|
Isteriku
Tidak Bekerja
Oleh
: Kuni Khairunnisa
Dinukil
dari Pesantrenonline.com, selasa, 18 September 2001
Dalam
suatu seminar pernah terjadi perdebatan sengit tentang apakah status ibu
rumah tangga termasuk kategori pekerjaan atau tidak. Meski perdebatan
itu berakhir masih saja perempuan menghadapi situasi dilematis terhadap
dua pilihan langkahnya, berkarier atau rumah tangga. Berkarier dengan
segala kelebihan dan kekuranganya tentu membawa konsekuensi pada rumah
tangga, sementara menjadi ibu rumah tangga semata akan menghambat
aktualisasi potensi diri karena perempuan hanya akan berhadapan pada
pekerjaan monoton, non-profit, dan rumah sendiri tak lebih sebagai
terminal terakhir perempuan dimana di sana tak perlu pengasahan otak dan
tuntutan SDM berkualitas tinggi. Dari sini terlihat bahwa status ibu
rumah tangga lebih disandang dengan perasaan inferioritas tinggi
dibanding karier yang terlihat jelas keunggulannya. Dalam hubungan
bermasyarakatpun si perempuan akan memperkenalkan statusnya dengan suara
lirih dengan mengatakan "saya hanya seorang ibu rumah tangga
biasa", atau seorang suami akan memperkenalkan status istrinya
dengan nada suara merendah "istri saya tidak bekerja, ia hanya di
rumah."
Bila ditelaah dengan seksama masing-masing profesi tentu bermuara sama
yakni pada nilai kesungguhan dan keberhasilan yang akan dihasilkan,
hanya performance-nyalah yang berbeda. Lalu benarkah stereotip yang
berkembang bahwa ibu rumah tangga bukan suatu karier, dan karier hanya
terbatas pada hal-hal yang bersifat official dan profit semata? lalu
status apa yang mesti disandang bagi perempuan yang memilih jalur rumah
tangga sebagai pilihan hidupnya ? Tulisan ini mencoba mengulas posisi
perempuan sebagai seorang ibu rumah tangga yang menjadikan rumah sebagai
basis kariernya. Diantara banyak profesi yang ada, rumah bisa
diposisikan sebagai basis karier perempuan pula, yang membutuhkan
kesungguhan dan penanganan yang matang,well-planning, dan visi yang
tinggi. Hanya anggapan yang melekat bahwa perempuan tidak bekerja bila
perhatian dan tenaga yang dimilikinya dicurahkan di sanalah yang harus
segera dieliminasi. Sebuah puisi dari Chages, Challenges and Choices:
Women in Develompent in Papua New Guinea menuturkan:
My
Wife Does Not Work
But then,
Who scrapes the sago?
Who tends the pigs?
Grows and sells the food
So that the family survives?
......
Who fetches the water?
Looks after the children?
Who nurses the sick?
Whose work provides the time
For the men to drink, smoke and play poltics with friends?
Who minds the children?
.......
Whose labour
unseen
Unheard
Unpaid
Unrecognised
Unhelped
Helps development?
Who dares to say
My wife does not work?
(Artinya: Istriku Yang Tidak Bekerja////Suatu ketika/Siapa yang
mengerik sagu?/Siapa merawat ternak itu?/Menjadi tumbuh dan menjual
makanannya/Hingga keluarga itu bertahan//Siapa menimba air di
sumur?/Merawat dan menyayang anak-anak itu?/Merawat yang sakit?/Yang
pekerjaannya menghabiskan waktu/Yang bagi lelaki untuk minum kopi,
merokok, berpolitik dengan temannya?/Siapa hatinya tercurah bagi
anak-anak?//Yang perjuangannya/Tak-
terlihat/Tak-terdengar/Tak-dihargai/Tak-terbantu./Membantu
pembangunan?/Siapa peduli untuk bilang/Benarkah Istriku tidak
bekerja?)
Puisi ini
seakan ingin menggugah kesadaran masyarakat bahwa perempuan dalam segala
upayanya baik di rural area maupun di kota-kota besar, bekerja siang dan
malam dalam situasi yang berbeda untuk kemajuan dan kelangsungan hidup
suatu keluarga. Menanami ladang , mencari air, mendidik anak, merawat si
sakit menyediakan waktu untuk kepentingan suami yang sibuk dengan dunia
perpolitikan, bertandang dan bekerja bersama koleganya. Segala kesibukan
tersebut telah menguras energi, waktu, dan kesempatan perempuan, pada
bentuk kerja yang tidak terlihat, terdengar, terbayar, tidak dikenal,
tidak terbantu meski untuk suatu kemajuan......... dari realita ini
siapa yang masih kuasa untuk mengatakan istri saya tidak bekerja?
Indah sekali bila diilusrasikan pada konteks kekinian di mana perempuan
di rumah sibuk dengan segala urusan rumah tangga yang nampak sepele dan
tidak ternilai namun membutuhkan suatu penanganan yang cermat. Merawat
anak dan mendidiknya pada era teknologi bukan perkara mudah apalagi
permainan anak dan tontonannya tidak lagi berupa hal-hal sederhana tapi
perlu perhatian dan wawasan luas karena hal tersebut bagian dari target
kapitalisme global. Pada setiap serbuan berbagai permainan elektronik
dan modern maupun suguhan hiburan tentu membawa ekses-ekses negatif pada
psikologis anak hingga tumbuh menjadi pribadi yang konsumtif,
hedonistik, manja atau cengeng selain aspek positif lain berupa
kemandirian atau kemampuan mengaktualisasikan diri pada anak.
