih bagi seorang isteri untuk menjaksikan
suaminja direnggutkan dari kekuatan hidupnja, dari tjita-tjitanja, dari
kegembiraan hidupnja, bahkan direnggutkan sedikit dari kelaki-lakiannja.
Aku mendjadi seekor burung elang jang telah dipotong sajapnja. Setiap
kali Inggit memandangiku, setiap kali itu pula setetes darah menitik
dari uratnja.
Aku tidak pernah mengeluh tentang kesedihanku
kepada Inggit. Kalau ada, kami djarang membitjarakan soal jang rumit
dari hati kehati. Sekalipun hatiku sendiri gelap dengan keputus-asaan,
namun aku mentjoba menggembirakan hatinja. Aku selalu memperlihatkan
wadjah jang baik, sehingga wadjah itu tidak menundjukkan apa jang
sesungguhnja tergurat dalam hatiku.
Ach, saat jang sangat tidak menjenangkan
bagiku. Kedua reserse jang mengantarku menjerahkanku dari kapal seperti
menjerahkan muatan ternak jang lain. Pada waktu kapal mereka mengangkat
sauh, kedua orang dengan siapa aku hanja boleh berbitjara, diluar
keluargaku, sudah pergi. Setiap orang menjingkir daripadaku. Endeh
kembali mendjadi pendjaraku, hanja lebih besar dari jang sudah-sudah.
Disini bukan sadja aku tidak bisa mendapat kawan, akan tetapi aku
malahan kehilangan satu orang jang turut dengan kami. Mertuaku, Ibu Amsi
jang baik dan tersajang itu meninggal diatas pangkuanku. Akulah jang
membawanja kekuburan. Ia menderita sakit arterio-sclerosis. Pada suatu
malam ia pergi tidur. Esok paginja ia tidak bangun-bangun. Keesokan
harinja tidak bangun. Dihari berikutnjapun tidak. Aku
menggontjang-gontjang badannja dengan keras, akan tetapi dipagi tanggal
12 Oktober 1935, setelah lima hari dalam keadaan tidur, ia pergi dengan
tenang dalam keadaan belum sadar.
Aku sangat lekat kepada orang tua ini.
Dibulan-bulan pertama jang sangat menjiksa, ditempat pembuangan itu
dikala batin kami dirobek-robek tak kenal ampun setiap djam setiap
detik, diwaktu itu tidak satupun perkataan jang tidak enak keluar antara
mertuaku dan aku sendiri. Bagaimana kami dapat tinggal bersama dengan
rukun adalah karena kami orang baik-baik. Aku djuga sedikit, barangkali.
Ibu Amsi lebih sederhana lagi daripada anaknja. Ia tidak bisa
tulis-batja. Tapi ia seorang wanita besar. Aku mentjintainja setulus
hati.
Dengan tanganku sendiri kubuat kuburannja. Aku
sendiri membangun dinding kuburan itu dengan batu tembok. Aku seorang
diri mentjari batu-kali, memotong dan mengasahnja untuk batu-nisan.
Dipekuburan kampung jang sederhana melalui djalanan sempit djauh
ditengah hutan berkumpullah beberapa gelintir manusia untuk memberikan
penghormatannja jang terachir. Ini adalah kemalanganku jang pertama.
Dan, terasa berat.
Satu-satunja manusia jang tinggal, dengan siapa
aku dapat berbitjara, adalah Inggit. Disuatu malam ketika kami duduk
berdua diberanda ketjil, hanja berdua seperti biasanja Inggit
mengalihkan pandangannja sebentar dari djahitannja untuk
mengungkapkan, ,,Tidak mungkin orang-orang disini tidak
mengenalmu. Mereka tentu sudah membatja tentang dirimu atau melihat
gambarmu disuratkabar. Sudah pasti banjak orang sini jang sudah
mengenalmu. Sudah pasti banjak."
,,Mereka tahu siapa aku, baiklah. Kalau
sekiranja mereka tidak pernah mendengar tentang diriku, tentu Belanda
tidak mendjalankan tindakan pengamanan untuk merahasiakan kedatangan
kita. Rakjat tidak tahu samasekali kedatangan Sukarno. Bahkan pegawai
pemerintahanpun tidak tahu kapan kita sampai disini."
