Suara Pembaruan Online

 

Cagar Alam Leuweung Sancang, Jabar Nyaris Terlupakan

PAMEUNGPEUK - Di pesisir selatan Pulau Jawa tak banyak lagi tersisa cagar alam yang menyimpan fauna dan flora yang menawan. Di antaranya yang sedikit itu, terdapatlah Leuweung Sancang, yang terletak di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Selain fauna dan flora, di tempat itu juga terdapat peninggalan-peninggalan dari Kerajaan Pajajaran di masa silam. Itu sebabnya hutan Sancang tidak bisa dipisahkan dari legenda-legenda kepercayaan masyarakat.

 

Leuweung Sancang, yang terletak 96 km sebelah selatan kota Garut itu, sejak 1 Juli tahun 1959 ditetapkan sebagai cagar alam dan suaka margasatwa. Di Leuweung Sancang juga bermukim banteng-banteng liar (Bos javanicus) yang mulai merasa kesempitan ruang geraknya. Seperti gajah, banteng suka bergerak bagai pasukan lapis baja. Sukar untuk dibendung bila sedang bergerak maju.

 

Bagi masyarakat sekitar hutan Sancang sendiri manghadapi banteng bukan masalah lagi, walaupun kelihatannya cukup menakutkan. Terutama bila banteng-banteng dalam keadaan panik dan tertekan. Tapi menurut para ahli, banteng bukan binatang terbilang buas. Banteng sebenarnya tidak berbahaya dan malah takut pada manusia.

 

Tahun 1940, menurut perhitungan, masih ada lebih kurang dua ribu ekor banteng di Pulau Jawa. Tapi, data dari Sub Balai Konservasi Sumber Daya Alam (SBKSDA) Jabar II, pada tahun 1994 jumlah banteng di Leuweung Sancang sekitar 96 ekor. Berkurangnya satwa banteng diperkirakan karena banyaknya perburuan liar yang dilakukan oleh sekelompok orang yang tidak bertanggung jawab.

 

Di samping itu, ruang gerak habitatnya makin terdesak. Padang rumput yang jadi makanan utamanya juga rusak. Jika berlarut-larut, keadaan seperti itu bisa mengantarnya kepada keadaan yang krisis.

 

Luas hutan Sancang sekitar 2.157 hektare, tak cukup luas bagi habitat banteng. Letaknya yang berbatasan dengan kawasan perkebunan dan permukiman penduduk, justru memudahkan bagi binatang ini untuk keluar dari kawasannya.

 

Sedangkan padang rumput yang ada di padang pengembalaan, Cipalawah, Cibako, Cipadarum, Cidahom, Cijeruk dan Ciporeang, tidak memenuhi syarat lagi.

 

Jenis tanaman yang jadi sasaran banteng-banteng liar, menurut penduduk di sini, adalah kulit pohon karet muda, pucuk kelapa muda dan persemaian karet. Banteng-banteng ini sering keluar untuk mencari makanan pada malam hari. Pada saat itulah tanaman karet, kelapa hibrida dan coklat diporakporandakan binatang-binatang tersebut.

 

Meski demikian menurut literatur, banteng bukanlah hewan yang suka menyerang manusia. Kecuali dalam keadaan panik/terdesak. Menurut petugas PHPA setempat, upaya untuk menjaga populasi banteng di hutan Sancang sudah sejak lama dilakukan. Misalnya, dengan melakukan pemeliharaan pangonan, tempat penggembalaan banteng.

 

Usaha ini selain memenuhi kebutuhan pangan, juga untuk menjaga banteng-banteng itu tidak keluar dari batas hutan Sancang. Untuk pemeliharaan ini, dilakukan pembabatan alang-alang, tanaman liar maupun semak-semak. Gantinya ditanami rumput benggala yang sangat digemari banteng.

 

Di samping banteng, yang sudah menjadi kekayaan dan kebanggaan nasional, terdapat pula beberapa fauna lainnya. Misalnya burung merak (Pavo muticus), yang kini dilindungi karena jumlahnya telah mendekati kemusnahan, Juga Kijang (munacus muncak), Ajag (Cuon Javanicus) dan Macan (Phantera pardus).