Nabi s.a.w. bersabda "bahwa setiap bayi yang dilahirkan dalam
keadaan suci, orang tuanyalah yang akan membuat ia Yahudi, Nasrani atau
Majusi. Barangkali jika dianalogikan menjadi peran orang tua sangat
besar dalam membentuk kepribadian generasi entah qur’ani kah, sekuler,
marxis, hedonis, oportunis, kapitalis atau ateis. Hal ini tidak terlalu
mengejutkan jika dicermati dengan perkembangan fasilitas teknologi dan
internet atau komputerisasi dimana seorang anak lebih mengenal Pakemon,
Dora emon atau memuja film-film produk Walt Disney, boneka Barbie, atau
boneka Telletubis bahkan game-game yang seronok sekalipun yang dikemas
dalam bentuk permainan anak dari pada mengenal rosul dan kisah-kisah
para nabi. Tak perlu di salahkan peradaban yang telah mempromosikan
produksinya namun akan lebih bagus jika tantangan jaman dihadapi dengan
proaktif dimana ketika seorang perempuan dengan dukungan suami telah
memilih rumah sebagai basis karier, itu berarti mempersiapkan suatu
wawasan dan membuka cakrawala lebar akan segala kemungkinan yang bakal
datang di jaman generasi selanjutnya. Hal itu tentu tidak bisa dicapai
dengan proses yang alami namun perlu pembelajaran sejak dini.
Dalam bukunya Stephen R.Covey pernah memaparkan suatu kejadian yang
menimpa sebuah keluarga dimana sang anak yang baru menginjak usia tujuh
tahun telah menjadi penonton setia sajian pornografi di situs internet,
inipun di peroleh dari kawan seusia anak tersebut dari hasil perambahan
di dunia maya. Atau penemuan The Ladies Home Journal Amerika bahwa pada
umur 13 tahun 1 dari 12 anak bukan perawan lagi dan 45% anak laki-laki
telah melakukan kegiatan seks bebas. Hal di atas bukan tidak mungkin
terjadi di lingkungan terpencil di pelosok Indonesia. Di tanah air,
kasus tindak kekerasan, tawuran, prostitusi di bawah umur, drug
addiction menjadi sajian berita yang tak asing. Dengan demikian
tantangan keluarga dalam mendidik anak sangatlah besar. Bekal mendidik
generasi tidak hanya ditanggung oleh lembaga pendidikan atau lingkungan
namun keluarga sangatlah menentukan. Dan peran ibu sangatlah besar, dan
ini tidak cukup dengan kuantitas ibu berada bersama anak tapi kualitas
pun sangat perlu. Ini terbukti dari banyak anak nakal hasil didikan dari
ibu rumah tangga meski juga dari background ibu yang berkarier.
Hingga sampai pada kesimpulan bahwa profesi orang tua atau ibu tidaklah
menjamin keselamatan anak atau generasi yang bakal lahir dari keluarga
tersebut. Keseriusan dalam mendidiklah yang menentukan selain hal itu
ditunjang dengan bekal ilmu yang tidak sedikit baik wawasan
psikologis,perkembangan teknologi, pemahaman terhadap trasformasi sosial
yang ada dan pendidkan dasar beragama atau moral.
Ada beberapa hal yang mungkin diabaikan sebagian perempuan atau
laki-laki ketika mendidik suatu generasi bahwa semua itu ditangani
dengan ala kadarnya tanpa perencanaan dan pemantauan serius hingga
generasi yang dihasilkan pun jauh dari yang dicita-citakan Islam. Maka
bila seorang perempuan telah konsis dengan pilihannya untuk menjadi ibu
rumah tangga maka ini adalah karier pula yang perlu keseriusan dan
ketekunan penuh, bukan inferiority. Karena rumah bukan terminal akhir
bagi perempuan yang tidak berkarier di luar rumah, aktualisasi bisa
berawal dari sini. Akankah generasi yang dididik dengan intensitas
tinggi dari keberadaan seorang ibu di rumah, jauh lebih baik ditinjau
dari segi kualitas moral dan kepribadian? atau hasil didikan seorang ibu
yang menjadikan rumah sebagai profesi sambilan setelah karier di luar
rumah lebih baik?
Mengendalikan roda rumah tangga, mendidik generasi yang baik dan
berkualitas tentu membutuhkan SDM yang berkualitas unggul, yang akhirnya
sampai pada firman Allah "Katakanlah tiap-tiap orang berbuat
menurut keadaannya masing-masing maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa
yang lebih benar jalannya"(QS 17;84). Tak perlu ragu untuk
mengatakan dengan mantap status perempuan atau istri bahwa ia berprofesi
sebagai ibu rumah tangga. Tentu dengan memberi dukungan moril dan
spiritual sehingga profesi ini pun sejajar denga profesi-profesi lain
agar lebih mmpunyai target yang jelas dan pencapaian yang matang.
Wallahua’laam.
|
|