Aku mengerti kemana tudjuan Inggit. Ia ingin
memperoleh djawaban, mengapa setiap orang menjingkir, seperti aku ini
hama penjakit. ,,Orang-orang jang terkemuka disini, tidak
mengatjuhkanku, bukan karena tidak kenal. Akan tetapi djustru karena
mereka mengenalku," kataku. ,,Orang-orang terpandang disini terdiri
dari orang Belanda, amtenar-amtenar bangsa kita dan orang-orang jang
memerintah seperti Radja. Mereka samasekali tidak mau tahu denganku.
Bahkan mereka tidak mau terlihat bersama-sama denganku. Aku tentu akan
menjebabkan mereka kehilangan kedudukannja."
,,Lagi pula, negeri ini terlalu ketjil,"
bisiknja.
,,Jah," aku mengangguk dengan lesu,
,,negeri ini terlalu ketjil.?"
Kami keduanja membisu, akan tetapi bau dari
pokok persoalan itu masih sadja mengapung dengan berat dalam ruangan
itu, seperti bau wangi-wangian jang murah. Akulah pertama memetjah
kesunjian jang pekat itu.
,,Orang tinggi-tinggi ini adalah alat. Boneka
Belanda. Mereka tidak mau mendekat, ketjuali untuk memata-mataiku.
Bahkan kaum keluarganja dilarang untuk berkenalan denganku. Dan mereka
tidak mau melanggarnja, karena takut masuk daftar hitam Belanda. Setiap
orang merasa takut."
Inggit menambahkan, ,,Kudengar adik Radja
tertarik pada pergerakan kebangsaan, sampai Belanda mengusirnja dari
sekolah di Surabaja. Kemudian dia dipulangkan kemari, sehingga tidak
dapa;t lagi mempeladjari politik."
,,Itulah jang kumaksud," kataku. ,,Mana
mungkin ia djadi kawanku. Dia berada disini karena alasan jang sama
denganku sebagai hukuman."
,,Tapi rakjat biasapun menjingkir dari
kita," Inggit menegaskan dengan suara ketjil.
,,Aku tahu."
,,Djadi bukan karena kita tidak mau
kenal."
,,Tidak. Bukan karena kita tidak mau
kenal."
Inggit sedang mendjahit badju kebaja untuk dia
sendiri. Sambil meletakkan djahitannja ia memandang kepadaku.
,,Tjoba," aku merenung dengan keras, ,,di
Sukamiskin badanku dikurung. Di Flores semangatku berada dalam kurungan.
Disini aku diasingkan dari masjarakat, diasingkan dari orang-orang jang
dapat mempersoalkan tugas hidupku. Orang disini jang mengerti, takut
untuk berbitjara. Mereka jang mau berbitjara, tidak mengerti. Inilah
maksud jang terutama dari pembuangan ini. Baiklah ! Kalau begitu
keadaannja, aku akan bekerdja tanpa bantuan orang-orang terpeladjar jang
tolol ini. Aku akan mendekati rakjat djelata jang paling rendah.
Rakjat-rakjat jang terlalu sederhana untuk bisa memikirkan soal politik.
Rakjat-rakjat jang tak dapat menulis dan jang merasa dirinja tidak
kehilangan apa-apa. Dengan begini, setidak-tidaknja ada orang dengan
siapa aku berbitjara."
Aku membentuk masjarakatku sendiri dengan
pemetik kelapa, supir, budjang jang tidak bekerdja inilah
kawan-kawanku. Pertama aku berkenalan dengan saudara Kota, seorang
nelajan. Kukatakan padanja bahwa tidak ada larangan berkundjung
kerumahku. Dia datang kerumahku. Kemudian dia membawa Darham
tukang-djahit. Setelah itu aku datang ketempat mereka. Dan begitulah
mulanja.
Aku mendekat kepada rakjat djelata, karena aku
melihat diriku sendiri didalam orang-orang jang melarat ini. Seperti
dipagi jang berhudjan dalam bulan Mei aku nongkrong seorang diri disudut
beranda jang ketjil itu. Ah, aku rnerasa kasihan terhadap diriku ! Aku
merindukan pulau Djawa, aku merindukan kawan-kawan untuk mentjintaiku.
Merindukan hidup dan segala sesuatu jang dirampas dariku. Selagi duduk
disana aku melihat seorang lelaki lewat. Seorang diri. Dan basah-kujup.
