WISATA CIAMIS
Green Canyon Cukang
Taneuh
Pariwisata jadi andalan
Pemda. Tapi losmen rakyat sering diusili. Orang bule tak
bisa lepas dari perkawinan karena "diikat" Nyi Roro
Kidul.
MATAHARI pagi dan sore di
Pantai Pangandaran tampak indah dipandang, tak lain karena
pantai di wilayah Ciamis, Jawa Barat, itu berada di dua
teluk. Di antara dua teluk itu menjorok semenanjung berhutan
cagar alam. Di situ juga ada gua alam dan gua bekas
pertahanan militer Jepang. Di saat air laut surut, misalnya,
keelokan aneka bunga karang yang warna-warni bisa
dinikmati.
Pangandaran memang
menyimpan pesona. Tapi pantai itu masih kalah populer
dibandingkan dengan Pantai Kuta atau Sanur di Bali. Maklum,
infrastruktur Pangandaran belum tergarap secara baik. Sikap
masyarakatnya pun belum "wisata minded". Lihat, misalnya,
mereka memarkir perahu seenaknya sehabis melaut. Buntutnya,
pantai itu tak sedap dipandang.
Padahal, Pemerintah Daerah
(Pemda) Ciamis sangat menyadari bahwa objek wisata adalah
andalannya. Tercatat, sedikitnya ada 16 objek wisata, baik
mengenai alam pegunungan, budaya, pantai maupun agrowisata,
di daerah itu. Misalnya, wisata Curug Tujuh Cibolang, Situ
Mustika, Goa Donan, Lembah Putri, Keusik Luhur, Situ
Lengkong Panjalu, Astana Gede Kawali, dan "Green Canyon"
(Cukang Taneuh).
"Green Canyon" Ciamis itu
memang mirip dengan kawasan wisata di Kolorado, Amerika
Serikat. Hanya saja, Green Canyon asli bebatuannya terletak
di atas padang terbuka, sedangkan "Green Canyon" Cukang
Taneuh berada di pinggir sungai yang saling mengapit.
Lokasi "Green Canyon" itu
di Desa Kertajaya. Untuk mencapai lokasi tersebut perlu
menyusuri Sungai Cijulang dengan perahu motor selama sekitar
15 menit. Wisata itu ditemukan dengan tanpa sengaja. Pada
1980-an ada turis Jerman datang ke tempat itu. Kemudian
disusul turis-turis asing lainnya. Setelah itu, barulah
wisawatan lokal tergerak melirik tempat tersebut.
"Wonderful! Saya belum
pernah melihat tempat seindah ini," kata Barbara, turis
berkebangsaan Jerman. Sepanjang jalan menyusuri Cukang
Taneuh, Barbara menyimak dinding "Green Canyon" yang
digantungi dengan akar-akar pohon yang mengeluarkan air,
persis seperti stalaktit. Mulutnya selalu berdecak kagum.
"Bagaikan berada di belahan dunia lain," katanya.
Pada musim kemarau ini,
keindahan Cukang Taneuh malah tampak jelas. Sungai bening
yang berada di dalam "gua" itu seolah menyihir para turis
untuk segara berendam. Byur! Tahu-tahu beberapa turis sudah
nyebur dan berenang di kali itu. Selepas mandi, barulah
mereka kebingungan karena pakainnya basah.
Objek wisata lain yang
menyedot wisatawan lokal adalah makam penyanyi Nike Ardilla
di Desa Imbanegara. Pada malam Jumat Kliwon atau pada bulan
Maulud, pengunjung ke makam itu cukup membludak. Tak jelas,
mengapa makam Nike dianggap membawa berkah.
Yang dilirik pihak Pemda
Ciamis adalah Terowongan Wilhelmina sepanjang 1,2 kilometer.
Terowongan kereta api yang tak berfungsi itu bisa disulap
menjadi objek wisata kalau dilengkapi dengan agrowisata. Di
lokasi yang tak jauh dari Pangandaran itu juga ada dua
terowongan lain. Belum lama ini, terowongan kereta api
peninggalan Belanda itu ditinjau pihak Pemda Ciamis.
Di antara sejumlah objek
wisata tersebut, Pangandaran paling populer. Setiap tahun,
lokasi itu menyedot sekitar 16.000 wisatawan asing yang
rata-rata tinggal 4-5 hari. Dari tiap-tiap turis, tersedot
sekitar US$ 75 sehari. Menurut Sekretaris Wilayah Daerah
Ciamis, Drs. Memet Slamet, sektor pariwisata itu per tahun
menyumbang Rp 4,6 milyar (30%) bagi Pendapatan Asli Daerah
Sendiri (PADS) Ciamis.
Pendapatan per kapita
warga Pangandaran pun melonjak menjadi US$ 1.200, di atas
rata-rata warga Ciamis yang US$ 900. "Di Pangandaran, apa
pun yang dijual pasti jadi uang," kata Memet Slamet. Dengan
alasan itu, prioritas pembangunan di Pangandaran
ditingkatkan. Misalnya, penataan objek wisata serta
pelebaran dan pemulusan jalan.
"Di kawasan Pangandaran
banyak lokasi yang sangat potensial untuk dikembangkan.
Namun dana kami sangat terbatas dan kami hanya mampu
menyediakan sarana dan prasarananya," kata Bupati Ciamis,
Dedem Ruchlia. Ia membutuhkan investor.
Keinginan itu disambut
Grup Lippo. Pihak Lippo bakal membangun resor wisata hutan,
lengkap dengan lapangan golf, di areal ratusan hektare di
Batukaras. Kini areal itu dalam tahap pembebasan. Grup
Bimantara juga tengah menaksir lahan PTP seluas 342 hektare
yang hak guna usahanya habis tahun ini.