 

Di cagar alam itu terdapat sejenis flora yang cukup menonjol dan unik, disebut palahar (Shorea sp).

 

Tanaman ini satu-satunya jenis famili Dipterocarpaceae yang terdapat di Pulau Jawa, yang tumbuh subur di blok Cikalomberan. Pohon Kaboa, suatu tumbuhan yang mempunyai sejarah, ditemukan di muara Sungai Cipalawah. Sementara werejit (Excoecaria agallocha Linn), suatu jenis tanaman yang getah dan bunganya mengandung racun berbahaya bagi manusia.

 

''Getah werejit bahkan mampu meracuni air. Sepotong bahan werejit jika dilempar ke kolam, kontan ikan yang ada di dalamnya akan mati,'' kata Ade (40 th), seorang pemuda masyarakat Desa Sancang. Pohon werejit berleleran getah.

 

Tetesan getahnya bila terkena kulit akan menimbulkan luka bernanah, gatal dan panas. Sulit diobati. Konon kadar racun getah werejit lebih keras dua - tiga kali kadar racun geatah yang juga merusak kulit.

 

Keadaan alamiah hutan Sancang yang khas, dengan keadaan fauna dan floranya, telah mengundang banyak akhli untuk menyelidiki. Di antaranya Prof. Kostermans, seorang akhli botani, berhasil menemukan spesies baru pohon meranti. Pohon itu berukuran diameter 1,5 meter dan tinggi 45 meter, ditemukannya di blok Cihanjuang, pada pal batu 130 A, antara Sungai Cikalomeran di sebelah timur, dan Sungai Cipamingkis di sebelah barat.

 

Menurut catatan ada 100 jenis pohon meranti. Namun jenis yang tumbuh enam kilometer dari Desa Sancang itu, pernah ditemukan sekitar seratus tahun lalu di Pekalongan, tapi sudah punah. Satu-satunya yang masih hidup di Leuweung Sancang itu.

 

Pohon itu ditemukan pada tanggal 18 Oktober 1983 , yang kemudian diberi nama Ani Soptera Costata, persis ketika hendak ditebang oleh Sutarmin, karyawan perkebunan Mira-Mare. Dirjen PHPA, ketika itu dijabat Prof Dr Rubini, justru mengusulkan namanya ''Shorea-Sutarmin'' sebagai kenang-kenangan terhadap spesies yang sudah langka itu.

 

 

Legenda

 

Leuweung Sancang juga tidak lepas dari legenda sebagian masyarakat Jawa Barat. Di dalam hutan tersebut memang terdapat beberapa tempat bersejarah, seperti makam Prabu Siliwangi, salah seorang raja di Pajajaran. Juga makam Syech Pandita Rukmantara, sahabat putra sang prabu yang bernama Kian Santang.

 

Selain itu, masyarakat juga mempercayai adanya peninggalan lain. Seperti Cadas Sancanang dan Karang Gajah yang terletak di pantai sebelah timur muara sungai Cipangisikan, serta batu masigit. Peninggalan itu konon bagian dari legenda yang bertutur tentang kegaiban Prabu Siliwangi beserta para pengikutnya.

 

Di hutan itu dipercaya, pernah terjadi perjanjian antara raja Pajajaran yang beragama Hindu dengan Prabu Kian Santang yang telah menganut dan berniat mengislamkan ayahnya.

 

Karena Prabu Siliwangi tetap bertahan pada kepercayaan asli yang dianutnya, disepakati mulai dari Cipangikisan ke timur sampai Panjalu (Ciamis), berada dalam kekuasaan Prabu Siliwangi. Sedang ke arah barat sampai Banten dan Cirebon masuk dalam kerajaan yang memeluk agama Islam.

 

Selanjutnya terjadi keajaiban, legenda itu bertutur, bahwa Prabu Siliwangi menjadi harimau putih. Dan pengikutnya menjadi harimau lodaya.

 

Keraton beserta bangunan lain menjadi cadas dan batu seperti Cadas Sancang dan Karang Gajah yang sampai kini masih dapat disaksikan. Suatu legenda yang nampaknya lahir di masa penyebaran agama Islam di tanah Sunda ini.