Tiba-tiba ia menggigil. Kukira belas-kasihku meliputi seluruh bangsa
manusia, karena melihat orang itu menggigil akupun menggigil. Sungguhpun
badanku kering, aku serta-merta merasa basah-kujup. Tentu, perasaan ini
dapat diterangkan dengan pertimbangan akal, akan tetapi ia lebih
daripada itu. Aku sangat perasa terhadap orang jang miskin baik dia
miskin harta maupun miskin dalam djiwanja.
Disamping kekosongan kerdja, kesepian dan
ketiadaan kawan aku djuga menderita suasana tertekan jang hebat sekali.
Flores adalah puntjak penganiajaan pada hari-hari pertama itu. Aku
memerlukan suatu pendorong sebelum aku membunuh semangatku sendiri.
Itulah sebabnja aku mulai menulis tjerita sandiwara. Dari 1934 sampai
1938 dapat kuselesaikan 12 buah.
Karjaku jang pertama didjiwai oleh
Frankenstein, bernama ,,Dr. Setan". Peran utama adalah seorang
tokoh Boris Karloff Indonesia jang menghidupkan majat dengan memindahkan
hati dari orang jang hidup. Seperti semua karjaku jang lain, tjerita ini
membawakan suatu moral. Pesan jang tersembunji didalamnja adalah, bahwa
tubuh Indonesia jang sudah tidak bernjawa dapat bangkit dan hidup lagi.
Aku menjusun suatu perkumpulan Sandiwara
Kelimutu, dinamai menurut danau jang mempunjai air tiga warna di Pulau
Bunga. Aku mendjadi direkturnja. Setiap tjerita dilatih malam hari
selama dua minggu dibawah pohon kaju, diterangi oleh sinar bulan. Kami
hanja mempunjai satu naskah, karena itu aku membatjakan setiap peran dan
para pemainku jang bermain setjara sukarela mengingatnja dengan
mengulang-ulang. Kalau orang dalam keadaan ketjewa, betapapun besarnja
rintangan akan dapat disingkirkannja. Inilah satu-satunja napas
kehidupanku. Aku harus mendjaganja supaja ia hidup terus. Kalau salah
seorang tidak dapat memainkan perannja dengan baik, aku melatihnja
sampai djauh malam. Aku malahan berbaring berkalikali dilantai untuk
memberi tjontoh kepada Ali Pambe, seorang montir mobil, bagaimana
memerankan dengan baik seseorang jang mati.
Untuk melatih anggota-anggota sehingga
mentjapai hasil baik sungguh banjak kesukaran jang harus ditempuh. Pada
suatu kali, Ali Pambe memerankan djurubahasa dari bahasa Endeh kebahasa
Indonesia. Tetapi Ali butahuruf. lidah Indonesianja masih kaku. Karena
itu aku harus mengadjarnja dulu berbahasa Indonesia sebelum aku dapat
mengadjarkan perannja.
Perkumpulan semua terdiri dari laki-laki oleh
karena kaum wanita takut dituduh terlalu berani. Tjukup aneh, di Pulau
Bunga jang terbelakang dan masih kuno itu ada suatu daerah bernama
Keo dimana sampai sekarang anak-anak gadis diizinkan mengadakan
hubungan djasmaniah dengan laki-laki. Dan jang paling baik diantara
mereka paling pandai dalam memuaskan laki-laki itulah jang
paling diidamkan untuk perkawinan. Dalam umur dua-puluhan gadis-gadis
ini adalah jang kuberi istilah ,,djenis Afrika-jang-belum-beradab, liar
dan tidak dapat didjinakkan". Bagiku perempuan dapat disamakan
dengan benua. Dalam umur tigapuluh dia seperti Asia berdarah panas
dan menangkap. Dalam usia empatpuluh ia adalah Amerika unggul
dan djagoan. Sampai pada umur limapuluh tabun ia menjamai Eropa laju
dan berdjatuhan.
Lepas dari persamaan setjara ilmu bumi jang
demikian, tak seorangpun wanita Pulau Bunga mau memegang peranan diatas
panggung. bahkan djuga tidak nenek-nenek jang sudah berumur enampuluh
tahun jang mengingatkanku pada benua Australia djustru terlalu djauh
dari djalan jang ditempuh ! Alasan jang pertama, kebiasaan wanita
Islam selalu berada dalam bajangan. Jang kedua, wanita ini takut
kepadaku. Dari itu, aku memetjahkan persoalan ini dengan hampir tidak
menulis peran wanita. Dan kalaupun ada, ia dimainkan oleh laki-laki.
