Pendudukan Djepang
SEMENTARA itu Djendral Imamura, Panglima Tertinggi tentara pendudukan jang bermarkas-besar di Djakarta, memerintahkan agar para pemimpin bangsa Indonesia membentuk suatu badan pernerintahan sipil, akan tetapi mereka keberatan dengan alasan, ,,Kami tidak akan duduk dalam badan apapun tanpa Bung Karno." Imamura lalu mengirim surat kepada Kolonel Fujiyama. dan. menjatakan, ,Sebagian besar daripada tentara pendudukan beserta pimpinan. Jang mengendalikan tentara ini berada di Djawa. Tugas pemerintahan jang sesungguhnja ada disini dan ternjata urusan sipil tidak berdjalan dengan baik. Kami sangat memerlukan bantuan dari orang jang paling berpengaruh." Surat itu achirnja menjimpulkan, ,,Ini adalah perintah militer supaja memberangkatkan Sukarno." Ketika Fujiyama memerintahkanku segera, berangkat ke Palembang dimana sebuah kapal akan membawaku ke Djakarta, hatiku menari-nari gembira. Semendjak pendaratan Djepang di Padang empat bulan jang lalu aku mendo'a agar dapat kembali kepulau Djawa jang tertiinta, akan tetapi aku tidak tahu bagaimana tjaranja memenuhi keinginan hati ini. Sekaranglah Tuhan mendengarkan do'aku dan memerintahkanku kembali. Dekat Palembang kami
terlibat dalam suatu ketjelakaan. Dua buah kendaraan. Djepang dengan
ketjepatan jang penuh bertabrakan dihadapan kami. Satu dari kendaraan
itu adalah sebuah djip. Itulah pertamakali dalam hidupku aku melihat
djip. Kendaraan jang satu lagi sebuah truk besar. Kedua perwira. didalam
truk itu tergontjang, akan tetapi tidak apa-apa selain dari babak-belur
sedikit. Dengan memberanikan diri mereka tjepat-tjepat lari meneruskan
perdjalanan. Djip itu hantjur samasekali. Penumpangnja, seorang kapten,
mendapat luka parah. Adjudannja terpelanting kepinggir djalan dan hanja
pusing dan terbaring dibawah sebatang kaju. Sewaktu dia sadar lagi dia
menjatakan kepada kami, ,,Kami perlu segera sampai di Palembang. Saja
bawa Buick ini." Sesampai di Palembang aku menghadapi kesukaran jang lebib banjak. Para pembesar disana tidak mengizinkan kami meneruskan perdjalanan ke Djakarta sebagaimana instruksi jang telah kuterima. Orang jang bertugas menolakku dengan utjapan singkat, ,Dilarang bepergian antara Sumatra dan Djawa." ,,Tentu ada kekeliruan pengertian dalam hal ini," aku memberi alasan. ,,Perintah ini saja terima dari komandan atasan saudara sendiri." ,,Sekarang, ini tidak ada perdjalanan orang preman antara Sumatra dan Djawa," dia mengulangi lagi, sambil berdiri menjuruhku pergi. Ketika aku bertahan terus dia
menekan knop dan aku dihadapkan kemarkas Kenpetai jang menjeramkan. ,,Tidak benar," aku mendengus
tidak sabar. ,,Saja dapat membuktikan , ketidak-benaran keterangan
itu." Aku mengeluarkan kartu tanda berkelakuan baik jang diberikan
oleh Kolonel Fujiyama kepadaku dan dapat digunakan dalam keadaan-keadaan
seperti ini. Dia membatja pelahan-lahan. Kemudian diulangnja membatja
sekali lagi. Dan setjarik karton berwama putih inilah jang menjelamatkan
djiwaku. Namun persoalan pengangkutan tidaklah dipertjepat. Sekarang dia
minta bantuanku lagi untuk menjelesaikan persoalan setempat sebelum
menandatangani surat izin keluar. Dia duduk dipinggir medja. Aku
dikorsi. Kami berhadap-hadapan dan pada djarak jang dekat mukanja itu
menarik sekali untuk dipeladjari. Mulutnja tersenjum, akan tetapi
matanja tidak. ,,Lebih baik kami tidak menahan tuan dengan paksa, tuan
Sukarno," dia mendesis. ,,Akan saja bantu dengan apa jang dapat
saja berikan," djawabku setelah mempertimbangkan, bahwa tidak ada
