HOME
 
Peta Tasikmalaya
dan sekitarnya

Ramalaan cuaca

Artikel tentang Tasikmalaya

Gunung Galunggung

Alumni SMP & SMA 2 Tasikmalaya
 
Formulasi
Forum Muda untuk Silaturahmi Mahasiswa Tasikmalaya

Info kerusuhan Tasikmalaya

 

Pesona Pesantren di Tasikmalaya

 

kumeli 18 online

Suasana di Kota Santri

Hatiku senang sekali

Tiap pagi dan sore hari

Hilir mudik berbusana rapi

menyandang Kitab Suci...

Lagu qasidah yang ngetop beberapa tahun lalu itu agaknya klop dengan suasana Kabupaten Tasikmalaya. Wajah Tasikmalaya di sore hari memang kaya dengan warna santri. Di berbagai pelosok Tasikmalaya, biasanya tampak ribuann santri berduyun-duyun menuju masjid. Sarung, pici, dan baju 'takwa' putih -- atau jilbab , kitab kuning adalah seragam khas mereka. Pemandangan seperti itu tak hanya monopoli pesantren-pesantren konvensional yang ada di kampung-kampung pedalaman Tasikmalaya, tapi juga di pesantren-pesantren megah semisal di Pesantren Cipasung, Pesantren KH. Zaenal Mustofa.

 

''Tasikmalaya dan pesantren memang tak bisa dipisahkan,'' jelas Bupati Tasikmalaya Suljana WH. Menurut Suljana, pesantren di Tasikmalaya telah banyak memberikan sumbangan kepada masyarakat khusunya di dunia pendidikan. Selain itu pesantren juga telah berpatisipasi dalam pembangunan, lewat gerakan Santri Raksa Desa. Dengan gerakan, ini santri tak hanya ikut membangun sarana fisik - berupa mandi cuci kaku (MCK), tapi juga lewat pengajian-pengajian di malam hari. Pesantren juga telah membantu mengembangkan ekonomi rakyat lewat Koperasi Pondok Pesantren (Kopontren). ''Sekarang malah kan kita bentuk lembaga yang mengkoordinir Kopntren di tingkat Kabupaten dan Kecamatan untuk membuat Kopontren lebih efektif,'' jelas Suljana.

 

Dengan pemandangan sehari-hari seperti itu wajar bila banyak orang menjuluki Tasikmalaya sebagai Kota Santri. Julukan itu memang pas dengan realita. Menurut Badan Perencanaan Pembangunan Kabupaten (Bappeda) Tasikmalaya tahun lalu saja di Tasikmalaya ada 707 pesantren yang masih aktif, dengan 1.413 kiai dan 64.233 santri. Jumlah santri sebanyak itu setara dengan 40 persen siswa SMP/SMU se-Kabupaten Tasimalaya yang berjumlah 158.831.

 

Hebatnya, meski jumlah pesantren itu terhitung banyak boleh dibilang jarang ada pesantren yang megap-megap atau bangkrut karena kekurangan murid. Setiap tahun, memang puluhan ribu santri baru berdatangan ke Tasikmalaya. Mereka umumnya berasal dari daerah-daerah di Jawa Barat. Sebagian malah dari luar Jawa dan luar negeri. Contohnya dari Malaysia, Brunei. '' Meskipun ada sedikit persaingan yang tak kentara, tapi tak pernah ada pesantren di sini yang bangkrut karena kekurangan murid,'' jelas Mahmud Farid, pengasuh Pesantren Condong. Gegap pesantren di Tasikmalaya yang memang mempesona santri-santri baru. Tasikmalaya memang kaya dengan aneka ragam pesantren. Ada yang kuat memegang metode salaf - hanya mengandalkan kitab kuning, seperti pesantren Miftahul Huda, Riyadlul Ulum Dakwah. Banyak pula yang memadukan konsep salaf dengan pendidikan formal seperti SMP, SMU hingga Perguruan Tinggi. Beberapa pesantren yang mengambil model ini antara lain Pesantren Cipasung milik keluarga KH Ilyas Ruchyat, Pesantren KH Zaenal Mustofa.