Aku sendiri menjewa sebuah gudang dari geredja
dan menjulapnja mendjadi gedung kesenian. Aku sendiri jang mendjual
kartjisnja. Setiap pertundjukan berlangsung selama tiga hari dan kami
bermain dihadapan 500 penonton. Ini adalah suatu kedjadian besar dalam
masjarakat disana. Orang-orang Belanda djuga membeli kartjis. Hasilnja
dipergunakan untuk menutupi pengeluaran kami.
Aku rnembuat pakaian untuk keperluan ini. Aku
menggambar dinding belakang panggung darurat, sehingga ia terlihat
seperti hutan atau istana atau apa sadja jang hendak kami lukiskan. Aku
membuat pita-pita reklame dari kertas dan menggantungkannja
ditempat-tempat umum seperti pasarmalam. Aku membuat alat
dan perabot kami. Aku melatih dua orang laki-laki dan dua wanita untuk
menjanjikan kerontjong lagu-lagu gembira jang diperdengarkan
didalam waktu istirahat. Dan aku bersjukur atas usaha ini semua. Ia
memberikan keasjikan padaku. Ia mengisi detik-detik jang suram ini.
Setelah tiap kali pertundjukan, kubawa para
pemainku makan kerumah. Ja, aku bekerdja keras sekali untuk
menjelenggarakan sandiwara ini, dan untuk menjenangkan hati
pemain-pemainnja. Ini besar artinja bagiku.
Tidak ada jang dapat menghalang-halangiku
bertindak. Aku mendjadi seorang penjelundup terkenal dan berpengalaman
dan aku djuga berhasil memperoleh kelambu untuk kami. Dalam perusahaan
pelajaran antar-pulau awak kapalnja adalah orang-orang Indonesia dan
semua mereka mendjadi simpatisan. Ketika terdengar bahwa Bung Karno
memerlukan kelambu, seorang kelasi setjara pribadi menjelundupkan satu
untukku dalam pelajaran selandjutnja. Tidak ada kesukaran dalam hal ini.
Disuatu pagi jang saju turunlah dari sebuah
kapal jang akan menudju Surabaja seorang stokar berbadan tegap lagi
kekar. Ia datang kepadaku didermaga jang penuh-sesak, seperti biasanja
kalau kapal datang. Dengan diam-diam dia membisikkan kepadaku, ,,Bung,
katakanlah kepada kami, kami akan menjelundupkan Bung Karno. Tidak ada
orang jang akan tahu."
,,Terimakasih, saudara. Lebih baik
djangan," aku memandang kepadanja dengan perasaan terirnakasih.
,,Memang seringkali terbuka djalan seperti jang saudara sarankan itu.
Dan sering datang pikiran menggoda, untak lari setjara diam-diam dan
kembaili bekerdja bagi rakjat kita."
,,Kalau begitu mengapa tidak ditjoba sadja
?" ia mendesak. ,,Kami akan sembunjikan Bung
Karno dan memb awa Bung ke tempat kawan-kawan. Kami djamin
selamat."
,,Kalau saja lari, ini hanja saja lakukan untuk
memperdjoangkan kemerdekaan. Begitu saja mulai bekerdja, saja akan
ditangkap lagi dan dibuang kembali. Djadi tidak ada gunanja."
,,Apakah Bung Karno tidak bisa bekerdja setjara
rahasia ?"
,,Itu bukan tjaranja Bung Karno. Nilaiku adalah
sebagai lambang diatas. Dengan tetap tinggal disini rakjat Marhaen
melihat, bagaimana pemimpinnja djuga menderita untuk tjita-tjita. Saja
telah memikirkan budjukan hatiku untuk lari dan mempertimbangkan
buruk-baiknja. Nampaknja lebih baik bagi Sukarno untuk tetap mendjadi
lambang daripada pengorbanan menudju tjita-tjita."
,,Sekiranja disuatu saat berobah pendirian Bung
Karno, tak usah ragu. Sampaikanlah kepada kami."
Aku merangkul kawanku itu kedadaku dan tanpa
ragu-ragu mentjiumnja pada kedua belah pipinja. ,,Terimakasih, disatu
masa kita semua akan merdeka, begitupun saja."
,,Bung betul-betul jakin ?" stokar itu
bertanja.