 

Leuweung/Hutan Sancang yang punya legenda itu cukup banyak dikunjungi orang yang menikmati pemandangan indah di suaka alam ini. Banyak di antara mereka adalah peziarah yang mempercayai menghilangnya Raja Pajajaran di tempat tersebut. Bahkan di Leuweung Sancang ini pernah dipilih menjadi lokasi syuting film ''primitif''.

 

 

Kekeringan

 

Bagaimana gambaran kehidupan masyarakat di Desa Sancang, Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut saat ini? Kenyataan di musim kemarau ini warga di sini menderita krisis/kekurangan air bersih sejak tiga bulan terakhir ini. Sedangkan sarana air bersih bantuan pemda yang bernilai Rp 150 juta, ternyata tidak pernah berfungsi sebagaimana mestinya.

 

''Kalau tidak berfungsi pada musim kemarau saja, mungkin bisa dimaklumi. Tapi ternyata pada musim hujan pun tetap saja tidak ngocor,'' kata Kepala Dusun Sancang II, Onan Sutardi.

 

Berdasarkan data yang ada, Desa Sancang tidak jauh dari cagar alam Leuweung Sancang. Penduduk Desa Sancang sekitar 5.769 jiwa. Di antaranya 85 persen bekerja di perkebunan karet Mira Mare dan 15 persen lainnya bertani dan berdagang.

 

Menurut Onan Sutardi, air bersih selama ini memang termasuk sulit didapat warga Sancang, terutama jika musim kemarau tiba. Pada tahun 1995 lalu warga Sancang mendapat bantuan sarana air bersih dari Pemda Jabar.

 

Sedangkan menurut Ade Mulyadi, Seksi Pembangunan LKMD setempat, dana untuk pembuatan saluran air itu mencapai sekitar 150 juta. ''Menurut informasi bantuan itu sekitar Rp 150 juta,'' ujarnya.

 

Untuk mengalirkan air bersih, pipa di bentangkan dari sumber air di Gunung Candra, sejauh 5 km ke Desa Sancang. Gunung itu berada di sebelah utara desa tersebut. Masyarakat setempat sempat merasakan manfaat saluran air bersih itu. Namun hanya berlangsung sebulan saja.

 

''Setelah itu, hingga kini pipa tersebut tidak lagi mengalirkan air. Bak-bak penampungan air yang begitu bagus dan kokoh, tidak lagi berfungsi. Kami bingung juga, harus kemana mengajukan persoalan ini,'' kata Onan.

 

Di beberapa tempat, memang tampak bak-bak- penampungan air yang kondisinya masih bagus. Bak berbentuk bulat dan bercat biru tua bertuliskan ''Pengadaan Sarana Air Bersih Jawa Barat, Wilayah Propinsi Jabar, Departemen Pekerjaan Umum''. Kini pipa dan bak penampungan itu terbengkalai dan pecah-pecah. Sementara kran-krannya sudah banyak yang rusak.

 

Ironisnya, karena saluran air tidak berfungsi, maka warga masyarakat kembali menggali sumur di sekitar rumahnya sedalam 12-19 meter. Ternyata hal itu tidak bisa berlangsung lama. Kemarau yang panjang telah mengeringkan air sumur warga di sini.

 

Akhirnya untuk keperluan air bersih mereka membelinya dengan harga Rp 500,00 untuk satu jerigen berisi 40 liter. Air tersebut diambil dari hulu Sungai Cipangisikan di Gunung Candra.

 

''Masih untung tidak berjangkit penyakit yang membahayakan. Tapi memang di kawasan ini muntaber sudah rutin setiap tahun,'' kata Ade.

 

Upaya membeli air, kata Ade, bukan pemecahan masalah yang terbaik. Sebab kemampuan warga untuk membeli air bersih sangat terbatas. Dengan demikian mereka harus benar-benar menghemat penggunaan air bersih. Selain itu pengambilan air bersih di hulu Sungai Cipangisikan terbilang jauh.

 

Untuk merehabilitasi sarana air bersih, ujar Onan Sutardi, pada tahun anggaran 1997/ 1998 desanya menerima bantuan dari Pemda sebesar 3,5 juta. Namun bantuan itu nyatanya tidak mampu mengalirkan air bersih bagi penduduk Sancang. ''Saya sendiri tidak tahu bantuan itu sudah digunakan atau belum,'' katanya.