lain jang dapat diutjapkan dalam suasana demikian itu. Aku menahan napas dan berhenti, akan tetapi Sibuntjit hanja memandang kepadaku, dengan sombong mengajun-ajunkan kakinja - setiap kali hampir-hampir mengenai kakiku - dan menantikan utjapanku untuk memberikan kesimpulan. ,,Pukulan-pukulan terhadap rakjat kami ini harus dihentikan. Ini bukanlah djalan untuk mentiiptakan persahabatan dan membangkitkan kepertjajaan rakjat," aku menegaskan. ,,Kalau tuan menghendaki kerdjasama dari saja jang baik, tuan hendaknja memperlihatkan kerdjasama pada saja." ,,Itu keliru," katanja memberungut. ,,Kelakuan buruk ini dilakukan oleh pradjurit-pradjurit Korea. Orang Korea terkenal dengan sifatnja jang gatal tangan. Pradjurit-pradjurit Djepang sikapnja djauh lebih baik. Mereka tidak pernah bertindak seperti itu." ,,Komandan,"' kataku. ,Orang Indonesia jang kena pukul tidak membedakan siapa jang bertindak itu. Soalnja ialah, apakah tindakan ini tidak bisa dihentikan ? Dan tidak dilakukan oleh siapapun ?" ,,Baik, tuan Sukarno, tuan dapat
memegang perkataan saja. Para Komandan Bataljon akan diperintahkan
supaja segera menghentikan perbuatan lantjang tangan ini." Sedjak
itu sikap mereka berobah. Empat hari empat malam lamanja kami terkatung-katung ditengah lautan. Kami tidur sambil duduk, setiap detik dan setiap menit angin laut dan kabut-air menjapu muka bumi selama duapuluh empat djam dalam sehari. Pelajaran ini djauh daripada menjenangkan. Ketika kami melalui Selat Bangka membadailah topan jang keras dan kami harus menahankannja diatas perahu jang terbuka, tanpa setjarikpun alat pelindung. Kemudian perahu-motor kami hampir terbalik karena menubruk pulau-karang jang rendah. Lagi pula aku gelisah menghadapi tantangan-tantangan ini, oleh karena aku tak pernah beladjar berenang. Dimasa mudaku sportku dalam air hanja memakai ban dalam jang dipompa, lalu duduk didalamnja dan mentjebur-tjebur. Kami membawa sajuran jang telah dimasak, ikan kering dan persediaan lainnja dalam stoples dan nasi seperiuk, akan tetapi aku tidak dapat makan. Jang masuk kedalam perutku hanjalah air djeruk sedikit. Aku terlalu mabuk, sehingga kukira aku akan mati. Kapal ketjil kami melambung keatas dan dihempaskan lagi oleh gelombang kebawah, tergontjang, mengoleng-oleng dan berpusing-pusing. Dan aku putjat seperti majat selama empat hari itu. Aku sakit, perutku terasa mual, aku pusing, kepala mengentak-ngentak, matahari membakarku angus, kabut air-laut membikin bibirku petjah-petjah, perutku lapar dan badan lemah - ach, peduli amat ! Bukankah sekarang aku pulang ? Aku sekarang kembali ke Djawa. Karena sangat bersjukur dapat kembali dalam keadaan hidup dan selamat, kusumbangkan seluruh milikku kepada kapten itu semuanja! Ini adalah permulaan baru bagiku. Kehidupan baru bagi negeriku. Dan aku ingin memulainja dengan kesegaran baru. Lintasan pertama dari tanahku jang
tertjinta ini terlihat ketika hendak masuk meninggalkan Laut Djawa. Hari
sudah sore dan panas ketika kami menderum-derum melalui iring-iringan
perahu-lajar penangkap-ikan dan sampan-sampan nelajan jang berbau
hanjir. Melewati perairan diluar aquarium jang dibuat didok dan memasuki
pelabuhan Pasar Ikan jang sempit, dimana hampir tidak mungkin dua buah
perahu berpapasan. Pasar ikan penuh sesak dengan tempat pendjualan hasil
dari laut. Airnja kotor. Daun-daunan, kepala ikan dan sampah kelihatan
mengapung dalam air. Bau hanjir dari ikan mati memenuhi udara, sekitar
itu. Akan tetapi, ketika aku dibantu melangkahkan kaki ketangga batu
jang membawaku keatas daratan, aku berbitjara dalam hatiku, ,,Alangkah