Djawabanku chas menurut tjara Djawa. Aku
mendjawab dengan kiasan. ,,Kalau ada asap dibelakang kapal ini, tentu
ada apinja. Kejakinan ini didasarkan pada pertimbangan akal. 'llmu'ljakin.
Kalau saja berdjalan dibelakang kapal ini dan melihat api itu dengan
mata kepala sendiri, maka kejakinanku berdasarkan penglihatan. 'Ainu'Ijakin.
Akan tetapi mungkin penglihatan saja salah. Kalau saja memasukkan tangan
saja kedalam api itu dan tangan saja hangus, maka ini adalah kejakinan
jang sungguh-sungguh berdasarkan kebenaran jang tak dapat dibantah lagi.
Maka dengan Hakku'ljakin inilah saja memahami, bahwa kita akan
merdeka.
,,Belanda berbaris berdampingan dengan kedju
dan mentega, sedang kita berbaris bersama-sama dengan mataharinja
sedjarah. Disatu hari, betapapun djuga, kita akan menang. Dalam fadjar
itu, saudara, saja tidak akan lari dengan diam-diam, akan tetapi saja
akan berpawai keluar dari sini dengan kepala jang tegak."
Dikurangi dengan padjak, maka hasilku dalam
pembuangan ini dari pemerintah kurang dari sepuluh dollar seminggu.
Kemari kami karenanja sering kosong. Karena itu aku mentjari uang
tambahan dengan mendjualkan bahan pakaian dari sebuah toko tekstil di
Bandung. Mereka memberikan komisi 10% pada setiap barang jang
kudjualkan. Dengan mendjadjakannja dari rumah kerumah membawa tjontoh,
aku berkata, ,,Njonja, harga saja lebih murah dari toko-toko disini. Apa
njonja mau memesan sama saja ?"
Kemudian kukirim poswisel ketoko ini dan
setelah selang boberapa kapal kain itu datang. Lamanja sampai
berbulan-bulan, akan tetapi satu hal jang ada padaku, jaitu waktu. Apa
perlunja aku tjepat-tiepat ? Aku malahan mendapat bagian jang ketjil
dengan seorang pedagang sekutuku. Kami membuat harga rahasia antara kami
berdua. Berapa lebih jang dia peroleh itu mendjadi bagiannja. Dengan
djalan begini dia mendapat keuntungan sedikit dan akupun memperoleh
bagianku sedikit.
Hendaknja djangan ada diantara kawan-kawanku di
Djawa jang membanggakan diri, bahwa dia terus-menerus membantu kami
dengan kiriman makanan dan pakaian selama masa ini. Ja, mungkin ada
satudua, akan tetapi djarang sekali. Kalaupun ada kiriman jang datang,
aku segera meneruskan sebagian besar dari isinja kepada kawan-kawan jang
tidak beruntung di Digul. Ini kulakukan djuga kalau aku memperoleh sisa
uang boberapa rupiah.
Sekalipun kami hanja punja uang sedikit, kami
berhasil mentjukupi diri sendiri. Aku orang jang sederhana. Kebutuhanku
sederhana. Misalnja, aku tidak minum susu atau minuman lain jang datang
dari luarnegeri, pun tidak makan daging dari binatang berkaki empat.
Makananku terdiri dari nasi, sajur, buah-buahan, terkadang ajam atau
telor dan ikan asin kering sedikit. Sajuran diambil dari jang kutanam
dipekarangan samping rumah. Ikan kudapat dari kawan-kawanku para
nelajan.
Di Endeh aku dibatasi bergerak, djuga untuk
menikmati kesenangan jang ketjil-ketjil. Aku dibolehkan pergi ketepi
pantai untuk menjaksikan kawan-kawanku para nelajan, akan tetapi tidak
boleh naik perahu untuk berbitjara dengan mereka. Naik perahu dapat
berarti melarikan diri. Aku djuga boleh berkeliaran dalam batas lima
kilometer dari rumah. Akan tetapi lewat satu langkap sadja, aku
djadi sasaran hakuman.
Dikota ini ada delapan orang polisi, djadi
sungguhpun berpakaian preman aku mengenal mereka itu. Disamping itu,
hanja mereka jang memakai sepeda hitam dengan merek ,,Hima". Jang
terlalu djelas adalah bahwa mereka berada pada djarak jang tetap waktu
mengiringkanku. Kalau seorang Belanda jang misterius selalu berada pada
djarak 60 meter dibelakangku, maka tahulah aku.