 

Beberapa pesantren juga menonjolkan kekuatan ilmu-ilmu tertentu. Pesantren Miftahul Huda, contohnya sejak jaman Perang Kemerdekaan terkenal dengan kentalnya ajaran aqidah. Pesantren Condong mengandalkan kekuatan pada paduan kemahiran berbahasa Arab lisan ala Gontor dan kajian dalam tentang kitab-kitab kuning. Peantren Bantargedang sangat piawai mengajarkan ilmu nahwu. Kitab Alfiyah yang biasanya merupakan kitab hafalan bahasa Arab yang umumnya dianggap berat oleh kalangan santri, bisa dihafalkan santri hanya dalam satu bulan. Pesantren Cikole menawarkan kekuatan ilmu yang lain lagi, yakni ilmu fikih.

 

''Di sana kalau Ramadhan biasanya ada 1.500 santri. Dan hebatnya santrinya itu kebanyakan sudah jenggotan semua, alias kiai-kiai muda yang datang untuk penyegaran,'' kata Endang Rachmat (30), pengasuh Pesantren Condong.

 

Di Tasikmalaya juga ada pesantren yang tergolong unik. Salah satu contohnya adalah Pesantren Babakan yang dipimpin oleh ajengan Asep Abdullah. Ajengan yang lulusan Sekolah Pendidikan Guru dan Pesantren Condong itu, tak punya santri siswa. ''Semua santrinya adalah masyarakat sekitarnya, mulasi dari aki-aki (kakek-kakek) hingga anak kecil,'' jelas Endang.. Pesantren ini, menurutnya sedang menjadi model percontohan karena sangat pintar melakukan pendekatan masyarakat. ''Bahkan, pesantren ini mampu nyaris membuat seluruh wanita baligh di kampung itu memakai jilbab dengan sukarela. Tinggal empat orang yang belum pakai,'' tambah Endang.

 

Dengan segala pesona itu wajar bila banyak santri rela jauh-jauh datang ke Tasikmalaya. Zulfikar, asal Malaysia, misalnya, adalah contohnya. Ia sengaja mondok ke Pesantren Riyadlul Ulum wad Dakwah di Kecamatan Cibereum Tasikmalaya. Kedatangan Zulfikar ini boleh dibilang agak ''aneh''. Sebab, pesantren yang dikenal juga dengan Pesantren Condong - ingat kasus pemukulan kiai oleh seorang polisi yang menimbulkan kerusuhan di Tasikmalaya di akhir Desember 1996 - terletak jauh dari keramaian. Lokasinya ada di tengah perkampungan penduduk dan jalan masuknya pun hanya cukup untuk lewat satu mobil. Pesantrennya pun bukan golongan ''pesantren megah'' seperti Gontor, Ponorogo.

 

''Saya tertarik pesantren ini setelah bertemu dengan alumni Pesantren Condong di Jakarta,'' jelas Zulfikar yang kini sudah duduk di kelas 3. ''Pesantren ini memadukan gaya pengajaran bahasa Arab lisan ala Gontor tapi juga membekali santrinya dengan pengajaran salaf, atau menggunakan kitab kuning,'' jelas Zulfikar sambil sibuk membetulkan sarungnya.

 

Lain Zulfikar, lain pula Eden Ahmad Raqibin (26). Santri asal Garut ini sengaja memilih pesantren Miftahul Huda, di Manonjaya karena pesantren itu memilihi gaya pengajaran salaf yang kental dan sistematis. ''Di pesantren ini ada semacam tes penempatan (placement test) sehingga santri bisa belajar sesuai dengan kemampuan. Lagipula, pesantren ini masih memgang kuat gaya salaf,'' ujar Eden yang kini menjadi pengurus pesantren.

 

Bagi Eden, masuk pesantren adalah sebuah keharusan. Selepas SMA 2 Garut, Eden tak berniat melanjutkan ke perguruan tinggi. ''Di kampung saya sudah banyak yang menjadi sarjana. Sementara sangat sedikit yang menjadi pemuka agama. Sesepuh kampung kami, sempat bingung mencari siapa kader yang menyebarkan agama di Kampung,'' ujar Eden.