indah pemandangan ini. Seperti tak pernah aku melihat jang lebih indah
seumur hidupku." Anwar jang pertama datang. Tuhan melindunginja. Dia datang berlari dengan mata berlinang-linang. Kami berpelukan dan mentjium satu sama lain tanpa mempedulikan sekitar kami. Pertemuan ini tidak diiringi dengan pukulan punggung jang keras. Suasananja menggambarkan perasaan sjukur jang diutjapkan dengan tidak bersuara. Hanja airmata mengalir kepipi kami. Seperti kukatakan, kami tidak banjak mengutjapkan kata-kata. Kami tidak sanggup mengeluarkannja. la tidak bisa lewat dari kerongkongan. Sebaliknja ia mentjutjur dari mata kami. ,,Bagaimana kabamja Harsono ?" tanjaku, suaraku berobah karena terharu. ,,Baik. ,,Utari ?" ,,Semua baik. Jang lebih penting lagi saja menanjakan bagaimana keadaan Bung Karno." ,,Akupun baik." Kami berdiri merenggang dan saling memperhatikan satu sama lain pada djarak satu lengan. Didepannja ia lihat sekarang seorang laki-laki jang letih dan kurus, pakai djas putih jang lapang dan tjelana tidak berbentuk. Pakaianku sangat ketinggalan djaman. la adalah buatan Darham, pendjahit dari Pulau Bunga jang tinggal denganku, atau hasil sebelum pengasingan. Anwar memakai djas kuning-gading dengan potongan ,,doublebreast". Setelah aku menjeka pipi dan mentjium tanah dibawahku, lalu menggosok mataku untuk mejakinkan apakah jang berdiri didepanku betul-betul Anwar, bukan-pajangan, aku kemudian kembali pada kenjataan. Kuraba-raba djasnja. ,Djasmu bagus sekali potongannja," aku memudji. ,,Bikinan De Koning," ia
melagak. Dia mengangkat kedua belah tangan
seperti tjorong kemulutnja dan berbitjara langsung ketelingaku. ,,Saja
masuk dari pintu belakang. Ongkosnja terlalu tinggi, akan tetapi ada
seorang kawan jang bekerdja sebagai pendjahit-pembantu ditoko De
Koning." Seringkali generasi muda menukil kembali utjapan-utjapan jang abadi dan jang akan hidup terus. Utjapan jang keluar dalam detik-detik jang besar didalam sedjarah. Utjapan jang akan menggeletarkan tulang sumsum, utjapan jang membangkitkan semangat, utjapan jang dituliskan dengan kata-kata indah seperti ini disaat pertemuan kami. Akan tetapi sajang, ketika kami bertemu dan setelah aku menanjakan tentang keadaan Anwar beserta keluarganja, pokok persoalan selandjutnja jang kutanjakan kepadanja hanjalah mengenai tukang djahitnja. Diminggu itu djuga aku pergi mendjahitkan pakaian jang pertama selama bertahun-tahun. Setengah djam kemudian Sartono, dan
Hatta datang berlarian. Hatta dan aku tidak berkiriman surat selama
bertahun-tahun. Dan sekalipun banjak jang hendak dikatakan dan banjak
jang hendak ditanjakan, namun masing-masing kami hanja punja satu
pertanjaan untuk jang lain. Hatta membisik, ,,Bagaimana pendapat Bung
Karno mengenai pendudukan ini ?" Kemudian aku bertanja, ,,Bagaimana,
Bung Hatta, bagaimana semangat nasionalisme dari rakjat kita ?" Djepang telah menjediakan sebuah
rumah bertingkat-dua dan manis potongannja, terletak disebuah
djalan-raja Djakarta. Rumah itu mempunjai lapangan rumput, beranda,
garasi dan perabot lengkap, ketjuali piring-piring barang petjah-belah
lainnja jang sudah dibanting-bantingkan oleh Belanda sebelum berangkat.
Tentunja tidak ada penjambutan kedatanganku kembali pulang, karena tak
seorangpun ,,Orang Belanda sudah diringkus
masuk kamp-tawanan," kata Ahmad Subardjo. ,,Kalau Bung Karno
berdjalan-djalan, akan melihat banjak rumah-rumah bagus jang kosong.
Isteri saja meneliti sebelah satu djalan. Isteri Sartono disoberangnja.
Dalam beberapa hari sadja mereka menemukan rumah ini."
webmaster didonk74@hotmail.com
|