Aku teringat disuatu sore ketika seorang
,,preman" membuntutiku didjalan-raja jang djuga didjalani oleh
angsa, kambing, kerbau dan sapi. Aku bersepeda melalui rumah-rumah
panggung dan menudju kesungai. Djalan menudju kesitu pendek, djadi dia
lalu mendajung mengembus-ngembus hampir bahu-membahu denganku. Pada
waktu dia berhenti disana untuk mendjalankan mata-mata, dua ekor andjing
melompat padanja sambil menjalak dan menggeram-geram. Pemaksa hukum jang
tinggi kedjam ini karena kagetnja memandjat keatas sepedanja dan berdiri
diatas tempat duduk dengan kedua belah tangannja berpegang erat kepohon.
Sungguhpun aku kepanasan dan dalam keadaan kotor diwaktu itu, namun
pemandangan ini lebih menjegarkan badanku daripada air sungai jang
sedjuk.
Setelah itu aku memprotes kepada kepalanja,
,,Saja tidak peduli apakah anak-buah tuan 'setjara rahasia' membajangi
saja, akan tetapi saja tidak ingin dia terlalu dekat."
Orang itu menjampaikan penjesalannja. ,,Ma'af,
tuan Sukarno. Kami menginstruksikan kepadanja untuk tetap berada dalam
djarak 60 meter."
Aku berada dalam pengawasan tetap. Disuatu sore
aku mengadjar sekelompok pemuda menjanjikan lagu kebangsaan ,,Indonesia
Raya". Karena ia terlarang, untuk keamanan aku memilih suatu tempat
diluar rumahku. Bukan karena aku akan kehilangan sesuatu, tidak, aku
ingin melindungi anak-anak ini. Masih sadja ada orang jang melaporkan
kedjahatan jang sungguh-sungguh ini.
Saudara dari Radja lalu diperintahkan untuk
memperoleh kepastian, kedjahatan apa jang telah dilakukan oleh Sukarno
dengan tindakan pengkhianatannja merusak anak-anak dibawah umur. Dengan
patuh dia menjuarakan akibat psychologis terhadap penduduk preman.
Djawabnja adalah, ,,Tidak ada samasekali. Mereka tidak dibakar dengan
semangat. Mereka bahkan tidak tahu apa arti 'Indonesia Raya'."
Sekalipun demikian, aku dipanggil kekantor
polisi, diperiksa dengan keras dan didenda F5,-jaitu dua dollar.
Pulau Bunga akan tetap kekal melekat dalam
kenanganku, karena berbagai alasan. Disinilah aku mendengar, bahwa Pak
Tjokro telah pergi mendahului kami. Sebelum ia pergi, ketika masih dalam
sakit keras, aku menulis surat kepadanja, ,,Bapak, sebagai patriot besar
jang menghimpun rakjat kita dalam perdjoangan untuk kemerdekaan, tidak
akan kami lupakan untuk selama-lamanja. Saja mendo'akan agar bapak
segera sembuh kembali." Berminggu-minggu kemudian, ketika kapal
datang membawa suratkabar kami, disampaikanlah suatu kisah tentang
bagaimana Pak Tjokro sebelum menghembuskan napas memperlihatkan surat
Sukarno kepada setiap orang. Aku menangis mengenang kawanku jang
tertjinta itu.
Djuga terdjadi di Pulau Bunga, aku membersihkan
diri dari segala tahjul. Selamanja aku pertjaja pada hari baik dan hari
nahas, aku pertjaja pada djimat jang membawa rahmat dan djimat jang
mempunjai pengaruh djahat. Di Bandung ada orang jang memberiku sebentuk
tjintjin pakai batu. Dalam batu itu terlihat lobang berisi tjairan
hitarn jang tidak pernah tenggelam. Seperti bidji ketjil jang mengapung
dan selalu berada diatas. Seorang pengagum memberikan benda jang aneh
ini kepadaku dengan utjapan, ,,Sukarno, semoga engkau tetap berada
diatas seperti bidji jang mengapung ini." Ia dinodai oleh kekuatan
guna-guna, tapi aku mempertjajainja. Diwaktu itu aku mempertjajai apa
sadja, karena aku memerlukan segala kekuatan jang bisa kuperoleh.
,,Djangan lupa, Sukarno," katanja, ,,Batu
ini bukan sembarang batu. Dia membawa untung."
Baiklah, aku pertjaja. Tidak lama setelah itu
aku dibuang ke Pulau Bunga. Aku tidak begitu pertjaja lagi kepadanja.