Proyek-proyek besar itu,
antara lain, akan memindahkan rumah penduduk, perkantoran,
sekolah, dan pemakaman ke bagian utara, tak jauh dari lokasi
wisata. "Tapi soal ini membutuhkan sosialisasi yang cukup
panjang," kata Dedem Ruchlia.
Belum jelas, berapa modal
yang bakal ditanamkan pada proyek-proyek tersebut. Yang
pasti, pihak Pemda -lewat anggaran pendapatan dan belanja
daerah- telah membangun Bandara Nusawiru yang menelan biaya
Rp 6 milyar. Landasan bandara yang telah mampu didarati
pesawat jenis CN-235 dan Fokker 28 itu ditambah agar mampu
didarati pesawat berbadan lebih lebar.
Tapi jauh sebelum investor
raksasa menjarah Pangandaran, pemodal kecil telah ikut
menyemarakkan Pangandaran. Misalnya, tampilnya Penginapan
Delta Gecko milik suami-istri Kristina-Agus Gecko di Desa
Cikembulan. Ada pula Losmen Kelapa Nunggal milik pasangan
Inggris-Indonesia dan Francisco Brillo milik suami-istri
Indonesia-Italia.
Repotnya, losmen-losmen
yang bertarif murah itu sering "dirongrong" aparatur
setempat. Pungutan-pungutan tak resmi selalu saja muncul,
dan menjengkelkan. "Pangandaran ini aneh," kata seorang
pemilik losmen. Tukang becak saja -konon didukung aparatur
setempat- berani meminta Rp 10.000 kepada tamu
losmen.
"Itu menandakan bahwa
warga Pangandaran sangat komersial," kata sumber Gatra.
Komersial bagi dunia bisnis memang sah-sah saja. Tapi kalau
sudah mengarah pada "pemerasan" memang menjengkelkan.
WY,
dan Taufik Abriansyah
(Bandung)
Menjaring Turis
Pas-pasan
ADA semacam kepercayaan
yang muncul di Pangandaran: bule yang jatuh cinta kepada
warga setempat dipastikan tak akan kembali ke negerinya.
Cerita mistis itu dipercayai Kristina, 49 tahun. Wanita asal
Sydney yang datang ke Pangandaran pada 1990 itu kini menetap
di Pangandaran bersama suaminya, seorang seniman bernama
Agus Gecko, 39 tahun. "Katanya, perkawinan itu diikat Nyi
Roro Kidul," kata Kristina hati-hati, takut ucapannya
salah.
Kristina tidak sendirian.
Di Kampung Cikembulan, ada dua bule asal Inggris dan Italia
yang juga berumah tangga dengan warga setempat. Kemudian, di
desa lain, tak jauh dari Cikembulan, ada sembilan orang
asing yang bernasib serupa. Mereka berasal dari Prancis,
Swiss, Jerman, dan Belanda.
Setelah menikah dengan
Gecko, Kristina mengelola Losmen Delta Gecko. Penginapan di
atas lahan seluas 2.000 meter itu berada di delta Sungai
Cikembulan. Adapun nama "Gecko" diambil dari kisah hidup
Agus, lulusan Fakultas Seni Rupa Institut Teknologi Bandung,
yang suka berteriak seperti suara tokek, "Gecko! Gecko!"
Maka populerlah dia sebagai Agus Gecko.
Delta Gecko mampu
menampung 100 tamu. Losmen itu terletak 5 kilometer dari
Pangandaran, tepat di bibir pantai, jauh dari permukiman
warga. Penginapan itu menawarkan atmosfer yang berbeda.
Bangunan, tempat tidur, meja, dan kursinya terbuat dari
bambu serta kayu -tanpa penerangan listrik, cuma memakai
lampu minyak. Kulkas, teve, dan sarana modern lain juga tak
ada.
Yang ada sentuhan
modernnya adalah kamar mandi. Sebab, di situ ada wastafel,
kloset duduk, dan pancuran air panas di ruang bersih
bermarmer. "Susah, bule nggak mau kalau kamar mandinya
kotor. Saya sering mendapat complain," kata Eti, resepsionis
Delta Gecko.
Losmen itu bertarif Rp
12.500-Rp 30.000. Dengan harga itu, wisatawan dipinjami
sepeda dan menikmati sarana perpustakaan yang memiliki 3.000
judul buku berbahasa Inggris, Belanda, Jerman, dan Prancis.
Selain itu tamu losmen diberi minuman segar buah kelapa,
teh, dan kopi, serta makanan tiga kali sehari. "Niat saya
memang tidak seratus persen mencari untung. Saya ingin
memberi tempat kepada bule-bule itu agar bisa menikmati alam
Indonesia dengan murah," kata Kristina.
Tamu Delta Gecko 100%
bule. Tamu lokal ogah singgah dengan alasan losmen itu tak
berlistrik. Tamu itu kebanyakan datang dari Belanda. Mereka,
rata-rata kelahiran Indonesia, tapi khawatir untuk kembali
ke Tanah Air. Begitu sampai di Pangandaran, pihak Delta
Gecko mengembalikan memori mereka ke zaman silam. Misalnya,
ada kerbau lewat di depan kompleks tersebut.
Untuk mencegah terjadinya
hal yang tidak-tidak, sebelum para bule itu membaur dengan
warga, Kristina akan memberi pengarahan, misalnya soal tata
cara bersopan-santun -termasuk cara berpakaian. "Pokoknya,
kalau keluar dari tempat ini harus memakai BH," kata
Kristina kepada Rita Triana Budiarti dari Gatra.
|