 

Soal masa depan? Eden tak pernah gelisah. ''Kami di sini dibekali berbagai ketrampilan mulai dari bertani, beternak, sampai kuli bangunan. Berdasarkan pengalaman, santri yang aktif tak kesulitan untuk hidup di masyarakat. Banyak alumni yang bisa mendirikan pesantren sendiri,'' kata Eden enteng.

 

Kiat Bertahan Gempita ratusan pesantren di Tasikmalaya itu bisa dibilang fenomenal. Sebab, di daerah-daerah lain - di tengah derasnya arus globalisasi dan merosotnya keinginan belajar di pesantren - banyak pesantren yang megap-megap kehabisan murid. Fenomena Tasikmalaya justru sebaliknya. ''Selama lima tahun belakangan ini pesantren di Tasikmalaya justru tambah semarak. Pesantren-pesantren saat ini justru dibanjir santri,'' jelas KH. Ilyas Ruchyat pengasuh pondok Pesantren Cipasung.

 

Pesantren Cipasung saat ini mempunyai 7.800 murid yang tergabung dalam Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, hingga Institut Agama Islam Cipasung. Sebagian para murid itu adalah santri mukim yang juga mempelajari kita kuning.

 

Pendapat senada juga dilontarkan Endang. ''Dua tahun lalu jumlah pesantren itu sekitar 400-an. Kini sudah mencapai angka 700 pesantren,'' ujar Endang. Di pesantrennya, Pesantren Condong, kini ada 300 santri yang menetap di sana. Dan tiap tahun menerima sekitar 40 santri baru.

 

Banyaknya santri itu yang membuat pesantren bisa tetap bertahan. Bahkan sebagian bisa membangun gedung-gedung megah. Pesantren Cipasung, misalnya memungut santri mukimin uang Rp 67.500 saat pendaftaran. Uang itu sudah termasuk uang mukim, pemeliharaan PDAM, iuran bulanan dan dana jariyah pembangunan. Wajar bila akhirnya Pesantren Cipasung bisa membangun gedung-gedung megah tiga lokasi. Mereka juga tak kesulitan menggaji ustad dan para kiainya. ''Santri-santri kami umumnya memang berasal dari kalangan menengah, atau yang memiliki kemampuan,'' tambah Kiai Ilyas.

 

Ini berbeda Pesantren Condong atau Pesantren Miftahul Huda. Kedua pesantren tak bisa mengandalkan uang iuran dari siswa. Di Pesantren Condong, contohnya, tiap santri hanya dipungut Rp 4.500. ''Uang itu murni dikembalikan ke santri dalam bentuk pembangunan gedung, listik, air. Para guru tak sepeser pun mendapat gaji,'' jelas Mahmud. Dengan cara itu Pesantren Condong membangun dua gedung senilai Rp 65 juta, tanpa bantuan pemerintah - meskipun dengan cara bertahap.

 

Para kiai yang mengajar di sana umumnya digaji dengan memberikan hak guna pakai atas sawah-sawah wakaf. ''Jumlahnya total lahan tak banyak, cuma 1,5 ha. Itupun hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari,'' ujar Mahmud yang pernah dipukuli polisi. Cara ini juga dipakai di Pesantren Miftahul Huda untuk menghidupi kiai-kiai yang mengelola 625 cabang-cabang Miftahul Huda.

 

Untuk tambahan kini Pesantren Condong telah membentuk koperasi pesantren. Koperasi yang keuntungannya untuk para ustad itu kini mulai memiliki banyak kios di antaranya di Pasar Tasikmalaya dan kompleks pemukiman Kota Baru.

 

Membangun jaringan usaha kini memang sedang menjadi trend di Tasikmalaya. sebuah forum silaturahmi Kiai-kiai Muda Priangan Timur, misalnya, kini tengah mendirikan pasar swalayan bekerja sama dengan Moslem Retail Network (MRN) atau Grup Shafira dari Bandung. Modalnya mencapai Rp 100 juta dengan proprosi saham 40 persen MRN sisanya dari kalangan pesantren. Selamat berkembang, duhai Pesantren. (*)

 

 
Budaya Sunda
Bahasa, kesenian dsb

Priangan Timur

Ciamis, Garut

Link

Contact Us

Guestbook