Demikianlah, ketika kujakinkan pada diriku sendiri, kepertjajaan jang
kegila-gilaan ini harus dihentikan. Dan kukatakan pada diriku, ,,Engkau
sudah melihat, penjakit tahjul jang djahat, akan tetapi mengapa engkau
tidak pernah makan dipiring retak, oleh karena engkau pertjaja bahwa
bentjana akan menimpamu kalau engkau melakukannja ?"
Harus kuakui bahwa ini benar. Suatu hari aku
sengadja minta piring retak. Aku gemetar sedikit karena pikiran sudah
tjukup ruwet tanpa menambah keruwetan itu dengan pelanggaran
kepertjajaan jang kuat ini.
Akan tetapi kuletakkan djuga piring itu diatas
medja dan memandangnja. Kemudian aku berpidato kepada piring jang
gandjil ini jang begitu berkuasa terhadap djiwaku. Kataku, ,,Hei engkau
............... engkau barang jang mati, tidak bernjawa dan dungu.
Engkau tidak punja kuasa untuk menentukan nasibku. Kutantang kau. Aku
bebas darimu. Sekarang aku makan dari dalammu."
Beginilah tjaranja aku mengatasi tiap-tiap rasa
takut jang mengganggu pikiranku. Aku hadapi rasa takut ini dengan tenang
dan sedjak itu tidak takut lagi.
Aaaah, masih sadja batu itu ada padaku. Aku
sangat ingin mempunjai keberanian untuk melepaskan pembawa untung besar
ini. Selagi berpikir keras tentang batu ini, kebetulan uang sedang tidak
ada. Sudah mendjadi sedjarah dari Sukarno bahwa ia tak pernah punja
uang, sedangkan ini adalah harta jang senantiasa diperlukannja. Sampai
kini keadaannja sama sadja. Keadaanku sangat melarat ketika aku
berkenalan dengan seorang saudagar kopra jang makmur dikota itu. Aku
memutuskan untuk mendjual pembawa untung jang besar ini kepadanja.
Dan sebagai pendjual jang pandai kutawarkan
batu itu dengan perkataan jang muluk-muluk.
,,Tjoba lihat," kataku mengadu untung,
,,Saja punja barang jang susah didapat. Orang akan selalu beruntung
besar dengan batu seperti ini, karena batu begini hanja ada
satu-satunja. Tidak ada duanja didunia." Kebetulan utjapanku ini
memang benar dan aku tidak rnembohong dan kebetulan pula aku sangat
memerlukan uang dan ingin memperoleh sebanjak mungkin dari dia.
Kemudian aku menekan gas jang terachir,
,,Dengarlah, begini. Saudara saja lihat adalah orang jang mempunjai
sifat-sifat baik, maka dari itu saja menawarkan suatu kesempatan jang
sangat istimewa. Kalau saudara menjerahkan seratus limapuluh rupiah,
jang tidak berarti bagi saudara, saja akan berikan batu ini."
,,Setudju," teriaknja dan segera
mengadakan pertukaran. Tjaraku melakukan djual-beli begitu berhasil,
sehingga ia betul-betul takut aku akan merobah pendirian lagi.
Dan dengan begitu berpindah tanganlah hartaku
jang terachir itu, benda pembawa untung dan terdjamin kekuatannja.
Tidakkah aku harus berienma-kasih kepada Puilau Bunga, karena aku
dibebaskan dari belenggu tahjul ?
Di Endeh jang terpentjil dan membosankan itu
banjak waktuku teriuang untuk berpikir. Didepan rumahku tumbuh sebatang
pohon keluih. Djam demi djam aku lalu duduk bersandar disitu, berharap
dan berkehendak. Dibawah dahan-dahannja aku mendo'a dan memikirkan akan
suatu hari ............... suatu hari ............... Ia adalah perasaan
jang sama seperti jang menguasai Mac Arthur dikemudian hari. Dengan
menggetarnja setiap djaringan otot dalam seluruh tubuhku, aku
menggetarkan kejakinanku, bahwa bagaimanapun djuga disuatu tempat
disuatu hari aku akan kembali. Hanja patriotisme jang
berkobar-kobarlah dan jang masih tetap membakar panas dadaku didalam,
jang menjebabkan aku terus hidup.
