Aku baru saja tiba di desa tempat kelahiranku pagi tadi bersama dengan seluruh keluarga yang saya cintai. Kami akan tinggal di sini untuk beberapa saat, di rumah tua yang pernah menjadi tempatku berteduh di saat aku masih kanak-kanak.
Saat kami tiba kami segera membersihkan dan merapikan rumah yang sudah penuh dengan debu, ngengat dan sarang laba-laba. Memang membersihkan rumah tua yang besar ini membutuhkan waktu yang cukup lama, tetapi untunglah semuanya mau membantu, begitu pula dengan cucu-cucu kecilku yang tidak mau kalah. Mereka mencabuti sarang-sarang laba-laba dan memainkan laba-laba yang malang itu dengan mencabuti kaki-kaki mungilnya satu persatu. Tentu aku segera menasehati mereka agar tidak melakukannya lagi. Kami memasang seprei dan gorden yang kami bawa dari rumah kami di kota. Kami juga membawa beberapa perabotan untuk sedikit mempercerah rumah ini.
Cucuku yang terkecil, Ivy, segera mengajakkku untuk pergi berjalan-jalan menelusuri desa ini setelah segalanya selesai. Yang lain lebih memilih untuk tinggal di rumah dan beristirahat. Ivy memang cucuku yang paling kuat dan bersemangat.
Aku dan Ivy pergi berjalan kaki menelusuri desa kenanganku. Aku merasakan kesegaran alam pedesaan yang membuatku teringat kembali akan masa-masa kecilku. Kira-kira empat puluh tahun yang lalu aku sering menelusuri desa ini hanya berdua dengan sepeda tuaku. Aku sering mengunjungi danau yang cukup terpencil dan hampir tidak pernah disentuh orang. Daerah di sekitar danu itu sangatlah indah. Aku masih bisa dengan sangat jelas membayangkan gunung-gunung yang diselimuti dengan salju putih diantara pepohonan rimbun dan daun-daunnya yang berguguran. Aku masih ingat akan bunga teratai dengan katak yang hinggap di atasnya. Bunga-bunga liar yang berwarna-warnipun masih dapat kugambarkan bentuknya satu-persatu. Segalanya begitu alamiah dan nyata dalam pikiranku, begitu pula dengan sebuah kejadian yang tidak pernah kulupakan... |