Inggit selamanja menjakinkan padaku, bahwa dia
merasakan didalam tuiang-tuiangnja aku disatu hari akan mendjadi orang
jang memegang peranan. Akan tetapi aku tidak pernah mempersoalkannja.
Aku tidak pernah berbitjara tentang masa depan, aku hanja memikirkannja.
Pada setiap djam aku dalam keadaan bangun aku memikirkannja.
Kukira, selama tiga setengah abad dibawah
pendjadjahan Belanda dunia-iuar hanja satu kali mendengar tentang negeri
kami. Ditahun 1883 Rakata, gunung kami jang terkenal itu, meletus. Ia
memuntahkan batu, kerikil dan abu menempuh orbit jang mengelilingi bumi
selama bertahun-tahun. Lama setelah itu, ketika langit di Eropah
mendjadi merah, orang menundjuk kepada gunung Rakata. Ini sama halnja
denganku. Aku telah membikin ribut-ribut dan sekarang aku disuruh diam.
Ketika sekawanan kutjing berkandang dekat pohon
keluih itu dan karena .empat itu tidak lagi tenang, aku lalu
berdjalan-djalan kedalam hutan. Aku mentjari tempat jang tenang dimana
angin mendesirkan daun-daunan bagai bisikan, karena bisikan Tuhan ini
terdengar seperti njanjian nina-bobok ditelingaku. Ialah njanjian dari
pulau Djawaku jang tertjinta.
Tempat pelarian menjendiri jang kugemari adalah
dibawah pohon sukun jang menghadap kelaut. Sukun, sedjenis buah-buahan
seperti avocado, adalah sematjam buah jang kalau dikupas, diiris
pandjang-pandjang seperti ketimun, rasanja menjerupai ubi. Aku lalu
duduk dan memandang pohon itu. Dan aku melihat pekerdjaan daripada
Trimurti dalam agama Hindu. Aku melihat Brahma Jang Maha Pentjipta dalam
tunas jang berketjambah dikulit kaju jang keabu-abuan itu. Aku melihat
Wishnu Jang Maha Pelindung dalam buah jang londjong berwarna hidjau. Aku
melihat Shiwa Jang Maha Perusak dalam dahan-dahan mati jang gugur dari
batangnja jang besar. Dan aku merasakan djaringan-djaringan jang sudah
tua dalam badanku mendjadi rontok dan mati didalam.
Kemudian aku dihinggapi oleh penjakit kepala
dan merasa tidak sehat samasekali. Tapi setiap pagi aku masih merangkak
keluar tempattidur untuk duduk-duduk dibawah pohon sukun djauh dari
rumah. Pohon sukun itu berdiri diatas sebuah bukit ketjil menghadapi
teluk. Disana, dengan pemandangan kelaut lepas tiada jang menghalangi,
dengan langit biru jang tak ada batasnja dan mega putih jang
menggelembung dan dimana sesekali seekor kambing jang sedang bertualang
lewat sendirian, disana itulah aku duduk melamun djam demi djam.
Terkadang terasa udara jang dingin ditepi
pantai laut itu dan aku kedinginan. Seringkali aku merasa dingin, sedang
keadaan udara tidak dingin samasekali. Tapi masih sadja aku duduk
disana. Suatu kekuatan gaib menjeretku ketempat itu hari demi hari.
Aku memandangi samudra bergolak dengan hempasan
gelombangnja jang besar memukul pantai dengan pukulan berirama. Dan
kupikir-pikir bagaimana laut bisa bergerak tak henti-hentinja. Pasang
naik dan pasang surut, namun ia terus menggelora setjara abadi. Keadaan
ini sama dengan revolusi kami, kupikir. Revolusi kami tidak mempunjai
titik batasnja. Revolusi kami, seperti djuga samudra luas, adalah hasil
tjiptaan Tuhan, satu-satunja Maha-Penjebab dan Maha Pentjipta. Dan aku
tahu diwaktu itu ............... aku harus tahu sekarang ...............
bahwa semua tjiptaan dari Jang Maha Esa, termasuk diriku sendiri dan
tanah-airku, berada dibawah aturan hukum dari Jang Maha Ada.
Disuatu hari aku tidak mempunjai kekuatan untuk
duduk dibawah pohon itu seperti biasanja. Aku tak dapat bangun dari
tempat-tidur.
Jaitu dihari dokter menjampaikan, bahwa aku
mendekati kematianku karena menderita malaria.
webmaster didonk74@hotmail.com
|